Mohon tunggu...
Witsandz
Witsandz Mohon Tunggu... Administrasi - Lebih mudah tidur larut malam dibandingkan bangun pagi.

Tulisan lainnya ada di blog www.bacaanreceh.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Penghapusan LKS Sudah Waktunya

18 Oktober 2016   09:25 Diperbarui: 18 Oktober 2016   18:43 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tanpa sengaja pagi ini melihat berita di salah satu TV swasta yang memberitakan bahwa Menteri Pendidikan berencana untuk menghapus LKS dan Pekerjaan Rumah bagi siswa sekolah. Tentang penghapusan pe-er ini mungkin mengadopsi pola pendidikan di Finlandia yang sudah kesohor itu, tentu dengan harapan bisa memberikan waktu lebih banyak bagi anak-anak generasi penerus bangsa untuk lebih bisa mengeksplor bakat, minat, dan kecerdasannya masing-masing diluar program sekolah yang sudah dijalaninya.

Sementara terkait dengan penghapusan LKS atau Lembar Kerja Siswa, ada sesuatu hal yang membuat saya tergelitik untuk menulis kali ini. Pikiran saya langsung menerawang, teringat pertama kali mengenal LKS ketika duduk di kelas 6 SD Hang Tuah X di Juanda Sidoarjo. Waktu itu tahun ajaran 1988/1989 bertepatan dengan diterapkannya metode belajar CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) menggantikan pola belajar sebelumnya. Saat itu pula saya ingat pertama kali mengenal LKS, sebuah buku sekali pakai yang wajib dimiliki oleh pelajar.

Bersamaan dengan penggunaan LKS cara saya dan teman-teman di sekolah dalam belajar juga mulai berubah. Pola CBSA menggiring kami untuk membentuk kelompok-kelompok kecil dalam belajar, lebih banyak berdiskusi dengan teman sementara Guru lebih sebagai pendamping. Cara belajar yang menurut saya lebih seru dan mengasyikkan (karena bebas ngobrol) ketika jam pelajaran sedang berlangsung. Dan waktu itu sama sekali tidak pernah terpikirkan apa dan bagaimana LKS itu, hanya senang karena tidak capek lagi harus menulis ulang soal di buku tulis, dan cukup menjawab singkat setiap pertanyan yang tertulis di buku LKS itu.

Belakangan, ada hal yang mengganggu pikiran saya terkait LKS, meskipun saya juga pakai LKS sampai dengan lulus dari SMA Negeri 16 Surabaya. Ya, menggangu dan mengganjal pikiran dalam paling tidak untuk beberapa hal berikut.

Pertama, LKS itu buku boros dan hanya sekali pakai. Buku yang tidak bisa diwariskan ke adik kelas karena biasanya jawaban langsung ditulis dibuku LKS itu, demikian juga nilai dari guru. Kalaupun diwariskan hanya untuk disontek jawaban-jawaban yang ada. Itu pun dengan catatan LKS tahun ajaran berikutnya tidak ada perubahan soal.

Sangat berbeda dengan pengalaman saya kelas 1 sampai kelas 5 SD ketika masih secara konvensional menulis pertanyaan dan menjawab di buku tulis dari soal-soal yang ada di buku paket. Saya masih mengalami buku paket warisan dari kakak kelas dan adik kelas saya juga masih bisa menggunakan buku yang sama. Masa itu saya pastinya tidak pernah berpikir berapa biaya yang dikeluarkan oleh orang tua untuk membeli buku. Tapi sekarang setelah menjadi orang tua, biaya-biaya buku sekolah anak sudah tentu menjadi bagian dari hal yang wajib dipikirkan.

Kedua, pendapat orang tua saya yang mengatakan belajar pakai LKS itu kurang efektif. Saya baru memahami belakangan ini setelah memperhatikan cara belajar anak saya. Pendapat orang tua saya bahwa belajar yang efektif itu paling tidak tangan harus menulis apa yang dibaca supaya lebih mudah paham. Saya bandingkan dengan cara belajar LKS yang cukup mengisi jawaban singkat, tidak jarang hanya memilih jawaban pilihan ganda. Cara belajar sebelumnya yang menuntut siswa membaca soal, menuliskan soal dan jawaban di buku tulis ternyata membuat materi lebih awet tertanam di otak. Belum lagi dengan keterbatasan halaman untuk menjawab, pengguna LKS akan cenderung menyingkat jawaban soal. Berbeda dengan jika mengerjakan di buku tulis yang lebih memberikan kebebasan menjawab dengan kalimat-kalimat panjang.

Ketiga, LKS sebenarnya cocok, cocok untuk kurikulum yang padat sekali sejak era CBSA dimana guru dipaksa menjejalkan banyak materi kepada siswa dan para siswa dengan waktu yang terbatas harus bisa menerima itu semua. Maka belajar dengan menggunakan LKS bisa jadi merupakan jalan keluar untuk kurikulum yang padat dengan konsekuensi pemahaman materi yang dangkal atau bahkan hanya kulitnya saja. Dan jika pemerintah berencana menyesuaikan lagi kurikulum maka ada baiknya memang penggunaan LKS ini ditinjau kembali.

Penghapusan penggunaan LKS ini tentu memiliki dampak pada industri yang terkait semisal percetakan dan penerbit. Pasar mereka tentu akan berkurang cukup signifikan, belum lagi bagi guru-guru yang menjadi pengarang LKS. Akan bijak rasanya jika langkah penghapusan LKS ini juga disertai dengan kebijakan pemerintah terhadap mereka yang terdampak secara ekonomi sehingga tidak menimbulkan gejolak. Saya tidak bisa menyebut angka pasti berapa rupiah yang beredar setiap tahun terkait dengan LKS ini. Cukup dibayangkan sejak kelas 1 SD sampai dengan kelas 12 SMA di seluruh Indonesia semua pelajaran hampir pasti ada LKS yang harus dibeli setiap tahun.

Saya bukan pengamat pendidikan, juga bukan orang yang berkecimpung di dunia pendidikan, namun sepakat dengan ide pemerintah melalui Kementerian Pendidikan untuk menghapuskan LKS di sekolah-sekolah.

Sumber

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun