Mohon tunggu...
Wiwien Wintarto
Wiwien Wintarto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis serba ada

Penulis, sejauh ini telah menerbitkan 29 judul buku, 17 di antaranya adalah novel, terutama di PT Gramedia Pustaka Utama. Yang terbaru adalah novel Elang Menoreh: Perjalanan Purwa Kala (terbit 1 November 2018) terbitan Metamind, imprint fiksi dewasa PT Tiga Serangkai.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Ada Hukuman Sula di Batavia

3 Mei 2019   19:05 Diperbarui: 29 Mei 2019   14:10 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Foto: Koleksi pribadi)

Saat membicarakan periode kolonisasi Belanda pada masa lalu, yang muncul di benak kita pastilah tentang betapa kejam dan keji para penjajah terhadap bangsa pribumi, yaitu nenek moyang kita ini. Maka akan sangat mengejutkan ketika ada satu buku yang menggambarkan bahwa situasi ternyata tidaklah seperti yang kita baca di buku-buku pelajaran sekolah (atau sinetron dan film bertema perlawanan melawan Kompeni Belanda) selama ini, melainkan justru lebih brutal lagi.

Betul. Itulah yang saya tangkap sesudah membaca The Island of Java (diterjemahkan menjadi Sejarah Tanah Jawa) karya penulis Inggris, John Joseph Stockdale. Memotret pulau Jawa antara 1768 hingga 1804, buku ini menyajikan fakta-fakta periode itu tidak dari kaca mata ilmu sejarah, melainkan dari sudut pandang seorang pengamat. Dari situ terasa bahwa situasi yang ada di Jawa pada abad ke-18 dan 19 adalah sungguh-sungguh mengerikan.

Betapa tidak? Pada era itu masih berlaku hukum sula di Batavia, yang saya kira hanya dipraktikkan orang Eropa di Eropa sana, seperti oleh Pangeran Vlad III Tepes di Kepangeranan Wallachia (Rumania masa kini).

Dalam novel Lalita karya Ayu Utami, Vlad III dikenal dengan nama Vlad sang Penyula (Vlad the Impaler) karena hobinya menyula orang-orang. Dialah yang kemudian kita kenal sebagai Dracula, dan pernah ketemu Leonardo Da Vinci di serial Da Vinci's Demons!

Hukuman sula diterapkan pada para budak yang melakukan kerusuhan atau pembunuhan. Beda dari zaman kini tempat hukuman fatal dilakukan di area tertutup yang dirahasiakan, hukuman sula di Batavia digelar di alun-alun, kayak tontonan. Dan memang untuk ditonton, agar perbuatan kriminal bersangkutan tidak ditiru.

Yang mengerikan adalah, ini bukan hukuman mati, melainkan penyiksaan. Sesudah disula, terhukum ditaruh saja di alun-alun sampai akhirnya mati sendiri, entah karena deraan rasa sakit, luka kena air sehingga infeksi, kelaparan, atau kehausan. Pada musim penghujan, terhukum yang disula pagi ini biasanya meninggal pukul 15 esok harinya. Sedang pada musim kemarau, karena luka tak basah kena hujan sehingga tidak terinfeksi, "rekor" terlama adalah delapan hari!

Algojo hukuman sula memang tahu teknik, sehingga bisa menghindari bagian-bagian vital agar terhukum tak mati seketika. Bagi yang belum tahu apa itu sula, cari saja di Google! Tapi saya sarankan jangan, soalnya nanti bisa-bisa tidak tidur karena ngeri!

Satu hal lagi yang jarang ada di buku teks sekolah tentang kekejaman VOC Belanda adalah bahwa bangsa Eropa pun turut terkena imbas kekejaman itu. Stockdale sebagai pengamat luar yang bebas kepentingan (dia orang Inggris) menyimpulkan bahwa pemerintahan Kumpeni terlalu sewenang-wenang, bahkan juga kepada warga Eropa sendiri.

Bagi mereka berlaku kode etik yang sangat rigid tentang sikap perilaku tata krama. Ada aturan jelas mengenai pakaian dan aksesori warga Eropa sesuai tingkat dan derajat, sehingga ujung-ujungnya terjadi segregasi "kasta" yang sangat meresahkan. Akhirnya para warga Eropa itu, baik yang bekerja di VOC maupun berdagang bebas, hidup serba dicekam ketakutan dan penuh rasa curiga satu sama lain.

Dan itu diperparah dengan kondisi lingkungan Batavia yang sangat mematikan. Paduan antara gas beracun dari genangan rawa dan sungai-sungai yang tercemar (penuh bangkai binatang yang malas dibersihkan!) membuat ibukota VOC itu sangat buruk bagi siapapun, khususnya warga (asli) Eropa pendatang baru. Mereka pasti akan langsung penyakiten dan mayoritas gagal survive, sehingga membuat angka kematian sangat tinggi.

Sebagai sebuah buku sejarah, The Island of Java asyik dibaca karena lebih berdimensi "entertainment" daripada keilmuan sejarah. Para akademikus sejarah seperti H.J. De Graaf, Slamet Muljana, atau Amen Budiman memaparkan fakta sejarah lewat perbandingan teks-teks berbeda. Dari situ mereka kemudian menentukan mana di antara teks-teks itu yang paling sesuai realita aslinya dengan yang penuh simbolisme dan glorifikasi tokoh.

Sedang uraian Stockdale di buku ini lebih mirip karya jurnalisme. Ia menulis apa yang ia dengar dan lihat, juga dari sumber-sumber yang dapat ia percayai. Maka ia pun mampu menulis hal-hal berbau trivial yang sangat asyik diimajinasikan, seperti peran dua orang budak bertongkat saat sebuah kereta wong Londo lewat di jalan-jalan tanah Batavia, atau kebiasaan orang Eropa (dan juga Jawa) untuk menikahkan seorang gadis begitu menginjak usia 12 atau 13 tahun tanpa persiapan sama sekali.

The Island of Java sendiri merupakan naskah tertua karya penulis Eropa tentang Pulau Jawa. Ia terbit kali pertama pada tahun 1811, mendahului The Conquest of Java (1815) karya Mayor William Thorn dan History of Java (1817) tulisan Thomas Stamford Raffles. Dan 1811 adalah juga tahun terjadinya invasi Inggris ke Yogyakarta, atau yang lebih dikenal di Jawa dengan istilah Geger Sepehi.

Namun bagian paling menarik dari buku ini bagi saya adalah amatan Stockdale tentang karakter orang Jawa. Ia menulis bahwa orang Jawa dianggap memiliki watak yang lamban, dan dibutuhkan usaha keras untuk memaksa mereka agar mau bekerja keras (hal. 245). Dan ini serupa dengan pengamatan Raffles dalam History of Java yang menyampaikan hasil observasi yang tak jauh beda.

Ini menjelaskan banyak hal terkait kondisi sosial politik di Tanah Air hingga sekarang ini. Bahwa apa yang terjadi sekarang bukan semata-mata kesalahan "penjajahan 350 tahun", melainkan memang sudah watak. Stockdale menulis, metoda despotik para penguasa VOC memperparah kondisi itu, dengan tak membiarkan pribumi Jawa proletar untuk memiliki tanah.

Akibatnya, mereka bekerja sebatas memenuhi instruksi alias sekadar menggugurkan kewajiban. Tak pernah terpacu sendiri untuk memacu yang terbaik dari diri masing-masing karena yang dikerjakan bukanlah milik mereka sendiri. Bagi yang hidup dengan motto "Take your best shoot! Even if you missed, you'll still land among the stars", ini akan menjadi otokritik yang sangat berguna, dan bukannya bahan untuk balas menyerang soal "invasi budaya aseng"!

Meski kualitas terjemahannya membuat buku ini tak terlalu nyaman dibaca, dan font cetakannya lucu, Sejarah Tanah Jawa tetap sebuah bacaan yang membuka wawasan. Dan bagi pengarang seperti saya, buku-buku macam beginilah yang memantik ide untuk menelurkan kisah-kisah fiksi dengan latar belakang yang berbeda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun