Janda cantik, Miranda namanya, tiba-tiba mengusik ketenangan hidup bertetangga di perumahan Bukit Jahe, Nusa Indah. Tatkala Miranda pindah rumah, kehidupan di perumahan itu sejenak tenang . Lalu tiba-tiba polisi datang untuk memeriksa enam orang bernama Agus terkait terbunuhnya Miranda. (Miranda 1: Dia Tetangga Baruku)
Markas Polisi Sektor (Mapolsek) Nusa Indah terasa sesak oleh kehadiran kami, enam orang bertetangga bernama Agus. Kondisi kantor polisi itu rasanya tak pantas dibanding banyaknya perumahan menengah-atas di sekitarnya.
Awalnya kami sempat protes digelandang paksa ke kantor polisi seperti seorang pesakitan. Dugaan sebagai pelaku pembunuhan Miranda hanya karena kami punya nama Agus sungguh terlalu dipaksakan, bikin repot saja.
Untungnya kami saling mengenal. Perasaan sebagai orang bersalah lama-lama tak terasa. Ketegangan yang muncul saat meninggalkan rumah menuju kantor polisi perlahan sirna. Bahkan, muncul kemudian perasaan bahwa kami sedang melakukan kunjungan wisata ke kantor polisi.
Sampai di tujuan kami diminta duduk berjajar di ruang pelayanan polsek itu. Ternyata kursi yang tersedia tak cukup sehingga seorang anggota polisi berpangkat briptu terlihat jadi sibuk mangangkat kursi dari ruangan lain ke ruangan pemeriksaan dimana kami berada. "Siap Ndan, kursi sudah cukup," kata polisi sok sibuk tersebut dan meninggalkan kami.
Kami teringkat pada Briptu Norman Kamaru yang mendadak ngetop karena kepergok menyanyi lagu India berjudul Chaiya-Chaiya. Jika saja tak jadi ngetop mungkin nasibnya sama dengan polisi yang sibuk tadi.
"Kalian semua bernama Agus?," tanya polisi berpangkat Ajun Komisaris (dulu berpangkat kapten) yang tadi disapa ndan atau komandan oleh bawahannya. Ia berdiri di hadapan kami.
"Betul, pak. Makanya jangan pernah memanggil Agus saat kami berkumpul," ucap Agus Maruto, yang berusia paling tua diantara kami.
"Memang kenapa?"
"Ya kami bisa diam semua. Bisa juga berdiri semua menghampiri yang memanggil."
"Bedanya apa,"