Mohon tunggu...
Wiwien Wintarto
Wiwien Wintarto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis serba ada

Penulis, sejauh ini telah menerbitkan 29 judul buku, 17 di antaranya adalah novel, terutama di PT Gramedia Pustaka Utama. Yang terbaru adalah novel Elang Menoreh: Perjalanan Purwa Kala (terbit 1 November 2018) terbitan Metamind, imprint fiksi dewasa PT Tiga Serangkai.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Menjaga Keseimbangan dengan "Writing Therapy"

21 Oktober 2019   22:59 Diperbarui: 22 Oktober 2019   19:00 851
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi menulis: unsplash.com/@katstokes_ (Kat Stokes)

Menulis bisa menjaga kesehatan emosi dan bahkan menyembuhkan gangguan kejiwaan? Itu bukan hoaks atau apalagi mitos, melainkan kasunyatan. Para peneliti telah tuntas mempelajari efektivitasnya dalam disiplin ilmu psikologi puluhan tahun yang lalu, dan para ahli jiwa telah lama pula mempraktikannya sebagai salah satu metoda terapi.

Gangguan emosi yang dapat terjun bebas menjadi gangguan kejiwaan pasti berawal dari peristiwa dan lingkungan buruk yang tidak menunjang personal growth kita. Dan ini bisa terjadi pada semua orang, karena kehidupan di planet Bumi ini tak hanya berisi suka saja, melainkan juga duka.

Emosi dan jiwa dapat mengalami ketidakseimbangan karena tak semua orang memiliki kemampuan yang baik dalam menangani peristiwa-peristiwa tak menyenangkan tersebut.

Menurut paparan sebuah artikel di laman Positive Psychology, apa yang harus kita lakukan dalam saat-saat yang berat itu adalah mencapai kembali keseimbangan. Ini penting agar kondisi emosi kita kembali stabil dan tidak terpuruk makin dalam, yang pada gilirannya dapat mengarah pada gangguan kejiwaan.

Bagaimana caranya? Dengan mengekspresikan suasana batin lewat seni, entah itu bermusik, melukis, atau memahat. Dan termasuk di antaranya adalah dengan menulis.

Kita yang awam terhadap kesenian biasanya tak pernah terpikir untuk melakukan hal ini karena dua alasan. Satu, tidak tertarik pada dunia seni. Dan mayoritas dari kita pasti benar-benar melaksanakannya sebagaimana jika ketidaktertarikan pada film fantasi atau artis K-pop, misalnya, benar-benar membuat kita ogah bersentuhan dengan hal-hal itu, sama sekali.

Alasan kedua adalah ketiadaan bakat. Karena merasa tak memiliki talenta, maka kita memutuskan untuk tak juga mencobanya. Kita berpikir hasilnya pasti jelek, berhubung dilakukan oleh seseorang yang tidak berkompeten di dalamnya.

Padahal dalam kaitannya dengan kestabilan emosi, baik dalam konteks pencegahan maupun pengobatan, urusan pernak-pernik remeh temeh itu sungguh tidak urgen. Tak ada bakat pun tak jadi soal, karena karya seni yang kita buat itu toh nantinya tidak untuk dijual atau dipamerkan.

Dan untuk kesehatan jangka panjang masa masih berpikir soal selera atau bukan selera? Aslinya kita kan malas juga harus capek-capek lari, senam aerobik, atau jatuh bangun main futsal. Namun demi kebugaran fisik, itu semua tetap dikerjakan, tak peduli kita menyukainya atau tidak.

Karena merupakan salah satu cabang kesenian, menulis juga termasuk di antara metoda-metoda praktis yang bisa digunakan untuk mencapai keseimbangan dan kestabilan emosi. Kita butuh mencurahkan, menumpahkan, atau bahkan melampiaskan semua emosi negatif agar luruh dan tak lagi mengganggu.

Daripada ngamuk, melukai orang lain, membalas dendam secara keji, atau melakukan perundungan di media sosial, akan lebih cerdas (dan mudah) bila itu dilakukan lewat menulis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun