Mohon tunggu...
Raden Muhammad Wisnu Permana
Raden Muhammad Wisnu Permana Mohon Tunggu... Lainnya - Akun resmi Raden Muhammad Wisnu Permana

Akun resmi Raden Muhammad Wisnu Permana. Akun ini dikelola oleh beberapa admin. Silakan follow akun Twitternya di @wisnu93 dan akun Instagramnya di @Rwisnu93

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Merindukan Kehadiran Taman Bacaan di Tengah Rendahnya Minat Baca Indonesia

28 April 2021   04:51 Diperbarui: 28 April 2021   05:23 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi buku | scholarship fellow.com

Betapa mirisnya, berdasarkan artikel yang saya baca pada Kompas.com, penelitian yang dilakukan UNESCO pada tahun 2016 terhadap 61 negara di dunia menunjukkan kebiasaan membaca di Indonesia tergolong sangat rendah. Hasil studi yang dipublikasikan dengan nama The World's Most Literate Nations tersebut menunjukan bahwa Indonesia berada di peringkat ke-60, hanya satu tingkat di atas Botswana.

Saya jadi bertanya-tanya mengapa bangsa ini begitu malas membaca sih? Padahal para pendiri bangsa seperti Bung Karno dan Bung Hatta ini sangat gemar membaca dan merasa tidak kesepian selama ada banyak buku saat dipenjara oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Apa yang sebenarnya berubah? Padahal akses untuk membaca buku saat ini begitu mudahnya, tidak seperti zaman penjajahan dulu bukan?

Pengalaman saya, yang lahir pada tahun 1992, saya melihat teman-teman generasi saya ini gemar membaca, meskipun hanya sekadar baca majalah seperti Majalah Bobo dan Album Donal Bebek.

Ada juga yang gemar membaca komik seperti Doraemon ataupun Detektif Conan. Sampai suatu ketika muncul novel fenomenal berjudul Harry Potter yang menjelma jadi salah satu novel anak paling laris di dunia yang dibuat dalam delapan adaptasi filmnya, belum termasuk film-film spin offnya.

Mungkin, salah satu alasannya adalah tidak adanya akses bacaan yang luas pada saat ini. Saya ingat betul, di akhir 90an hingga tahun 2000an masih banyak penjual majalah, buku komik, hingga novel yang berjualan di depan gerbang sekolah dan sejumlah kampus. Sekarang saya lihat, hampir tidak ada sama sekali.

Saat saya sekolah, di sekitaran gedung SD, SMP, SMA ataupun sejumlah kampus banyak terdapat taman bacaan yang menyewakan berbagai macam buku komik, majalah, dan juga novel sebagai alternatif bagi siswa dan mahasiswa yang haus membaca, tapi uang saku terbatas sehingga lebih memilih untuk sewa saja.

Saat itu, setelah melakukan registrasi sebagai anggota di taman bacaan tersebut, dengan uang 1000 Rupiah, kita bisa membaca satu judul buku komik selama satu atau dua hari, dan sekitar 3000 Rupiah s/d 10.000 Rupiah untuk novel maupun buku tebal. Ada juga yang mengenakan tarif per eksemplar atau perjam untuk baca di tempat atau menggratiska untuk membaca di tempat pada hari Minggu atau hari libur nasional. Taman bacaan pun selalu ramai di jam-jam pulang sekolah karena banyak siswa yang menyewa buku komik disana sebagai bahan bacaan hiburan di rumah.

Di awal saya kuliah tahun 2010, masih ada taman bacaan yang terletak persis di depan kampus. Namun di tahun 2021, taman bacaan tersebut sudah tidak ada. Bahkan saya lihat saat ini hanya ada dua taman bacaan saja di Kota Bandung, yakni Pitimoss Fun Library yang terletak di Jalan Lombok dan Zone of Entertainment yang terletak di Jalan Pagergunung Dago yang sudah saya lihat terus bertahan selama lebih dari 15 tahun sejak saya masih SMP. Taman bacaan yang terletak di sekitar sekolah atau kampus yang saya sebutkan, sudah tidak beroperasi sama sekali.

Mungkin, bukan anak-anak atau remaja Indonesia yang malas membaca, tapi tidak ada akses untuk membaca seperti penjual buku yang berjualan di depan sekolah atau kampus maupun taman bacaan yang dulu hampir selalu ada di sekitaran sekolah atau pemukiman warga.

Ini terlihat dari begitu ramainya ketika ada sejumlah orang yang berinisiatif mendirikan taman bacaan keliling di tengah-tengah masyarakat seperti yang sering saya lihat di talkshow seperti Hitam Putih atau Kick Andy beberapa tahun yang lalu. Beberapa dinantaranya bahkan berkeliling Indonesia menggunakan sepeda motor bahkan perahu untuk membawa bacaan untuk anak-anak di pedalaman Indonesia.

Mungkin, zaman memang sudah berubah. Sejumlah surat kabar dan majalah terkemuka pun saat ini beralih ke media online dengan isi yang sama. Tapi ya menurut saya sih jauh lebih seksi dan lebih berbobot untuk membaca surat kabar, majalah, atau komik di ruang publik atau ruang privat daripada membaca berita, majalah atau komik pada smartphone atau laptop sih. Lagian lebih enak buat dibaca sambil duduk atau rebahan gitu kan daripada lewat gadget. Baca lama-lama pake gadget suka perih mata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun