Mohon tunggu...
Wahyu Triyani
Wahyu Triyani Mohon Tunggu... Penulis - Blogger

Happy Wife, Happy Mom, Blogger, and Author

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ketulusan adalah Hadiah dari Ibu yang Sebenarnya

3 Januari 2018   15:09 Diperbarui: 7 November 2022   14:53 481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi pribadi

"Wit, hadiah apa dari ibumu yang paling berarti dalam hidupmu?"

Sebuah tanya dari seorang sahabat disaat kami tengah duduk berdua. Saya terdiam sejenak, mencoba mengingatnya. Tapi... tak ada gambaran sebuah barang dalam ingatan saya. Karena yang saya ingat dari ibu adalah kecerewetannya, kami sering adu mulut sampai dengan ketulusannya merawat saya dan selalu memaafkan kesalahan saya.

Saya dulu adalah seorang gadis yang bisa dikatakan tidak dekat dengan ibu. Saya lebih dekat dengan ayah saya. Saya merasa kalau ayah lebih mengerti saya ketimbang ibu. Apa yang saya mau, 90%nya selalu ayah turuti. Ayahpun jarang memarahi saya. Mau saya berbelanja, bermain, ayah selalu memperbolehkannya. Bahkan, saya juga ingat, sewaktu mau wisuda lulus SMA, ayah sayalah yang menemani saya membeli kebaya. Pun saat saya mau menikah

Tapi seiring berjalannya waktu, semuanya berbeda. Ketika saya sudah menikah, saya seolah tak mengenal ayah yang dulu lagi. Ibulah yang lebih mengerti saya.

Ibu memang masih seperti dulu, sering berbeicara ketus, sering adu mulut dengan saya, tak pernah memuji saya, tapi saya tahu, ada ketulusan terdalam di hati ibu.

Saya ingat, sewaktu saya naik ke kelas 3 SMA, saya sakit parah. Saya harus dirawat di rumah sakit. Bed rest total. Dan ibulah yang merawat saya. Sedari saya masuk rumah sakit, sampai saya pulang, ibu tetap menemani dan merawat saya. Semenitpun ibu tak meninggalkan saya. Bahkan adik saya yang waktu itu baru berusia 8 tahun,terpaksa harus dirawat oleh tetangga saya. Dan tak heran, jika akhirnya adik saya menaruh iri pada saya lantaran cemburu karena ibu merawat saya.

Saya juga ingat, sewaktu ulang tahun saya yang ke-17 dan dirayakan. Saya mengundang teman-teman main di kampung juga di sekolah. Pesta meriah waktu itu digelar. Yang saya ingat adalah ibu membelikan saya 2 buah cincin emas yang sampai sekarang masih saya simpan. Berulang ibu meminta agar saya menjualnya dan menukarkannya dengan cincin yang lebih bagus, tapi saya selalu menolaknya. Saya tak akan menjual cincin pemberian ibu. Apalagi ibu membelikannya disaat ulang tahun saya yang ke 17, yang kata orang ulang tahun ke 17 itu sangatlah special.

Hal lain yang saya ingat dari ibu adalah disaat saya melahirkan. Saya melahirkan secara SC. Saya ingat, ibulah yang merawat saya. Beliau menemani saya sedari saya masuk rumah sakit sampai pulang. Semenitpun ibu tak meninggalkan saya.

Ibu juga yang mengajari saya memangku anak saya, menyusui anak saya dan banyak hal lain yang ibu ajarkan pada saya. Dan sekarang, saat saya bekerja, ibulah yang merawat anak saya. Ya, mungkin sebagian orang akan menganggap saya tega dan egois, tapi itulah maunya ibu. Ibu ingin merawat cucu laki-lakinya dan ingin saya memanfaatkan ilmu yang saya dapatkan sewaktu saya sekolah.

Ibu yang selalu menjadi lawan bicara sayapun juga pernah bilang, kalau saya ada masalah apa-apa, saya harus bercerita pada ibu, jangan bercerita pada orang lain. waktu itu saya hanya mengangguk.

Argh, ibu... pangkuan ibu adalah tempat terindah untuk saya pulang. Ibu yang paling mengerti saya. Bahkan, sekarang ini ibulah yang menjadi teman terbaik saya untuk mencurahkan segala suka dan duka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun