Di balik gemuruh Pilkada 2024, ada narasi yang tak terucapkan, terselip di antara sorak sorai para pendukung dan bisikan penuh keraguan di bilik suara. Ini adalah cerita tentang kita---sebuah bangsa yang selalu berjalan di antara mimpi akan perubahan dan kenyataan yang terus berulang. Demokrasi, yang sering diagungkan sebagai mekanisme harapan, tak jarang menjadi pentas teatrikal di mana idealisme dipertaruhkan oleh pragmatisme.
Pilkada kali ini bukan sekadar soal siapa yang menang, tapi bagaimana kita memandang diri kita sendiri sebagai sebuah masyarakat. Di jalan-jalan kota, kita melihat baliho raksasa berdiri megah, menampilkan wajah para kandidat yang seolah menjanjikan masa depan yang berbeda. Namun, di balik itu, terselip ironi: janji-janji besar yang bagi banyak orang hanya terdengar sebagai gema dari masa lalu.
Rakyat, bergulat dengan kebingungan yang mendalam serta ketakutan akan intimidasi. Di satu sisi, ada harapan untuk perubahan; di sisi lain, ada trauma dari pengkhianatan politik yang sudah terlalu sering terjadi. Serangan fajar masih menjadi ritual, di mana nilai suara sering kali didefinisikan oleh nominal, bukan idealisme. Ketika uang berbicara, suara nurani tenggelam, dan demokrasi perlahan berubah menjadi transaksi.
Pilkada 2024 adalah cermin retak dari demokrasi kita, sebuah arena di mana kertas suara bukan lagi medium aspirasi rakyat, tetapi menjadi altar tempat pertarungan kuasa berlangsung. Di atasnya, perang brutal terjadi---perang yang melibatkan bukan hanya kandidat, tetapi jaringan patron, dinasti, dan oligarki yang menggenggam kendali dari balik bayang-bayang.
Di Jawa Tengah, misalnya, pertarungan antara Andhika Perkasa dan Ahmad Luthfi adalah cerita dari arena tempur kebrutalan yang tersaji dalam peristiwa pesta rakyat. Di belakang Ahmad Luthfi, ada figur yang memiliki kewenangan kekuasaan, Prabowo dan Jokowi---dua poros yang sering digambarkan sebagai rival politik---kini bersama dalam pertempuran kekuasaan. Di balik senyuman kandidat yang dipilih untuk merepresentasikan kepentingan, terselip pertarungan besar antara kepemimpinan militer dan polisi, genosida ideologis, dan kepentingan ekonomi. Jawa Tengah, yang selama ini dikenal sebagai basis PDI Perjuangan, kini runtuh dan menjadi altar di mana "keajaiban politik uang" dan operasi lapangan menentukan arah suara.
Kondisi serupa terjadi di Jawa Timur, di mana pertarungan 3 srikandi (Luluk), (Khofifah), & (Tri Rismaharini) memperebutkan kepemimpinan Jawa Timur adalah cerita lain dari arena tempur yang sama. Nama Khofifah adalah bagian yang sama dari rentetan peristiwa politik yang di mana Jokowi berada di balik layarnya. Dalam kultur politik Jawa Timur yang berkaitan erat dengan suara Nahdliyyin, yang menggunakan hati nurani untuk menentukan pilihan pemimpin serta petunjuk dari kyai, seperti kotor dinodai oleh intimidasi aparat kekuasaan (sipil maupun bersenjata), dan guyuran kertas bergambar pahlawan dalam bentuk politik uang. Basis pemilih kaum Nahdliyyin seperti kehilangan pijakan tanah yang merupakan kandang mereka. Dalam sekejap, ideologi yang selama ini menjadi landasan kekuatan politik tersingkir oleh dominasi uang dan strategi licik yang tak lagi mengindahkan batas moral.
Sementara itu, di Banten, dinasti Airin yang telah lama mendominasi akhirnya runtuh. Dinasti yang terlihat kokoh, kini tak mampu menahan gelombang pragmatisme dan strategi baru yang dimainkan oleh rival-rivalnya.
Namun, ini hanyalah lapisan permukaan. Fenomena sebenarnya terjadi di belakang layar. Mafia tambang, taipan, mafia judol, dan penguasa ekonomi ikut bermain, menjadikan kandidat sebagai pion dalam permainan mereka yang jauh lebih besar.
Di seluruh penjuru negeri, politik uang membentang seperti jaring laba-laba, membungkam suara nurani. Misalnya di Sumatera Utara, menurut informasi, suara rakyat dihargai hingga setengah juta rupiah, menjadikan demokrasi seperti pasar malam tempat segala sesuatu dapat diperjualbelikan. Di tempat lain, bohir-bohir besar memanfaatkan jaringan kekuasaan untuk memastikan hasil yang menguntungkan mereka. Pilkada bukan lagi soal siapa yang terbaik memimpin, tetapi soal siapa yang mampu membeli kemenangan.
Di atas kertas suara, tersirat kematian politik ideologi. Tidak ada lagi semangat kolektif yang dibawa oleh para pendiri bangsa. Politik kini menjadi ladang transaksi, ruang simulasi di mana kepercayaan dihancurkan oleh pragmatisme dan keputusasaan. Bagi rakyat, pesta demokrasi ini tak lagi menjadi perayaan, tetapi sebuah tontonan pahit yang memaksa mereka menerima kenyataan: suara mereka hanya dihitung sejauh nilai uangnya.