Mohon tunggu...
Wisnu  AJ
Wisnu AJ Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hidup tak selamanya berjalan mulus,tapi ada kalanya penuh dengan krikil keliril tajam

Hidup Tidak Selamanya Seperti Air Dalam Bejana, Tenang Tidak Bergelombang, Tapi Ada kalanya Hidup seperti Air dilautan, yang penuh dengan riak dan gelombang.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Polemik Hak Keuangan BPIP dan Mundurnya Yudi Latief

10 Juni 2018   15:29 Diperbarui: 10 Juni 2018   15:45 807
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fhoto/Tribunnews.com.

Persoalan gaji yang diberikan kepada personil Badan Pembina Idiologi Pancasila ( BPIP), mengundang polemic. Karena disaat hutang Negara membengkak, pemerintah terkesan berpoya poya dengan menggunakan anggaran yang tidak berpihak kepada rakyat.

Disebutkan bahwa Ketua dewan Pengarah BPIP Mega Soekarno Putri menerima gaji sebesar Rp 112.548.000 per bulan. Kemudian gaji yang diterima oleh anggota Dewan Pengarah BPIP yang terdiri dari Try Sutrisno, Ahmad Syafii Maarif, Said Aqil Siradj, Ma'ruf Amin, Mahfud MD, Sudhamek, Andreas Anangguru Yewangou dan Wisnu Bawa Tenya, masing masing menerima sebenar Rp 100.811.000,/bulannya

Adapun gaji yang diterima oleh Kepala BPIP yang dijabat oleh Yudi Latif sebesar Rp 76.500.000,-/bulannya. Dan selanjutnya gaji yang diterima oleh masing masing Wakil Ketua BPIP sebesar Rp 63.750.000,-/bulan. Untuk Bagian Deputi masing masing Rp 51.000.000/bulan dan untuk staf khusus sebesar Rp 36.000.000,-/bulan.

Disamping gaji yang diterima oleh para pimpinan, pejabat dan pegawai BPIP setiap bulannya, mereka akan menerima fasilitas lainnya, berupa biaya perjalanan dinas, dan uang tetek bengek sebagainya. Pemberian gaji ini tertuang didalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 42 tahun 2018 yang ditanda tangani oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 23 Mei 2018. Inilah yang terbaca oleh masyarakat dari Perpres itu.

Perpres Nomor 42 tahun 2018 inipun akhirnya belakangan menimbulkan polemik dikalangan politisi Senayan, para Lembaga Swasdaya Masyarakat (LSM), dan banyak pihak. Mereka umumnya menyoroti besarnya anggaran Negara yang dikeluarkan kepada BPIP, yang kinerjanya belum terlihat dengan jelas.

Munculnya polemic inipun kemudian ditanggapi oleh Profesor Mahfud MD,  mantan Ketua Mahkamah Konstitusi di mana Mahfud juga duduk sebagai anggota Dewan Pengarah BPIP. Hanya saja dalam memberikan tanggapan yang sipatnya ingin meluruskan isi dari Perpres tersebut, sang Profesor terbawa emosi.

Menurut Mahfud hak keuangan (gaji) yang diterima oleh Ketua dan anggota Dewan Pengarah BPIP yang tertera didalam Perpres itu hanya berjumlah rata rata Rp 5.000.000/bulannya, sementara yang selebihnya, sehingga jumlahnya tampak besar adalah uang tunjangan dan untuk operasional.

Seharusnya kata Mahfud, didalam Perpres tersebut tidak perlu dicantumkan hak hak keuangan lainnya yang diperoleh  personil BPIP, sehingga membuat public menjadi kaget dengan besarnya uang yang diterima oleh masing masing personil BPIP.

Karena persoalan besarnya hak keuangan yang diterima oleh personil BPIP telah mecuat kepermukaan, Mahfud mengatakan bahwa uang Rp 100.000.000,- yang diterima oleh personil BPIP itu adalah masih kecil. Jika dibanding dengan uang yang pernah diperolehnya ketika menjadi Anggota DPR RI dan pejabat Negara. Bahkan dia bisa membawa pulang uang sebesar Rp 150.000.000,- setiap bulannya. Walaupun Mahfud tidak menjelaskan secara rinci asal muasal uang yang didapatkannya itu.

Memang uang Rp 100.000.000,- bagi seorang Mahfud MD, tentu terlalu kecil, tapi bagi rakyat kecil yang memiliki penghasilan pas pasan, dan yang masih tergolong dalam tingkat ekonomi dibawah garis kemiskinan, Rp 100.000.000,- merupakan uang yang cukup besar. Jangankan untuk memilikinya, bermimpi saja tentang uang sebesar itu mereka tidak pernah.

Seharusnya, sebagai seorang pejabat Negara, Mahfud tidak perlu untuk menjelaskan hal tersebut kepada public, kendatipun maksud Mahfud itu untuk meluruskan, sekaligus menjawab kritikan yang disampaikan oleh para politisi Senayan dan berbagai pihak. Karena apa yang dikatakan Mahfud dengan kecilnya uang Rp 100.000.000,- itu dapat menyinggung dan melukai perasaan rakyat miskin Indonesia.

Hutang Negara dan Mundurnya Yudi Latief :

Polemik yang ditimbulkan dari besaran hak keuangan yang diberikan kepada BPIP itu, sampai saat ini belum mereda, masyarakat masih santer membicarakannya. Ditengah  memanasnya polemik, tiba tiba saja , Yudi Latief sebagai Kepala BPIP yang menerima gaji lebih kecil bila dibanding dengan Ketua dan anggota Dewan Pengarah BPIP, mundur dari jabatannya.

Alasan kemunduran Yudi dari jabatan Kepala BPIP jelas mengundang tanda tanya. Karena sampai sejauh ini alasan Yudi Latief Mundur dari jabatannya selaku Kepala BPIP, belum ada kejelasannya. Yudi hanya menulis tentang kemunduran dirinya sebagai Kepala BPIP memalalui acun soaialnya nya.

Hanya  menurut Menteri Sekretaris Kabinet Pratikno mengatakan, kemunduran Yudi Latief dari jabatan Kepala BPIP, karena ada kesibukan lain yang dijalankan oleh Yudi. Menurut Pratikno, berdasarkan penjelasan Yudi Latief, pihaknya harus mendahulukan kepentingan keluarganya. Karena tugas tugas BPIP semakin padat, maka Yudi tidak mampu untuk menjalankannya.

Benarkah seperti itu alasan kemunduran Yudi dari Jabatan Kepala BPIP, atau ada masalah interen yang terjadi didalam tubuh BPIP?. Memang jika mengacu kearah sana hanya Yudi Latieflah yang tahu apa yang sedang terjadi didalam tubuh BPIP itu.

Akan tetapi jika mengamati apa yang ditulis Yudi Latief diacun sosial milik nya itu, ada persoalan yang mendasar yang saat ini sedang terjadi didalam tubuh BPIP. Apakah itu masalah besaran hak keuangan yang diterima oleh Yudi Latief tidak sebanding dengan hak keuangan yang diberikan kepada para Ketua dan anggota Dewan Pengarah BPIP, sehingga persoalannya menjadi polemik ditengah tengah masyarakat?.

Jika ini persoalannya, maka kita salut terhadap Yudi Latief, yang menerima hak keuangan dari pemerintah, sementara negara saat ini sedang dalam keadaan yang kritis soal Hutang Luar Negeri yang semakin membengkak.

Besarnya pengeluaran yang dilakukan oleh Negara, dengan mengguras Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) diperuntukkan kepada hal hal yang tidak berpihak kepada rakyat, seperti hak keuangan personil BPIP, Tunjangan Hari Raya yang diberikan kepada para ASN (Afaratur Sipil Negara ) atau Pegawai Negeri Sipil (PNS), TNI dan Polri, yang aktif maupun yang pensiunan, jelas hal ini akan menjadi tanggungan Negara. Yudi mungkin merasa pihaknya tidak pantas untuk menerima hak keuangan itu, karena akan menjadi beban rakyat. Atau ada alasan lain yang membuat Yudi mundur dari jabatan sebagai Kepala BPIP itu? Hanya Yudilah yang tahu.

Saat ini  tahun 2018, setelah Bank Indonesia mengumumkan Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia telah mencapai US$ 352.2 miliar, atau setara dengan Rp 4.849 triliun dalam hitungan kurs dollar/Rp13,769,-/dollar, jumlah itu naik 10,1% dibanding tahun sebelumnya 2016 ULN Indonesia hanya naik sebesar 3%.

Hal inilah yang menjadi polemic ditengah tengah rakyat Indonesia, dimana ULN Indonesia semakin membengkak, malah pemerintah masih berpoya poya untuk mengeluarkan anggaran yang tidak berpihak kepada rakyat kecil. Bahkan pemerintah melalui Menteri Koordinator Keuangan Darmin Nasution, mengatakan bahwa jumlah UNL Indonesia masih dalam batas aman.

Berbeda dengan Negara tetangga Malaysia yang memiliki UNL sebesar 1 triliun ringgit (Rp 3.500 triliun), telah membuat pemerintahnya kalang kabut, untuk mengatasi hutang luar negeri negaranya yang ditinggalkan oleh pemerintahan sebelumnya yang dipimpin oleh Perdana Menteri Najib Rajak.

Perdana Mentri baru Malaysia Mahathir Mohamad, mengumumkan kepada para pejabat negaranya untuk melakukan pemotongan terhadap gaji yang mereka peroleh. Penotongan gaji itu akan dimasukkan kedalam rekening donasi yang diberi nama Tabungan Harapan Malaysia atau Hope Pund.

Mahathir juga mengumumkan kepada rakyat Malaysia untuk menyisihkan dari hasil pendapatan mereka setiap bulannya, untuk dimasukkan kedalam Tabungan Harapan Malaysia. Hasil dari tabungan ini nantinya akan dibayarkan kepada UNL Negara Malaysia.

Langkah tepat dan bijak yang diambil oleh Perdana Menteri Malaysia itu, untuk mengurangi jumlah UNL Negara Malaysia, membuktikan bahwa pemerintah Malaysia tidak ingin menambah hutang baru dalam keperluan Negara yang tidak jelas.

Sedangkan pemerintah Indonesia, sudah mengetahui jika UNL negaranya cukup besar, malahmasih terkesan untuk berpoya poya dengan melakukan pengeluaran yang cukup besar pula, sementara pengeluaran dana yang diambil dari APBN itu tidak pula berpihak kepada rayat    

Turun temurun

Besarnya angka ULN Indonesia jelas memprihatinkan, karena besaran jumlah UNL Indonesia, setelah jatuhnya Soeharto naik tujuh kali lipat. Semasa Soeharto memimpin Indonesia UNL Indonesia hanya berkisar US$54 miliar atau sekitar Rp 743 triliun ( kata Tomy Suharto) kepada media.

Akibatnya memunculkan banyak komentar, yang mengatakan anak cucu orang Indonesia akan ikut menanggung beban utang Negara., karena untuk pembayaran UNL Indonesia adalah dengan menggunakan pajak, sehingga beban pajak nantinya sudah barang tentu akan ditanggung oleh anak cucu orang Indonesia.

Meskipun demikian, UNL Indonesia yang sebahagiannya dipergunakan untuk membangun infrastruktur beban pajak tidak akan begitu terasa lagi oleh anak cucu orang Indonesia, karena tidak bisa pula untuk ditafik, dengan banyaknya hasil berupa pembangunan, akan menumbuhkan banyaknya lapangan kerja, dan membuat anak cucu orang Indonesia tidak perlu repot repot lagi untuk mencari lapangan kerja. Sekalipun mereka harus membayar pajak. Hal itu tentu tidak menjadi masalah karena sumbr pendapatannya lebih besar dari beban pajaknya.

Kendatipun demikian, perlu diingatkan kepada pemerintah, untuk lebih memperhatikan nasib rakyatnya dalam setiap pengeluaran anggaran yang menggunakan dana APBN. Sehingga rakyat turut merasa, sekalipun Negara berutang, tapi mereka turut untuk menikmati hutang itu.

Jangan hanya Negara menambah hutang, tapi hasil dari hutang itu dipoya poyakan hanya untuk kepentingan segelintir orang, sehingga melahirkan gap antara pemerintah dengan rakyatnya, terutama rakyat miskin. Dan itu terbukti dari jumlah rakyat miskin dan panjangnya antrian pengangguran di Indonesia.

Tidak ada salahnya bercermin kenegara Malaysia, untuk mengambil hal hal yang baiknya, dari cara pemerintah Malaysia melakukan control terhadap pengeluaran uang negaranya yang bersifat pemborosan, dan sekaligus untuk mengatasi UNL negaranya. Semoga !.

Tanjungbalai, 10  Juni 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun