Mohon tunggu...
Wiwien Wintarto
Wiwien Wintarto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis serba ada

Penulis, sejauh ini telah menerbitkan 29 judul buku, 17 di antaranya adalah novel, terutama di PT Gramedia Pustaka Utama. Yang terbaru adalah novel Elang Menoreh: Perjalanan Purwa Kala (terbit 1 November 2018) terbitan Metamind, imprint fiksi dewasa PT Tiga Serangkai.

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Menanti Hadirnya Kembali Sayembara-sayembara Skenario Film

7 Agustus 2019   10:35 Diperbarui: 7 Agustus 2019   13:13 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: filmmakerslab.co.uk

Pada tahun 1998, pada senjakala rezim Orde Baru yang muram, Departemen Penerangan Republik Indonesia pernah menggelar Sayembara Penulisan Naskah Film & Video Cerita. 

Saya ikut kontes itu di genre laga alias action dengan naskah (sinopsis besar, bukan skenario) berjudul Operasi Senja. Saat diumumkan bulan Februari 1999, saya nangkring sebagai juara pertama di genre tersebut.

Operasi Senja sendiri berkisah soal lima serdadu Republik yang pada tahun 1949 menjalani satu misi yang sangat rahasia. Mereka harus mengirimkan berkas-berkas dokumen penting bernama sandi Operasi Senja untuk diserahkan pada utusan khusus PBB yang sudah menunggu di Pulau Nusakambagan. 

Berkas dokumen itu ternyata berisi bukti-bukti keberadaan satu bom atom hasil riset seorang ilmuwan nuklir Amerika Serikat berdarah Indonesia.

Bom tersebut bisa dijatuhkan ke Amsterdam sebagaimana Amerika membom Hiroshima dan Nagasaki tahun 1945. Gara-gara keberadaan bukti-bukti itu, Ratu Juliana kemudian keder dan mengakui kedaulatan RI pada 27 Desember 1949. Takut Amsterdam dibom atom oleh ilmuwan Indonesia menggunakan tangan Amerika!

Selain menggotong hadiah uang, hal terbaik dari yang saya dapat dari kemenangan itu adalah harapan besar bahwa naskah Operasi Senja sebagai pemenang utama akan diskenariokan dan difilmkan. 

Dan panitia kala itu memang mengindikasikan begitu. Sayang hingga detik ini ketika Anda membaca artikel ini di Kompasiana, 20 tahun sesudah lomba terlewati, rencana Operasi Senja disyuting ke layar lebar hanyalah rencana.

Hal yang sama saya dapat lagi ketika menang juara harapan III Sayembara Penulisan Naskah Skenario Sinetron Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT) tahun 2000 lewat naskah skenario berjudul Indonesia 1. 

Kisahnya adalah tentang calon presiden RI yang pada sehari menjelang pelantikan terpisah dari rombongan dan tersesat di kawasan-kawasan pedalaman Mijen dan Gunungpati di Kota Semarang.

Sebagaimana Operasi Senja, Indonesia 1 juga hanya berhasil meraih piagam penghargaan dan hadiah uang. Ekspektasi manis bahwa naskah itu kemudian diproduksi menjadi FTV menguap seiring waktu. Namun kala itu harapan saya tak terlalu besar karena hanya ada di juara harapan.

Satu hal yang kerap terjadi pada masa lalu ketika sayembara-sayembara penulisan dunia sinema masih cukup banyak adalah ketidakjadian naskah pemenang kontes untuk sungguh-sungguh difilmkan.

Ini biasanya berkait dengan soal bujet, bila naskah bersangkutan berkategori susah, misal kisah laga penuh adegan kontak senjata dan ledakan, berlatar masa lalu sehingga berat di perlengkapan dan tata busana, atau bergenre space opera yang mengandalkan animasi (emang pernah ada naskah skenario space opera di film Indonesia...?).

Naskah-naskah pemenang sayembara itu pun hanya berakhir di lemari panitia, jadi santapan rayap. Padahal mereka rata-rata memiliki kadar orisinalitas ide yang tinggi, karena berasal dari kalangan grass root yang belum terkooptasi visi komersial para produser soal "yang sedang laku" atau "yang diminati penonton" demi keamanan hitungan box office.

Namun sejelek-jeleknya janji manis panitia-panitia yang kerap tak terwujud, warga zaman itu masih cukup beruntung dari maraknya kontes-kontes skenario film atau sinetron semacam itu digelar---termasuk juga event di dunia musik semacam Festival Lagu Populer Indonesia dan Lomba Cipta Lagu Remaja. 

Sekarang, justru setelah ada Bekraf (Badan Ekonomi Kreatif), ke mana larinya festival-festival dan aneka macam sayembara itu dari hela napas kreatif kita?

Para movie enthusiasts di Tanah Air pun, khususnya penulis (yang pastinya akan dengan sangat mudah menguasai teknik dasar skenario) hanya "diperbolehkan" duduk manis sebagai penonton dalam arti kata sesungguhnya. Pintu masuk untuk turut berkarier di pentas industri film nasional relatif tertutup tanpa ada lagi shortcut semacam sayembara-sayembara pada abad ke-20 itu.

Ketika bicara soal "lowongan kerja" bagi para penulis, pihak-pihak penentu kebijakan di dunia bisnis sinema kerap kali menentukan faktor pengalaman sebagai syarat utama. 

Sebrilian apa pun seorang penulis, jika belum pernah bekerja di dunia perfilman, dianggap ia tak punya kapasitas untuk tahu mana yang laris dan mana yang tidak soal film, begitu pula sebaliknya.

Maka profesi penulis skenario pun tetap diambil orang-orang perfilman sendiri. Entah nama-nama besar yang sudah punya jam terbang belasan tahun, penulis-penulis kalangan internal yang sudah kadung dipercaya para produser dan sutradara, atau tim penulis resmi dari satu studio.

Masalahnya, para penulis dari lingkungan dalam itu kadang hanya punya jam terbang pengalaman kerja dunia sinema, tapi tak memiliki kapabilitas tulis yang baik. 

Bahkan kerap kali mereka bukan penulis sama sekali. Sekadar bisa menuliskan dasar-dasar skenario saja. Saya pernah membaca skenario draf kedelapan dari satu film nasional kelas major pada akhir tahun 2017 di mana di dalamnya ada kata-kata semacam "Disekeliling", "yg" (dari kata "yang"), dan "selanjut nya" (dengan spasi di antara kata "selanjut" dan "nya")!

Memang benar bahwa skenario adalah lebih ke petunjuk kerja dan bukan karya penulisan format yang harus elegan dan ideal dari segi bahasa penulisan. 

Namun tetap saja, dengan hasil tulisan yang demikian, kita jadi tahu pada level apa sang "penulis" berada. Mungkin setara dengan penulis-penulis ABG yang bertengkar sengit di Wattpad soal fan fiction dan cerita fantasi!

Kehadiran kembali event-event sayembara penulisan skenario akan secara bertahap mengasah kecapakan para screenwriter profesional dalam seni penulisan mereka, sekaligus membuka peluang ditemukannya bibit-bibit baru yang tak terduga dari tempat-tempat terjauh bumi Nusantara. 

Yang namanya penulis skenario kan tak melulu monopoli orang Jakarta---atau yang harus pindah dulu ke calon mantan ibukota negara itu baru bisa ikut berpartisipasi.

Dan sudah sejak era Tatiek Maliyati WS selalu dikatakan bahwa masalah terbesar dunia film nasional adalah pada kurangnya penulis berkualitas. Yang bejibun adalah penulis komersial, yang bekerja sekadar mengikuti arahan atasan. Namun sepanjang zaman, tak terlihat ada upaya serius dari para pemangku kepentingan perfilman sendiri untuk mengejar ketertinggalan di sisi ini.

Pentas layar perak kita sungguh membutuhkan kembalinya sayembara-sayembara penulisan skenario film itu---sekaligus kepastian janji bahwa naskah para pemenang akan sungguh-sungguh diproduksi. 

Film nasional perlu disegarkan dengan ide-ide baru yang murni datang dari bottom up. Jika pemerintah melalui jagad perpolitikan saja sudah terbuka untuk suara rakyat bawah, mengapa film tidak?

Apakah memang perfilman adalah dunia elitis khusus untuk orang-orang terpilih dan yang sama sekali tak boleh dimasuki rakyat?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun