Mohon tunggu...
Wira D. Purwalodra (Second)
Wira D. Purwalodra (Second) Mohon Tunggu... Dosen - Seorang Pembelajar dan Pencari Kebenaran.

Banyak mimpi yang harus kujalani dengan perasaan syukur dan ikhlas. Mimpi-mimpi ini selalu bersemi dalam lubuk jiwa, dan menjadikan aku lebih hidup. Jika kelak aku terjaga dalam mimpi-mimpi ini, pertanda keberadaanku akan segera berakhir .... dariku Wira Dharmapanti Purwalodra, yang selalu menjaga agar mimpi-mimpi ini tetap indah.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Dulunya Uang Itu Hanya Alat Tukar!

17 September 2018   22:22 Diperbarui: 15 Mei 2021   22:10 649
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto koleksi pribadi

Sementara, orang-orang yang memiliki uang lebih sedikit juga akan mendapatkan fasilitas yang lebih sedikit, atau tidak sama sekali. Apabila pola ini terus berulang di berbagai bidang kehidupan (pendidikan, politik, ekonomi), maka dalam jangka waktu yang tidak begitu lama, akan tercipta kesenjangan sosial yang besar, yang berpeluang menciptakan konflik di masyarakat.

Selain itu, uang pun memiliki efek korup. Korupsi disini berarti penurunan nilai dari apa yang kita kerjakan. Ketika kita membantu orang, kita melihat tindakan kita sebagai sesuatu bernilai. Namun, ketika orang yang kita bantu membayar kita, nilai tindakan kita berubah menjadi semata nilai ekonomi yang bisa diukur dengan uang. Jadi, nilai membantu telah dikorup menjadi semata nilai ekonomi, karena nilai yang sesungguhnya dari tindakan mulia dengan membantu seseorang telah luntur, karena telah disentuh dengan uang.

Selanjutnya, uang juga melahirkan godaan yang besar di korupsi, baik secara individual maupun berjama'ah, yang ujung-ujungnya untuk kepentingan pribadi. Sistem politik dan hukum Indonesia merupakan contoh nyata, bagaimana uang telah mengaburkan semua nilai, dan menggantinya semata menjadi nilai ekonomi, sehingga mengundang orang untuk melakukan korupsi.

Ketika nilai-nilai itu luntur, akibat sepak terjang uang yang tanpa aturan, maka masyarakat pun akan ikut hancur. Hidup bersama akan menjadi amat sulit, karena boleh jadi setiap orang menjadi begitu egois untuk mengumpulkan uang lebih dan lebih lagi, kalau perlu dengan merugikan orang lain, atau kepentingan bersama.

Sementara itu, Gerhard Hofweber (2010), juga berusaha menjelaskan, bahwa hidup bersama kita telah kehilangan akal sehatnya, sehingga mendewakan uang di atas segalanya. 

Pandangan bahwa uang adalah nilai tertinggi adalah kesalahan terbesar peradaban modern. Manusia modern menjadi buta, karena ia tidak bisa membedakan, mana yang merupakan alat, dan mana yang merupakan tujuan.

Lebih jauh Hofweber menjelaskan, bahwa pandangan Aristoteles yang berusia lebih dari 2000 tahun yang lalu tentang uang masih bisa menjelaskan situasi kita sekarang ini. Baginya, uang adalah alat bagi satu tujuan tertentu. Artinya, apa yang orang beli dengan uang haruslah memiliki nilai yang lebih tinggi, daripada uang itu sendiri. Jika tidak, maka sebaiknya orang tidak membeli barangtersebut.

Sekarang ini, banyak orang lupa pada tujuan hidupnya. Kepenuhan dan kebahagiaan hidup tidak lagi menjadi tujuan. Ketika ini terjadi, maka orang bingung akan perbedaan antara alat dan tujuan. Alat berubah menjadi tujuan. Uang berubah menjadi tujuan, dan akhirnya mengacaukan seluruh tatanan hidup, baik hidup pribadi maupun hidup bersama.

Ketika uang menjadi tujuan, ia lalu dilihat sebagai kebutuhan utama. Yang menyeramkan adalah, kebutuhan akan uang tidak akan pernah cukup. Berapapun pendapatan seseorang, ia tetap akan merasa tidak cukup, karena hidupnya kehilangan tujuan yang sejati, yakni kepenuhan hidup itu sendiri. "Ketika hidup yang baik dan pemikiran yang masuk akal tidak lagi menjadi ukuran", demikian Hofweber, "maka kebutuhan akan uang akan menjadi tidak terbatas, dan kerakusan menjadi konsekwensinya."

Michael Bienert (2008) juga menulis, bahwa uang di dalam masyarakat modern telah menjadi sedemikian terlepas dari kontrol manusia. Akibatnya, bukan manusia yang mengontrol uang, melainkan uang yang mengontrol manusia. 

Uang sudah seperti Tuhan itu sendiri, mampu mendikte tindakan-tindakan kita, manusia. "Semakin sempurna uang dirasa sebagai alat tukar", demikian tulis Bienert, "semakin ia abstrak dan tanpa materi, dan semakin ia menjadi universal, maka ia akan semakin mirip dengan Tuhan." 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun