Undang Undang (UU) Nomor : 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menciptakan munculnya raja raja kecil didaerah, yang berasal dari Kepala Daerah sebagai penguasa tunggal didaerah.
Pemerintah pusat berdasarkan UU tersebut memberikan kebebasan terhadap daerah (otonomi daerah) untuk mengurus daerahnya sendiri, berdasarkan peraturan dan perundang undangan yang diciptakan oleh daerah itu sendiri.
Adanya otonomi daerah yang diberikan oleh pemerintah pusat, sebagai realisasi dari semangat reformasi dalam bidang demokrasi, menjadikan kursi kepala daerah menjadi rebutan oleh sekolompok orang untuk menjadi penguasa tunggal didaerah.
Berdasarkan UU itu pula, Â pemilihan Kepala Daerah tidak lagi dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Provinsi untuk jabatan Gubernur dan Daerah untuk jabatan Bupati dan Walikota beserta wakilnya. Tapi melainkan melalui tahapan demokrasi yang dipilih langsung oleh masyarakat didaerahnya.
Kesempatan untuk menjadi Kepala Daerah bagi masyarakatpun terbuka lebar. Asalkan memenuhi persaratan yang telah ditetapkan oleh UU. Karena pencalonan Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah, boleh saja datang dari berbagai propesi, tokoh masyarakat, ulama, pengusaha, politisi, Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) maupun Polisi Republik Indonesia (Polri), dan sebagainya.
Khusus untuk TNI, Polri dan PNS, haruslah terlebih dahulu mundur dari jabatan profesi yang disandangnya. Kemudian calon pasangan Kepala Daerah dan Wakilnya, juga tidak dibatasi dengan agama kepercayaan maupun sukunya. Dan tidak pula membatasi apakah dia orang yang memiliki integritas atau pun tidak. Apakah dia preman maupun mantan preman, boleh saja maju sebagai calon Kepala Daerah, asalkan memenuhi persaratan yang diatur oleh UU.
Pada awal digelarnya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), Gubernur, Bupati dan Walikota, secara serentak, jumlah peserta untuk maju sebagai calon pasangan Kepala Daerah masih terbatas. Karena masyarakat masih bertanya tanya dan ragu untuk maju sebagai calon pasangan kepala daerah.
Mereka yang punya niat untuk maju sebagai pasangan kepala daerah, belum mengerti benar bagaimana sistim yang diberlakukan, walaupun peraturan tentang pelaksanaan Pilkada dan UU Pemilihan Umum (Pemilu) telah dibuat. Mereka lebih banyak duduk sebagai penonton, sembari melakukan pengamatan, dan belajar dengan sistim yang diberlakukan oleh pemerintah pusat tentang Pilkada.
Ketika Pilkada serentak tahap dua digelar, Â setelah pilkada tahap satu dianggap sukses dalam pelaksanaannya, barulah berminculan calon calon pasangan Kepala Daerah, untuk turut bertarung dalam Pilkada. Dan seiring dengan itu pula pemerintah terus memebenahi praturan dan perundang undangan tentang Pilkada dan Pemilu, untuk menempel celah celah yang dapat melahirkan kecurangan.
Setiap daerah yang menggelar Pilkadanya pada tahap kedua itu, tidak lagi memeiliki pasangan calon dua atau tiga pasang, tapi melainkan memeiliki empat sampai lima pasang calon Kepala Daerah.
Banyaknya calon pasangan Kepala Daerah, membuat Pilkada tidak saja berjalan satu putaran, tapi melainkan bisa menjadi dua putaran. Akibat Pilkada berjalan dua putaran, pemerintah terpaksa menambah alokasi dana untuk Pilkada dimasing masing daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota.