Mohon tunggu...
Wiwien Wintarto
Wiwien Wintarto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis serba ada

Penulis, sejauh ini telah menerbitkan 29 judul buku, 17 di antaranya adalah novel, terutama di PT Gramedia Pustaka Utama. Yang terbaru adalah novel Elang Menoreh: Perjalanan Purwa Kala (terbit 1 November 2018) terbitan Metamind, imprint fiksi dewasa PT Tiga Serangkai.

Selanjutnya

Tutup

Gadget Artikel Utama

Soal Bermedsos, Mari Belajar pada Para Ahlinya!

18 Oktober 2019   18:49 Diperbarui: 19 Oktober 2019   04:05 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Foto: Insightsamsung)

Salah satu permasalahan terbesar berkaitan dengan media sosial adalah maraknya unggahan bermasalah yang ujung-ujungnya membawa sang pengunggah ke ranah hukum. 

Biasanya ini terkait pencemaran nama baik, fitnah, penyebaran berita palsu alias hoaks, dan juga perundungan. Lalu, saat sang pengunggah telah masuk jalur hukum, ia hanya bisa menyesal sekaligus mengungkap betapa ia tak mengira unggahannya akan berefek seperti itu.

Pengendalian diri dan pengetahuan luas pun menjadi kata kunci dalam fenomena satu ini. Kita terbiasa menurutkan emosi, sehingga langsung meluapkan apa yang tengah mengganjal di pikiran dan hati. 

Ditambah begitu masifnya ketidaktahuan, kita pun jadinya hampir tiap detik mempertaruhkan kehidupan nyaman kita di ujung kedua jempol. Ketidaktahuan soal apa? Tak lain adalah soal teknik menulis.

Diakui maupun tidak, ranah medsos adalah bagian dari dunia kepenulisan. Mengapa begitu? Karena aktivitas intinya yang berupa menulis (mengetik) dan membaca adalah aktivitas kerja para penulis profesional. 

Mereka membaca, lalu tergerak untuk menulis, entah terinspirasi atau memberi komentar. Dan sebelum menulis, para penulis bisa juga membaca dulu untuk memperkaya gagasan dan wawasan. Demikian itu pulalah geliat kita saat bermedsos.

Karena merupakan bagian integral dari jagad kepenulisan, maka hukum-hukum dunia satu ini pun berlaku mengikat di dunia medsos. Jika diikuti, kita akan aman dari segala risiko buruk. 

Namun jika yang terjadi adalah sebaliknya -entah sengaja melanggar atau memang tak tahu- ya siap-siap saja untuk kapan saja terciduk dan berurusan dengan pasal-pasal UU ITE yang, meski kerap dipermasalahkan karena vague, tapi tetap saja efektif untuk menjaga semesta agar tidak chaos.

Hukum pertama dunia kepenulisan yang berlaku untuk para penulis dari berbagai percabangan kerjanya adalah bahwa tulisan yang dipublikasikan haruslah bermanfaat bagi orang banyak. Ini berlaku sama sejak dunia tulis-menulis jurnalistik, fiksi, hingga kepenulisan ilmiah. 

Jika yang diterbitkan hanya bermanfaat bagi sang penulis, publik intelek pun menyebutnya sebagai "onani" gagasan. Atau apalagi kalau tulisan hanya sekadar berfungsi sebagai tumpahan kesumpekan, para pengamat sastra pasti melabeli tulisan bersangkutan sebagai "mirip orang berak"!

Aturan kedua terkait dengan kerapian bahasa tulis. Ini jelas. Barang akan dipajang di depan umum, masa berkualitas ecek-ecek? Kan malu kita sebagai penulis, karena kadar kapasitas dan kualitas kita dinilai berdasar produk yang kita hasilkan. 

Pas di rumah, tak apa kita pakai baju bolong-bolong yang sudah kumuh, tapi akan jadi problem jika pakaian lusuh itu kita kenakan saat hadir di resepsi pernikahan.

Maka para penulis mutlak untuk menguasai teknik dasar menulis sesuai kaidah EBI (Ejaan Bahasa Indonesia; dulu disebut EYD). Ini mengikat hal-hal semacam penggunaan huruf besar, tanda baca, efek italic (ditulis miring), dan termasuk juga tata bahasa. 

Tulisan yang rapi dan disiplin adalah cerminan profesionalitas penulis bersangkutan, yang membuat tulisan-tulisannya nyaman untuk dibaca.

Kaidah berikutnya mengatur soal editing dan revisi. Sebelum dipublikasikan, tulisan harus mengalami proses ini. Editing berfungsi terutama untuk menemukan kesalahan-kesalahan dalam tulisan terutama soal typo (salah ketik) yang bisa sangat mengganggu. 

Jika penyuntingan saja tak cukup, tulisan mungkin harus pula direvisi atau bahkan ditulis ulang.

Semua penulis pro pasti mengalami tahapan ini dalam tulisan mereka, baik penulis jurnalistik (redaktur, wartawan) maupun penulis buku. 

Kita yang pernah mencicipi pendidikan tinggi belajar mencicipi fase ini saat menjadi mahasiswa yang tengah mengerjakan skripsi (dan naskah skripsinya diorek-orek dengan tulisan "SAMPAH!" oleh dosen keji), lalu kita terbiasa untuk melakukan cek dan ricek pada tulisan dan isinya sebelum mempublikasikannya secara luas.

"Tulisan yang rapi dan disiplin adalah cerminan profesionalitas penulis bersangkutan, yang membuat tulisan-tulisannya nyaman untuk dibaca."

Dan aturan hukum paling akhir adalah mengenai keputusan akhir untuk melakukan publikasi. Banyak faktor mendasari ini, sejak dari aktualitas, faktor komersialitas, hingga urgensi. 

Para penulis sadar betul fenomena ini, dan harus menerima kenyataan andai tulisan yang sudah siap tahu-tahu tak jadi diterbitkan pada detik-detik akhir karena satu atau beberapa faktor tersebut. 

Kadang bahkan harus rela nulis lagi dari awal jika pembatalan terjadi karena muncul tema lain (breaking news, misalnya) yang dinilai lebih layak muncul.

Kehidupan kita di jagad medsos sebagai netizen akan aman sejahtera jika bisa mengamalkan sepenuhnya aturan-aturan tersebut. Jangan mengunggah sesuatu terutama hanya untuk membuang kesumpekan hidup. 

Tanyakan ke diri kita, apakah sindiran, umpatan, dan kata-kata kasar itu bermanfaat untuk publik budiman pembaca medsos yang menjadi friend atau follower kita? Jika tidak, batalkan! Ingat kata pepatah tentang silence is golden.

Lalu rapikan tulisan sebisa mungkin mengikuti kaidah bahasa baku ala EBI. Mungkin tak akan ada yang menilai kecakapan netijen awam, tapi tulisan sejenis "di tunda", "disitu", semua kata diawali huruf kapital, atau tanda tanya diikuti titik, sungguh sangat mengganggu mata intelek. 

Di sinilah pentingnya kita mengedit dan bahkan merevisi kembali status Facebook, cuitan di Twitter, atau caption Instagram sebelum mempublikasikannya.

Dan kemudian, sebelum memencet tombol "Post" yang krusial itu, kita masih sekali lagi berpikir tentang urgen tidaknya unggahan tersebut muncul ke publik. Meredakan emosi dahulu akan sangat bermanfaat mengurangi risiko tak perlu. 

Dan kan memang tak baik cuap-cuap di depan umum saat kita masih dikuasai emosi. Chances are, kita justru akan mempermalukan diri sendiri. So, jika memang tidak perlu benar, tak perlu pula unggahan itu dilanjutkan daripada malah mengundang masalah pada hidup yang memang sudah sarat problema.

Maka sesungguhnya, dalam konteks aktivitas bermedsos, amat penting bagi para warganet awam untuk belajar dari "pemilik sah" bidang kegiatan ini, yaitu para penulis. Dari mereka, semua bisa belajar tentang trik-trik dasar membuat tulisan yang menarik. 

Juga tentang batasan sejauh apa sebuah tulisan bisa dikategorikan sebagai pencemaran nama baik, fitnah, kabar palsu, dan lain-lain. Pengetahuan dasar ini akan bermanfaat menyelamatkan kita dari konten buruk yang berisiko.

Masalahnya adalah, para penulis bekerja dengan gate keeper, yaitu satu atau beberapa orang yang menilai kepantasan sebuah tulisan sebelum diterbitkan. Ada redaktur, pemimpin redaksi, atau editor penerbit. 

Mereka bertugas memutuskan apakah satu tulisan atau buku layak terbit atau tidak. Meski sudah dinilai layak pun, tulisan bersangkutan tetap harus melalui editing dan revisi serta cek dan ricek sebelum resmi dapat terbit.

Warganet di medsos tidak punya batas keamanan itu. Kita yang nulis, kita sendiri juga yang menerbitkan. Kita sendirilah yang jadi gate keeper untuk diri masing-masing. Dan gara-gara standar kepenulisan dan pengetahuan masih minim, masalah pun rawan datang. 

Di titik inilah literasi digital mengambil peranan penting.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun