Mohon tunggu...
Wiwien Wintarto
Wiwien Wintarto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis serba ada

Penulis, sejauh ini telah menerbitkan 29 judul buku, 17 di antaranya adalah novel, terutama di PT Gramedia Pustaka Utama. Yang terbaru adalah novel Elang Menoreh: Perjalanan Purwa Kala (terbit 1 November 2018) terbitan Metamind, imprint fiksi dewasa PT Tiga Serangkai.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Perlunya Agen Penulis Hadir di Indonesia

12 Mei 2016   20:24 Diperbarui: 8 Agustus 2017   20:32 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Foto: Alan Rinzler)

Apa yang membedakan tata cara penerbitan buku di Indonesia dengan di Amerika Serikat? Di sini, penulis menerbitkan buku secara langsung. Ia sendiri yang mengirim naskah dan kemudian langsung melakukan deal bisnis dengan penerbit

Ia pula yang harus mengerjakan semua tetek bengek di luar penulisan naskah, sejak mencetak naskah, pergi ke kios fotokopi untuk menjilid, hingga mengemasnya rapi, lalu mengirimkannya via pos atau jasa ekspedisi.

Di AS, pembedanya terletak pada keberadaan satu lembaga di antara penulis dan penerbit, yaitu agen penulis, atau yang di sana dikenal dengan istilah literary agent

Sekadar info, penerbitan buku di sana berpusat di New York, dengan perusahaan-perusahaan penerbitan besar seperti Penguin, Simon & Schuster, atau HarperCollins. Dan 80% dari buku-buku yang terbit di sana datang lewat agen.

Ada ribuan orang agen penulis di AS, dan mereka adalah para expert di dunia penerbitan. Dikutip dari laman penulis Jane Friedman, para agen itu punya jaringan kontak yang luas dengan para editor dari banyak perusahaan penerbitan. Karenanya, mereka selalu mengetahui jenis-jenis naskah apa saja yang tengah ngetren sehingga diminati para penerbit.

Penulis mengirimkan naskah yang hendak diterbitkan ke para agen ini, bukan langsung ke penerbit. Dan yang dikirim pun bukan langsung naskah keseluruhan satu buku (book-length manuscript), melainkan secara bertahap.

Yang pertama kali dikirim adalah konsep dasar novel berisi premis dan informasi singkatnya. Ini disebut query letter, dan panjangnya cukup satu halaman. 

Bila query letter ini menarik perhatian agen, ia akan meminta pengarang mengirimkan sampel naskahnya sebanyak antara tiga hingga empat bab pembuka. Jika sampel tersebut mampu menarik perhatian agen, pengarang akan diminta  untuk mengirimkan naskah penuh satu buku.

Saat itulah agen secara resmi akan menangani naskah tersebut. Dan ia tak langsung menawarkannya ke penerbit, melainkan menyunting dan merevisinya terlebih dahulu. Pengarang pun berkesempatan untuk belajar banyak ilmu baru dalam proses editing dan revisi awal ini dengan agen.

Barulah ketika naskah dirasa benar-benar siap, agen akan menawarkannya ke penerbit. Dan dia akan sungguh berusaha agar naskah tersebut diterima. Itu berarti ia tak sekadar perantara, melainkan juga negosiator dan promotor—ia akan berusaha meyakinkan penerbit mengenai potensi naskah dari pengarang yang ia wakili.

Setelah naskah mendapatkan lampu hijau, tugas agen masih belum berakhir. Ia melakukan tawar-menawar mengenai nilai pembelian naskah bersangkutan. Ini penting karena jatah komisinya adalah 15% dari berapa pun yang dibayarkan penerbit kepada pengarang, baik berupa advanced (uang muka royalti) maupun pembayaran royalti rutin.

Agen penulis masih terus melakukan tugasnya saat naskah sudah dalam proses penyuntingan dan revisi oleh editor penerbit. Bila diperlukan, ia dapat melakukan intervensi atau campur tangan dalam interaksi antara penulis dan penerbit, untuk kepentingan sang penulis. Dalam hal ini, agen juga menjalankan fungsi sebagai penasihat dan manajer.

Selain ide dasar dan kualitas tulisan, hal penting berikutnya yang menarik minat agen akan suatu naskah adalah potensi pasarnya, karena dia akan menghitung berapa yang bisa dia dapat. 

Naskah-naskah yang masuk daftar potensial bagi penerbit besar zaman sekarang ini adalah novel-novel fantasi, science fiction, young adult, dan juga erotica. Sedang untuk jenis nonfiksi, yang tengah dicari adalah naskah-naskah motivasi, marketing, self-improvement, self-help, dan how-to.

Naskah sebagus apa pun namun berada di luar kategori tersebut, misal kumcer, kumpulan puisi, novel sastra tinggi (istilahnya “literary fiction”), sastra eksperimental, dan buku-buku yang dikhususkan pada pangsa pasar tertentu (koleksi mobil antik, resep masakan, panduan traveling, etc.) biasanya tak menarik bagi agen. Penulis harus menjualnya sendiri, entah dengan langsung menemui editor penerbit, atau lewat jalur self-publishing.

Dengan alur seperti ini, kehadiran agen penulis sungguh sangat penting bagi kemajuan dunia buku. Satu, mereka membantu penulis memoles karyanya sampai benar-benar dirasa siap sebelum dimasukkan ke penerbit. 

Maka naskah yang tiba di meja editor penerbit pun hanya yang sungguh-sungguh prima secara kualitas. Tak ada bolong-bolong lagi yang rentan membuatnya jadi bahan bullying di media oleh para pembaca kritis atau apalagi oleh para kritikus sastra.

Dua, agen “mencarikan pekerjaan” bagi para penulis dengan turut serta meyakinkan penerbit bahwa naskah yang dibawanya layak terbit. Ini sama dengan yang berlaku di dunia olah raga. Atlet sepakbola, misalnya, tidak mengirimkan sendiri resume dan CV mereka ke kantor Persija, Persib, atau Real Madrid kayak sarjana berkeliling mencari pekerjaan. Agen lah yang melakukan itu.

Tiga, agen menjadi mentor, penasihat, dan manajer bagi penulis. Dan itu membuat penulis bisa konsentrasi penuh nulis doang. Tak harus terganggu hal-hal semacam “Dikirim ke mana ini?”, “Aduh, kalau ditolak gimana ya?”, “Ih, editornya nyebelin!”, atau apalagi bila penulis mendapat perlakuan yang tak semestinya dari penerbit-penerbit nakal.

Pertimbangan-pertimbangan itu membuat profesi agen penulis sudah saatnya hadir di Indonesia. Kehadiran para agen akan membuat para penulis tak merasa sendirian menghadapi dunia. Ini terutama bermanfaat bagi para penulis pemula.

Mereka mendapat mentor untuk mengasah keterampilan sekaligus mengarahkan karya, dan juga manajer yang membela kepentingan mereka dalam berbisnis dengan penerbit. 

Banyak newbie yang diakali penerbit “golongan hitam”, tapi mereka lebih memilih diam karena ogah ribut—atau karena merasa tak ada gunanya melawan berhubung tak punya pendamping.

Pemerintah lewat Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) bisa membidani langkah ini. Sebagaimana negara kerap mencetak tenaga penyuluh, auditor, atau petugas sensus, hal yang sama tentu dapat pula dikerjakan untuk mencetak tenaga-tenaga yang kelak akan menjadi agen penulis komplet dengan sertifikasinya.

Atau kita tunggu para calon agen satu-persatu memproklamirkan diri sebagai agen...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun