Mohon tunggu...
Witri Nailil Maroom
Witri Nailil Maroom Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang Santri

Manusia yang sedang belajar di sekolah kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Teralis Besi

29 Januari 2023   22:18 Diperbarui: 29 Januari 2023   22:30 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Namanya kebebasan, tidak tepaut ruang. Karena segala yang merdeka artinya ia bergerak sesuai kemauan. Dan, ia hanya ingin berada di balik teralis besi ini. Cukup memandang hujan, dan merasakan dingin serta lembabnya yang menusuk relung. Baginya itulah kebebasannya. Kemerdekannya.

Apa yang lebih kelam dari hari-harimu selain mengetahui kapan sebuah kematian akan menjemput orang terkasih?

Omong kosong! Teralis ini katanya untuk keamanan. Menjaga yang berharga dari satronan manusia yang terpaksa. Menjaga dari gapaian tangan yang teringin namun tak sampai. Apa? teralis ini? tak mampu mencegah maut itu masuk! Tak mampu menjaga yang paling berharga. Jiwa dari sang kekasih hati. Benar, semua itu hanya omong kosong. Yang tak lebih dari ausnya kepercayaan sesama manusia. Teralis ini, adalah bukti bahwa manusia penuh curiga dengan saudaranya.

Setidaknya, selalu ada kata 'bejo ...' kata orang Jawa. Sepelik apapun yang menimpa. Iya, masih bejo ... jiwanya diangkat di balik teralis besi ini. Saat raganya tenang di atas dipan, dan berselimut kain hangat. Sambil tersenyum, meski menyisakan tangismu yang menggema mengikuti perginya jiwa itu.

"Gambaran kematian yang ada dalam benakmu itu tidak nyata terjadi. Tuhan akan terlalu jahat jika mematikan kekasihmu itu dengan memenggal kepalanya dan dibiarkannya menggelinding di tengah jalan atau bayangan-bayangan mengerikan lain yang kamu dapat dari film-film hollywood, disaat kekasihmu memang tidak banyak polah." Kata sahabatmu yang tau kamu ada indera lebih dari manusia pada umumnya.

Hujan menderu seperti mesin penggiling. Tempiasnya memaksa masuk. Menembus mengenai ujung lengan bajumu. Tapi, kamu tetap berdiri disana. Mencengkeram dinginnya rangkaian besi yang membentuk heksagonal itu. Jika takdir dapat dinarasikan, bagiku kamu adalah proyeksi terbaiknya. Begitulah, kata-katanya saat merayumu di suatu kala mencumbu hujan.

 Akankah yang mati mampu kembali? Membawa kabar bahwa dirinya baik-baik saja, di alam yang hanya Tuhan saja yang tau. Agar, kami yang di dunia, dan orang-orang yang mencintainya dapat menghirup harap lega. Kamu yang sudah mati ... aku rindu.

:)
Teman khayalanmu, Witri ...
Masih di Bumi Allah, Januari'23

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun