Mohon tunggu...
Wiwien Wintarto
Wiwien Wintarto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis serba ada

Penulis, sejauh ini telah menerbitkan 29 judul buku, 17 di antaranya adalah novel, terutama di PT Gramedia Pustaka Utama. Yang terbaru adalah novel Elang Menoreh: Perjalanan Purwa Kala (terbit 1 November 2018) terbitan Metamind, imprint fiksi dewasa PT Tiga Serangkai.

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Superhero Tak Hanya Soal Kostum dan Perkelahian

20 Agustus 2019   10:58 Diperbarui: 21 Agustus 2019   14:00 3590
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Foto: Twitter/Joko Anwar)

Setelah ada MCU (Marvel Cinematic Universe), mendadak jagad fiksi superhero (dari komik) harus dilengkapi dengan cinematic universe. Pesaing Marvel dalam industri komik Amerika Serikat, DC, buru-buru menciptakan hal serupa, yaitu Arrowverse untuk layar kaca dan DCEU (DC Extended Universe) di layar lebar.

Indonesia pun tak ketinggalan ikut terkena demam serupa, dengan apa yang disebut BCU, atau Bumilangit Cinematic Universe.

Diawali dengan film Gundala besutan sutradara Joko Anwar yang akan dirilis tanggal 29 Agustus 2019 mendatang, deretan superhero dari semesta fiktif tersebut bakal muncul satu demi satu---dan sudah lengkap beserta pemeran masing-masing. Ada Dian Sastrowardoyo yang akan bermain sebagai Dewi Api, Nicholas Saputra (Aquanus), Zara (Virgo), Joe Taslim (Mandala), Chelsea Islan (Tira), Chicco Jericho (Godam), dan juga Pevita Pearce (Sri Asih).

Tentu bagi semua pemangku kepentingan yang terlibat, kehadiran BCU diharapkan bisa sesukses MCU, yang tak saja mampu meraup pendapatan berlimpah, namun juga selalu unggul di sisi kajian kritikus film.

Namun langkah ke sana pastilah tak mudah, karena membuat film untuk karakter-karakter super tak semata soal adegan-adegan eksyen perkelahian, efek spesial dan animasi digital, serta kostum ketat warna-warni. Berkaca dari kesuksesan MCU, keberhasilan mereka adalah kombinasi yang amat kompleks dari banyak hal.

Hal terpenting pertama adalah mengamankan kontrak para pemain, yang harus tetap utuh dalam jangka waktu yang amat panjang. Mengapa ini krusial? Sebab keterkaitan pemeran dengan tokoh fiktif yang diperankannya adalah bagian integral dari imajinasi kami para penonton. 

Pergantian pemeran di tengah jalan sangat tak bisa diterima karena merusak keutuhan imajinasi tersebut. Bahkan ketika satu tokoh superhero diperankan aktor berbeda (meski dalam cinematic universe beda pula), hal itu juga sangat susah diterima.

Sebagai contoh, pemeran The Flash di Arrowverse adalah Grant Gustin. Tapi saat hadir di layar lebar melalui film Justice League (2017), Barry Allen alias The Flash diperankan Ezra Miller. Ini sungguh merusak imajinasi, karena personifikasi Allen sudah kadung tertanam pada sosok Gustin.

Serial The Flash memang muncul lebih dulu, yaitu 2014, dan berada dalam satu semesta fiktif yang sama dengan Green Arrow yang diperankan Stephen Amell, White Canary (Caity Lotz), Atom (Brandon Routh), serta Supergirl (Melissa Benoist).

DC memang tak berhasil menggabungkan cinematic universe televisi dengan film, atau memang sengaja tak menyatukannya. Di MCU, mau di serial TV atau di film layar lebar, pemeran Agent Phil Coulson tetaplah Clark Gregg, Cobie Smulders tetap sebagai Maria Hill, dan Jaimie Alexander pun tetap bermain sebagai Lady Sif. Konsistensi inilah harta benda mahal yang membuat MCU sukses.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun