Mohon tunggu...
Wira D. Purwalodra (Second)
Wira D. Purwalodra (Second) Mohon Tunggu... Dosen - Seorang Pembelajar dan Pencari Kebenaran.

Banyak mimpi yang harus kujalani dengan perasaan syukur dan ikhlas. Mimpi-mimpi ini selalu bersemi dalam lubuk jiwa, dan menjadikan aku lebih hidup. Jika kelak aku terjaga dalam mimpi-mimpi ini, pertanda keberadaanku akan segera berakhir .... dariku Wira Dharmapanti Purwalodra, yang selalu menjaga agar mimpi-mimpi ini tetap indah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jabatan Hilang, Nalar pun Melayang?

12 Oktober 2017   11:39 Diperbarui: 15 Mei 2021   22:20 1116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di masyarakat modern sekarang ini, banyak manusia melekatkan dirinya kepada sesuatu yang menjadi hasil usahanya, seperti jabatan, pangkat, nama baik, atawa kedudukan terhormat lainnya. Bahkan, manusia melekatkan dirinya kepada barang-barang mewah kebanggannya, dan benda-benada prestisius lainnya, seperti mobil mewah, rumah baru, istri baru dan lain-lain. Kemelekatan inilahyang menjadi sumber penderitaan masyarakat kita, yang kemudian diperolehnya dengan menghalalkan berbagai cara, termasuk korupsi, menipu, bahkan membuat bodoh orang lainya.

Kemelekatan kepada sesuatu di luar diri kita, akan menjadikan perjalanan hidup kita penuh dengan kegelisahan, kecemasan, dan kekuatiran. Bahkan, kita tidak akan pernah menjadi diri kita, karena diri kita tergantikan dengan identitas-identitas yang sengaja kita lekatkan. Kita menyamakan diri kita dengan pekerjaan kita. Ketika kita mengalami masalah dengan pekerjaan kita, maka stress dan depresi berat pun seringkali datang melanda.

Dalam kehidupan sehari-hari, begitu banyak label identitas yang kita lekatkan pada diri kita. Ketika salah satu label itu bermasalah, kita menderita. Ketika salah satu label itu dihina, kita pun merasa terhina. Konflik antar manusia banyak terjadi, karena kita menyamakan diri kita begitu saja pada label-label identitas tersebut. Dengan kata lain, kita melekatkan diri pada label identitas-identitas itu.

Sebagai contoh saja, beberapa waktu lalu, seorang mantan petinggi suatu perusahaan, yang belum 'legowo' meninggalkan perusahaan yang pernah ia pimpin, melakukan berbagai ucapan sinis dan perperilaku seakan-akan masih menjadi petinggi perusahaan tersebut. Hal ini ia lakukan, karena ia masih memiliki banyak kaki-tangan, atau pengikut di dalam perusahaan itu. Meskipun ia tidak lagi menjadi petinggi perusahaan, ia masih memperoleh banyak informasi tentang perilaku organisasi maupun orang-orang yang ada di dalam perusahan, melalui banyak informan yang masih setia pada mantan petinggi perusahaan tersebut.

Mantan petinggi perusahaan itu, sebenarnya berkeinginan menjadi pejabat di perusahaan untuk yang ketiga kalinya, namun 'ndilalahkersaning Allah', pejabat itupun tiba-tiba tanpa ia sadari dan ia inginkan, ia lengser tepat diposisinya yang paling strategis. Di titik inilah, sang pejabat tinggi perusahaan tersebut, lupa membawa bekal 'legowo' untuk meninggalkan perusahaan yang bukan miliknya itu. Dan, sampai saat ini, ia terus berupaya, untuk bisa kembali menduduki kursinya yang hilang terhempas ambisinya.

Dalam nalarnya yang semakin hari semakin memudar, sang mantan pejabat itu kemudian berkonspirasi dengan orang-orang yang masih setia di dalam perusahaan. Tentu saja, tujuannya hanya untuk mengganggu atawa mengacaukan jalannya organisasi dan program-program perusahaan yang sedang berjalan.Dengan harapan, sang mantan bisa menduduki posisi strategis yang pernah ia duduki dulu.

Secara teoritis, dalam berbagai kondisi empiris, kita seringkali menemukan kenyataan bahwa terkadang manusia memang tidak selalu bergerak maju. Namun, yang seringkali terjadi adalah tiga langkah maju ke depan diikuti dengan dua langkah mundur ke belakang. Inilah gambaran  yang dialami oleh sebagian  besar individu dan masyarakat kita.

Nalar manusia merupakan bagian dari kodrat manusia. Begitulah pendapat Aristoteles, filsuf Yunani, lebih dari 2000 tahun yang lalu.Manusia adalah mahluk bernalar. Dengan nalarnya tersebut, manusia mampu bertanya, serta memahami dunia dengan menggunakan akal budinya. Pemahaman inilah yang kemudian berbuah menjadi filsafat. Filsafat menjadi sebuah upaya untuk memahami segala yang ada dengan berpijak pada penalaran, dan bukan pada kepercayaan ataupun tradisi.Filsafat lalu berkembang menjadi ilmu pengetahuan modern dengan metode penelitian ilmiah yang menjadi ciri khasnya. Pada akhirnya, teknologi pun tumbuh dan berkembang dari rahim ilmu pengetahuan modern.

Bernalar berarti memahami hukum sebab akibat yang terjadi di dunia ini secara jernih. Fakta bahwa dua hal terjadi secara berurutan, tidak berarti, bahwa ada hubungan sebab akibat disitu. Pola berpikir inilah yang kerap kali melahirkan kesalahpahaman. Bernalar berarti berusaha melihat hubungan sebab akibat sebagaimana adanya di dunia, dan bukan dengan berpijak pada asumsi-asumsi, apalagi prasangka di dalam pikiran manusia.

Selanjutnya, nalar sehat amatlah penting bagi hidup manusia. Ini tentu tak dapat disangkal lagi. Nalar berguna untuk menata hidup pribadi maupun hidup bersama. Apabila kehidupan masyarakat tidak di kelola oleh akal sehat, maka akibatnya, banyak tata kehidupan, mulai dari agama, pendidikan sampai dengan politik, mengalami kekacauan, dan terjebak pada beragam masalah, tanpa henti.

Namun demikian, nalar tetaplah bukan segalanya. Ia adalah alat yang penting untuk pelestarian diri manusia.Namun, kehidupan manusia yang sesungguhnya lebih luas dan lebih dalam dari sekedar nalar. Ini merupakan salah satu pelajaran terpenting dalam hidup manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun