Mohon tunggu...
Dewi Haroen
Dewi Haroen Mohon Tunggu... Psikolog -

Psikolog Politik & Pakar Personal Branding, Penulis Buku "PERSONAL BRANDING Kunci Kesuksesan Berkiprah di Dunia Politik", Narasumber media cetak/online, Radio & TV, Pembicara Seminar & Trainer, https://www.youtube.com/watch?v=oW1vuHKJ4iI http://www.dewiharoen.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pembelaan Membabi buta Pendukung Ahok di ILC yang Kontra Produktif

14 April 2016   00:41 Diperbarui: 15 April 2016   10:08 3069
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejujurnya saya malas menulis artikel tentang Ahok di Kompasiana apalagi yang bernada negatif, karena berdasar pengalaman orang-orang akan dicap sebagai haters serta di bully habis-habisan.  Tapi kali ini saya memberanikan diri karena terdorong oleh pernyataan Prof. Dr. Romli Atmasasmita SH, LLM guru besar hukum pidana Unpad di penghujung acara Indonesia Lawyer Club selasa 12 April 2016 malam dengan tema “Ahok : Di Pusaran Kasus Sumber Waras”. 

Pada kesempatan itu beliau menekankan pentingnya Pancasila yang dijelmakan dalam perilaku santun dan beretika. Sehingga beliau tidak menghendaki di forum ILC tersebut ada orang yang bicara menghujat dan tidak sopan. Karena menurut beliau dari lawyers club saja bisa diketahui bahwa pendidikan hukum adalah yang paling tahu etika. Sehingga beliau sama sekali tidak mentolerir orang –orang yang yang tidak punya etika. Pernyataan beliau selengkapnya bisa dilihat disini.

Apa yang disampaikan itu kiranya sebagai teguran/sindiran kepada pendukung Ahok yang bermaksud berbicara membela dengan cara begitu pedas menyerang pribadi seorang mantan wakil Gubernur DKI 2008 -2013 Bapak Prijanto yang hadir juga sebagai pembicara. Entah apa yang ada dibenak Noorman Hadinugroho sebagai relawan Ahok Center dengan membabi buta menghujat langsung dengan kata-kata kasar yang jauh dari adab kesopanan terhadap seseorang yang notabene jendral purnawirawan TNI. Apa saja yang dikatakan itu bisa dilihat disini.

Dalam artikel ini saya tidak membahas polemik hukum kasus Sumber Waras karena itu bukan ranah kompetensi saya. Yang akan dibahas adalah ETIKA dan SOPAN SANTUN sebagaimana pendidikan hukum adalah juga materi penting dalam pendidikan politik. Pemberitaan yang massive di media terhadap seorang Ahok yang sedang naik daun yang bergaya sebaliknya, membuat masyarakat seperti kehilangan pegangan dan arah dalam memaknai hal tersebut. Kebencian masyarakat terhadap korupsi membuat sebagian masyarakat membutakan diri terhadap sajian kata-kata kasar dan sumpah serapah yang berhamburan dari mulut beliau. 

Mediapun seakan berlomba untuk memuja dan memberi tempat yang layak untuk ketidaksantunan seorang Ahok yang dianggap sebagai pembaharu, fenomenal dan dipersepsikan di berbagai media mainstream sebagai seseorang yang sangat anti korupsi dan bersih. Kesucian Ahok ini begitu kuat diyakini sehingga diibaratkan Teman Ahok sebagai air suci yang mensucikan. Keyakinan ini membuat orang sanggup memaafkan/mengganggap hal yang lumrah jika Ahok marah-marah, menggebrak meja, memaki, menyumpah bahkan menyebut kata "Taik" atau “Nenek Loe” di depan TV Live. Jika orang lain melakukan itu dianggap melanggar etika, khusus bagi Ahok dipuja bahkan dianggap sebagai tokoh pembaharu.

Para pendukung AHOK di media sosial gencar memunculkan berbagai  idiom. Salah satu yang  yang paling terkenal adalah “Lebih baik Mana Santun Tapi Korupsi daripada  Tidak Santun Tapi Bersih?”. Mereka tampaknya sangat menikmati kebebasan berbicara dan menghujat tanpa batas tersebut.  Tak mengherankan sampai-sampai mereka merasa bahwa berkata kasar dan keras bagian dari kejujuran dan ekspresi jiwa yang suci sehingga tidak dilarang dalam politik. Sedang kesopanan dan kesantunan dikonotasikan sebagai kemunafikan dan kepalsuan sehingga orang berperilaku seperti itu justru sering dicurigai sebagai politisi busuk.

Sampai akhirnya kita semua memetik pelajaran dan tersadar dengan kejadian di ILC Selasa malam. Cara bicara Noorman yang sangat tidak pantas dan jauh  dari etika membuat  seorang Burhanudin Muhtadi ilfil saat melihat rekaman itu di Youtube. Sekaligus juga membuat hati ini miris. Sedemikian parahkan negeri ini sehingga orang boleh menghujat orang lain di TV sebagai pembelaan terhadap jagoannya? Demikian cuitan saya tadi pagi di twitter yang banyak diretweet oleh netizen lain.

Apakah wajah politik Indonesia akan diteruskan seperti ini tanpa etika dan kesantunan? Apakah ini yang dinamakan demokrasi? Apakah kemerdekaan seperti ini yang dibayangkan oleh para founding fathers kita? Apakah Reformasi justru membiarkan orang saling menghujat dan berkata kasar serta tidak punya sopan santun dalam berpolitik? Apakah kita memang dalam situasi krisis pemimpin sehingga tidak ada politisi yang santun, tahu etika dan sopan dalam berbicara yang bisa dimunculkan sebagai calon alternatif gubernur Jakarta?

Apakah Tri Rismaharini, Ganjar Pranowo, Ridwan Kamil, Abdullah Azwar Anas, Nurdin Abdullah sebagai kepala daerah yang santun, punya etika dan segudang prestasi tidak boleh dihadirkan sebagai calon gubernur Jakarta? Bukankah presiden kita yang notabene sebelumnya gubernur terpilih DKI 2013 Jokowi adalah orang yang lembut, sopan dan njawani?

Sebagai seorang pendidik dan akademisi yang berkecimpung di bidang pendidikan politik, yang tidak berpihak kepada yang pro maupun kontra, maka saya sependapat dengan prof Romli Atmasasmita, yaitu tidak mentolerir orang-orang yang tidak punya etika dalam berpolitik. Perilaku santun harus dibudayakan dan diutamakan. Disamping prestasi juga tentunya. Perbedaan pendapat dan perdebatan boleh terjadi, namun tetap dalam koridor kesopanan dan jauh dari saling menghujat. Itu tertuang dalam buku saya Personal Branding Kunci Kesuksesan Berkiprah Di Dunia Politik.

Perilaku pendukung atau relawan seperti bapak Noorman justru kontra produktif. Mengapa demikian karena masyarakat bisa melihat dengan gamblang bahwa pendukung Ahok terkesan meng-KULTUS-kan seorang Ahok. Masyarakat menjadi saksi bahwa siapa atau apapun yang dianggap merugikan atau menjelekkan Ahok akan mendapat serangan dari para pendukungnya. Ahok terkesan sebagai pemimpin anti kritik dan selalu dianggap benar oleh para pendukungnya.

Ya, tegas bukan berarti harus dengan marah-marah atau berkata kasar. Membela diri bukan harus dengan menyerang atau menyalahkan orang lain. Dan membangun bukan berarti harus dengan menggusur atau reklamasi teluk Jakarta. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun