Mohon tunggu...
Wiwien Wintarto
Wiwien Wintarto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis serba ada

Penulis, sejauh ini telah menerbitkan 29 judul buku, 17 di antaranya adalah novel, terutama di PT Gramedia Pustaka Utama. Yang terbaru adalah novel Elang Menoreh: Perjalanan Purwa Kala (terbit 1 November 2018) terbitan Metamind, imprint fiksi dewasa PT Tiga Serangkai.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Mencoba Memahami Jajanan Anak-anak

29 Mei 2016   21:42 Diperbarui: 29 Mei 2016   22:42 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Goodreads.com

Secara umum, menikmati Refrain terasa bagaikan diajak keliling kota Jakarta namun dengan mata tertutup. Tak ada kejelasan semua lokasi berada di sebelah mananya Jakarta—SMU Harapan, kompleks perumahan tempat tinggal Niki dan Nata, berapa jauh SMU Pelita dari rumah Niki. Kecuali monumen kuno di Jakarta Pusat dan mal Senayan City, berkeliling mengikuti kegiatan para tokoh Refrain mirip jalan-jalan di Jakarta tanpa pakai Google Map.

Anonimitas juga menjadi hal lazim di sepanjang rute cerita. Hampir tak ada sebutan nama yang jelas dan lengkap untuk segala sesuatu. Hanya ada “sebuah kafe gelato”, “24-hour cafe di lantai bawah”, atau “salah satu sekolah musik terbaik di Amerika”. Dan beberapa istilah terasa lucu karena kurang teknis, seperti “sesi kedua” pertandingan basket dan “juara basket paling jago”.

Ini kelemahan yang sangat elementer. Padahal cukup dengan nanya teman  yang hobi sport (atau ke Mbak Wiki), kita akan tahu bahwa pertandingan basket dibagi dalam empat quarter. Dan titel juara cabor ini berlaku untuk tim, bukan individu. Seorang pemain menerima penghargaan individu berupa gelar MVP (most valuable player) atau berdasarkan statistik (pencetak skor, rebound, atau steal terbanyak).

Dan ada pula satu hal yang seharusnya potensial namun malah mengundang tanda tanya, yaitu aplikasi Nata ke sekolah musik luar negeri di AS tersebut. Ia mengirimkan lamaran dilampiri demo tape saat masih aktif sekolah, lalu menerima surat pemberitahuan bahwa lamarannya diterima pada sekitar momen kelulusan SMA.

Aku pun tak tahu bagaimana detail hal seperti ini. Mungkinkah kejadiannya berlangsung dengan prosedur demikian? Tidakkah pihak universitas luar negeri itu mensyaratkan ijazah SMA dulu sebagai kelengkapan lampiran surat lamaran menjadi mahasiswa? Dan tentu ada masa seleksi ketat yang pastinya tak berlangsung singkat, bukan? Can anyone tell me? Puh-lees..!

Padahal jika hal ini bisa diinformasikan detail berdasarkan riset mengenai penerimaan mahasiswa baru ke Juilliard atau Berklee Music School, pembaca yang hobi musik akan bisa sungguh-sungguh memanfaatkannya untuk daftar sungguhan ke Amrik.

Dalam hal keantahberantahan, anonimitas, dan inakurasi fakta (harus menyempatkan diri untuk bertelepon pada era media sosial, pergi kuliah full selama lima tahun tak pernah satu kali pun mudik), Refrain tidak sendiri. Mayoritas novel yang ditulis penulis remaja mengandung anasir-anasir serupa. Dan mau tak mau ini memang harus dimaklumi, jika diingat betapa cerita-cerita itu mungkin saja ditulis saat sang pengarang masih berumur 13 atau 14 tahun.

Kesalahan jelas sepenuhnya tak berada di pundak para penulis ABG itu, melainkan ortu dan guru. Jika mereka peka pada minat bakat anak-anak, pada peran inilah mereka seharusnya masuk sebagai mentor. Tugas mereka memberikan arahan mengenai gambaran dunia nyata yang sesungguhnya, agar bisa dihadirkan akurat melalui karya fiksi, bukan melulu hanya meributkan masalah rengking berapa, nilai berapa, atau “cuman soal kayak gitu aja kok ndak bisa!?”.

Winna dan Refrain adalah pengingat agar para pembaca yang berada di luar target marketnya harus mulai belajar untuk melihat segala sesuatu berdasarkan perspektif orang lain, bukan semata dari angle dan ukuran standar diri sendiri. Jika itu yang dilakukan, novel seperti ini pasti akan mengundang kernyit dahi dan gumaman “Kayak gitu enaknya di mana sih?”.

Instead, kita harus membacanya dengan pemahaman seperti kutipan salah satu film Hollywood tentang “If you want to catch a rabbit, you have to think like a rabbit”. Jika kita bisa menyimak Refrain dengan asas pikiran kaum ABG, kita akan mudeng mengapa kisah cinta Niki dan Nata begitu menyentuh relung kalbu.

Di sisi itu, coretan tangan, eh... ketikan laptop Winna Efendi cukup efektif dan berkhasiat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun