Mohon tunggu...
wishnu sukmantoro
wishnu sukmantoro Mohon Tunggu... Administrasi - Saya suka menulis dan fotografi. Suka menulis tentang politik, militer, humaniora, lingkungan dan kesehatan

Saya ekolog satwa liar, menyelesaikan S1 Biologi Universitas padjadjaran, Master degree ekologi di Institut Teknologi Bandung, fellowship program di Pittsburg University dan Doktoral Fakultas Kehutanan di Institut Pertanian Bogor.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Agus oh Agus

1 Oktober 2016   18:24 Diperbarui: 1 Oktober 2016   18:32 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: http://wartamerdeka.id/wp-content/uploads/2016/05/agus-3.jpg

Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menjadi trending topik di berbagai media beberapa hari lalu. Berita AHY hampir mengalahkan kasus persidangan Jessica, meskipun masih dibawah topik pemihakan PDI pada Ahok.

Seorang mayor TNI yang karena kebutuhan sang ayah Susilo Bambang Yudoyono (SBY), memutuskan mundur dari ketentaraan dan masuk ke dunia politik yang antah berantah, ikut dalam pemilihan gubernur Jakarta. Di satu sisi, pencalonan AHY adalah wajar, karena setiap orang berhak untuk dipilih menjadi gubernur. Di sisi lain, keputusan Partai Demokrat beresiko tinggi, terlalu terburu-buru dan dianggap linglung.

Secara logis, pangkat mayor bukanlah sesuatu yang istimewa untuk menjabat menjadi Gubernur. Apalagi, AHY masih muda, belum pernah berpolitik praktis dan memegang tampuk penting di pemerintahan. AHY yang kisahnya lulusan terbaik ketentaraan di Fort Bening USA, adalah perwira karier muda yang sedang menapak jalur cita-cita kemiliteran dengan posisi yang gemilang, dibelakang posisi sang ayah.

SBY tentu bukanlah jenderal sembarangan, secara dukungan finansial dan peluang karier di politik, AHY tentu sangat besar berpeluang. AHY akan mudah menjadi komisaris sebuah perusahaan dari kader-kader Demokrat, jika tidak menjabat Gubernurpun, tentu berkarier di politik masih tetap terbuka.

Asumsi awal, SBY memang merencanakan secara matang tentang AHY, sehingga AHYpun tidak menolak apa yang diminta oleh Demokrat. SBY tentu menyiapkan langkah-langkah strategis untuk AHY dan tentu yang tahu hanyalah SBY dan kader-kader Demokrat.

Tetapi, asumsi ini bisa salah, SBY diketahui beberapa kali salah langkah atau panik dalam situasi yang sempit, apalagi menyangkut hal besar. Contoh kasus, dalam sidang di DPR bulan September 2014 mengenai pemilihan kepala daerah secara langsung, dimana Partai demokrat abstain dalam menolak atau menyetujui pemilihan secara langsung. Waktu itu, KMP (Koalisi Merah Putih) berupaya membuat penolakan pemilihan kepala daerah secara langsung. Tarik-menarik politik ini menjadi anti klimaks berakhirnya kepemimpinan SBY. Sidang tersebut digambarkan Partai demokrat panik di saat-saat terakhir membuat keputusan. http://www.kompasiana.com/wishnubio/anti-klimaks-sby_54f4a9477455137a2b6c8db5

SBY pun panik saat-saat terakhir memutuskan bergabung ke KMP. Mega tentu sadar hal ini dan secara psikologis dapat membuat panik SBY di saat-saat terakhir memutuskan dukungannya pada Ahok. Mengapa? Tentu posisi KMP sudah lemah dan SBY hakekatnya tidak ingin bergabung pada Prabowo.

Agus yang menjadi “korban” dalam pilihan pilihan terakhir SBY, karena tidak terlihat ada pengkaderan yang baik di partai Demokrat, menunggu terlalu lama Agus untuk menduduki posisi tertinggi di ketentaraan juga membutuhkan waktu (keburu Partai Demokrat habis), dan tekanan-tekanan grup KMP yang tidak menguntungkan karena terlanjur membawa isu SARA dalam perpolitikan dan tentu tidak disukai masyarakat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun