Mohon tunggu...
Wira Anoraga
Wira Anoraga Mohon Tunggu... Wiraswasta -

Mahasiswa Paska Sarjana Kajian Stratejik Intelijen Univerrsitas Indonesia | Website: IndonesianDaily.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

“Regime de la Terreur” Negara Modern

20 September 2015   19:10 Diperbarui: 20 September 2015   20:49 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Regime de la Terreur"][/caption]

Istilah terorisme telah berkembang dengan cepat dari masa ke masa bahkan hingga hari ini istilah tersebut terus berkembang mengikuti dinamika politik dan keamaman global. Sejak istilah Regime de la Terreur dikenal oleh masyarakat Perancis pertama kali pada tahun 1794, cakupan penggunaan kata teror telah berkembang semakin luas. Teror tidak lagi dipahami sebatas pada penyalahgunaan kekuasaan negara untuk menakuti rakyatnya seperti saat istilah teror diperkenalkan oleh tokoh revolusi Perancis Robespierre tersebut.                        

Tujuan terror jika mengacu pada istilah regime de la terreur tahun 1794 berakar dari tuntutan untuk menciptakan masyarakat baru yang lebih baik menggantikan sistem politik yang korupsi dan tidak demokratik.  Subjek teror yang pada awal diperkenalkan istilah ini mengacu pada kelompok gerakan revolusi rakyat untuk menentang penguasa dan negara. Namun penggunaan istilah tersebut tidak berhenti sampai di situ. Dinamika politik dan keamanan global yang terus bergolak ikut mempengaruhi penggunaan kata teror itu sendiri disesuaikan dengan konteks era dan tantangan di tiap masa.

Buktinya,pada tahun 1930an penggunaan kata teror ternyata berkebalikan dari ide dasarnya. Ide dasar yang awalnya adalah gerakan revolusioner yang memiliki unsur kekerasan dalam menentang negara dan penguasa, menjadi praktik dari tindakan represif secara massal yang dilakukan oleh negara dan penguasa (negara totaliter) terhadap rakyatnya. Itu tercermin dari gerakan Fasis di Italy, Nazi di Jerman dan Stalin di Rusia. Ketiga gerakan tersebut memiliki kesamaan yakni menebar ketakutan pada rakyat dengan subjek teror adalah negara dan penguasa.

Penggunaan kata teror paska era negara totaliter terus berkembang. Pada masa perang dunia ke dua misalnya, antara tahun 1940an hingga 1950an, penggunaan kata teror diidentikkan dengan gerakan menentang kolonialisme barat oleh kelompok antikolonial atau kelompok nasionalis. Gerakan ini mayoritas muncul di negara-negara Asia, Afrika dan Timur Tengah. Pada era ini tindakan teror lebih dikaitkan dengan gerakan politik nasional untuk melawan kekuatan kolonial/penjajah.    

Berakhirnya era kolonial, lantas membuat penggunaan kata teror didefiniskan kembali. Selama masa tahun 1960an hingga 1970an, penggunaan kata teror lebih di lihat dari perkembangan konteks gerakan revolusi. Bedanya dari tahun-tahun sebelumnya terletak dari isu yang dimunculkan. Pada masa ini isu yang muncul di permukaan adalah persoalan kelompok separatis/etno-nasionalis dan idiologi. Kelompok separatis ini terpisah dari gerakan revolusi menentang kolonial atau neokolonial. Teror pada masa ini sering diidentikkan dengan gerakan separatis seperti PLO di Palestina, FLQ di Quebbec atau Basque ETA di Catalan, Spanyol. Di Indonesia sendiri pada masa ini disibukkan dengan serangkaian pemberontakan seperti Apris, Permesta, Andi Aziz dan DI/TII. Penggunaan istilah teror yang mengacu pada kelompok etno-nasionalis dan idiologi ini yang kemudian menjadi dasar pemikiran terorisme kontemporer hari ini.

Pada tahun 1990an, penggunaan istilah teror mulai kabur. Pada masa ini mulai dikenal istilah narco-terrorism dan fenomena area abu-abu (grey area phenomenon).  Narco terrorism merujuk pada aktivitas penjualan narkoba untuk menyokong kepentingan negara tertentu atau organisasi teroris. Pada masa ini dikenal dengan masa perang dingin dimana terjadi pertarungan idiologi antara Blok Timur yang di pimpin Uni Soviet  dan Blok Barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat. Pada awal perang dingin, teror sering ditujukan kepada negara-negara komunis di blok timur utamanya kegiatan rezim Marxist-Lenin di Uni Soviet.

Istilah yang muncul kemudian adalah “grey area phenomenon” yang sebenarnya merujuk pada perkembangan terorisme paska era perang dingin. Definisi ini mencakup penggunaan kata teror terhadap segala bentuk ancaman terhadap stabilitas suatu negara yang dilakukan oleh entitas (aktor) non-negara dan organisasi non-pemerintah.

Gerakan Teroris Kontemporer

Tragedi 9/11 di Amerika Serikat pada awal tahun 2000an telah memunculkan definisi teror baru yang merubah sekaligus menggabungkan penggunaan kata teror pada tahun-tahun sebelumnya. Tragedi 9/11 telah melahirkan kebijakan War on Terror dimana langkah pertama adalah mencoba mendefiniskan istilah terorisme dalam bentuk legal formal. Usaha ini sekaligus penanda dari usaha menarik terorisme dari grey area phenomenon menjadi black and white phenomenon dengan definisi yang diperjelas dan memiliki konsekuensi hukum.

Usaha untuk membuat definisi yang dapat diterima secara universal inilah yang memicu perdebatan. Dari sejarah perkembangan yang telah di paparkan di atas dapat disimpulkan bahwa istilah terorisme sangat bergantung dari isu yang muncul pada masa itu. Negara dan penguasa dalam hal ini memiliki otoritas dalam menyusun segala bentuk definisi. Namun jika diperhatikan dari sejarah diatas, negara dan penguasa juga merupakan subjek pelaku teror itu sendiri. Maka tak heran jika usaha untuk mendefinisikan terorisme menjadi sangat rumit dan penuh perdebatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun