Mohon tunggu...
Windu Merdekawati
Windu Merdekawati Mohon Tunggu... Penulis - Petualang hidup

Pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sejenak Merenungkan Kembali Esensi Pendidikan

10 September 2017   23:00 Diperbarui: 12 September 2017   10:38 2913
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Petunjuk hati mengarahkan saya untuk mengunjungi Museum Dewantara  Kirti Griya (MDKG) sekitar dua minggu yang lalu. Saya terusik dengan catatan atau lebih tepatnya sebuah "kilasan pikiran" di tahun 2013, tepatnya 12 Juni 2013 sekitar jam 4 pagi di toilet kos (hhhee..) Saya jadi terbiasa mencatat setiap hal, ide, mimpi, momen atau apapun itu istilahnya yang dirasa mengena, sebagaimana yang sering dinasehatkan oleh almarhum Bapak, "ayo dicatat!" 

Kilasan pikiran yang berbunyi "Pendidikan berbasis budaya berlandaskan Pancasila". Kebudayaan nenek moyang kita pada jaman dahulu dapat dilihat dari peninggalan-peninggalan mahakarya agung yang begitu indah, yang jika dianalisis dengan nalar sepertinya "It's impossible". Bagaimana cara membuatnya? Padahal di era tersebut peralatan tentunya belum secanggih jaman millenium sekarang. Coba renungkan, bagaimana mereka dapat menciptakan mahakarya agung tersebut? 

Lalu "pendidikan", sebenarnya apa yang menjadi acuan/dasar dari sistem pendidikan suatu negara? Apakah ada keharusan tertentu yang disepakati penduduk dunia untuk mengacu pada sistem tertentu? Seketika tanda tanya memenuhi kepala dan jika ada yang mengetahui saya seperti ini pasti ada yang mengatakan sudah dehh jangan overthinking Windu... hehehe.

Seperti biasa, setiap ada pertanyaan yang mengusik, saya biasanya mendiskusikannya dengan almarhum Bapak. Penjelasan beliau waktu itu kurang lebih begini: Pada jaman dahulu nenek moyang kita sangat dekat dengan Tuhan dan alam. Ritual-ritual atau tradisi budaya itu sejatinya adalah simbol sikap manembah pada Tuhan serta untuk menjaga hubungan yang harmonis dengan sesama ciptaan Tuhan.  

Konon nenek moyang kita pada jaman dahulu ketika hendak menciptakan  suatu karya, selalu dibarengi dengan laku prihatin entah itu dengan puasa, bertapa dsb. dengan tujuan untuk memohon tuntunan kepada Tuhan YME (*seperti yang pernah saya uraikan di artikel sebelumnya, tentang Museum Keris Nusantara). Jadi seperti itu kira-kira penjelasan dari almarhum Bapak saya waktu itu. Pada dasarnya kebudayaan (budaya) pada  jaman nenek moyang itu berasal dari cipta, rasa dan karsa yang dilandasi  dengan do'a.

Kembali tentang esensi pendidikan. Kebudayaan adalah simbol dari kemajuan suatu peradaban. Pada era millenium saat ini tentunya konteks (hasil) kebudayaan akan berbeda dengan jaman nenek moyang walaupun sebenarnya esensinya masih sama.

Kunjungan saya ke Museum Dewantara Kirti Griya menjawab beberapa pertanyaan saya selama ini. Saya tidak akan membahas secara detail apa saja isi museum tersebut, tetapi saya tertarik dengan esensi ajaran Ki Hadjar Dewantara mengenai sistem pendidikan yaitu "Sistem Among".

Sebelum mengulas lebih jauh tentang sistem Among, saya ingin mengulas tentang asmo (read: nama) "Ki Hadjar Dewantara". Ki Hadjar Dewantara, yang nama aslinya adalah Raden Mas Soewardi Soerjoningrat lahir pada tanggal 2 Mei 1889. Terlahir sebagai seorang bangsawan, cucu dari Sri Paku Alam III. 

Pada ulang tahunnya yang ke-40 (5 windu dalam kalender Jawa), beliau menanggalkan gelar kebangsawanannya dan mengubah asmo menjadi Ki Hadjar Dewantara. "Ki" menggambarkan seorang pria berpendidikan yang dihormati karena ilmu pengetahuannya, "Hadjar" berarti Guru, dan "Dewa-antara" yang berarti sebuah penghubung antara bumi dan dunia yang lebih tinggi.

Membaca arti "Dewantara" itu saya jadi teringat sebuah "kilasan pikiran" yang saya catat bahwa seorang peneliti itu ibarat LHC (light harvesting complex) hehe.. ini istilah dalam dunia ilmu per-pigmen-nan yang maksudnya adalah antena penangkap cahaya. 

Ide penelitian itu sejatinya insight dari Tuhan lewat pikiran kita bukan? Yang tentunya sudah terasah dengan berbagai pelatihan dan pengetahuan sehingga otak secara tajam dapat menangkap insight tersebut dan mampu menindaklanjutinya menjadi suatu penemuan teori, produk atau aplikasi tertentu yang bermanfaat untuk kehidupan. Saya mengistilahkannya, "A TrulyScientist is like an Artist" (nb: artist dalam konteks ini maksud saya adalah seniman).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun