Mohon tunggu...
Win Wan Nur
Win Wan Nur Mohon Tunggu... wiraswasta -

Saya adalah orang Gayo yang lahir di Takengen 24 Juni 1974. Berlangganan Kompas dan menyukai rubrik OPINI.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Pilkada Banda Aceh, Pencitraan Syariat Islam yang Tak Lagi Laku Dijual

19 Februari 2017   17:55 Diperbarui: 20 Februari 2017   11:16 5301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi/Kompasiana (Kompas.com)

Banda Aceh sebagai ibu kota provinsi Aceh sejak dulu dikenal sebagai kota yang terbuka tapi sangat kental mempraktikkan nilai-nilai Islam. Saya pertama kali datang dan tinggal di Banda Aceh pada tahun 1989, ketika saya tamat SMP dan melanjutkan sekolah ke bangku SMA. Saat itu nuansa islami sudah sangat kental di kota ini. Ini bisa dilihat misalnya, tidak ada orang yang menjual miras secara terbuka. Miras kalaupun ada, dijual dengan cara yang sama seperti orang menjual narkoba. 

Tapi narkoba di sini tidak termasuk ganja karena untuk narkoba jenis ini, jauh lebih gampang didapat ketimbang miras. Kemudian, pada hari Jum’at, ketika azan sudah berkumandang, Kota Banda Aceh mendadak sepi. Tak ada orang berkeliaran di jalan, warung-warung kecil ditinggalkan pemiliknya hanya dengan ditutupi kain spanduk. Tapi tak pernah ada laporan kecurian. Ya pencurian apalagi copet, jambret dan perampokan adalah hal yang sangat langka di Banda Aceh. Pada bulan Ramadhan, jelas tak ada warung makan yang buka di siang hari.

Tapi meskipun suasananya sangat islami, saat itu belum banyak orang mengenakan jilbab, bahkan guru agama saya di SMA pun “hanya” menutupi rambutnya dengan kerudung. Ada yang memakai jilbab yang merupakan tren yang dipopulerkan mahasiswi UI pasca kemenangan Revolusi Iran, tapi hanya segelintir saja yang memakainya. Di kelas saya waktu SMA, dari dua puluhan siswi, hanya ada dua yang mengenakan jilbab. Di kelas sebelah malah tidak ada.

Tahun 1992, saat saya masuk kuliah di Fakultas Teknik Unsyiah, situasinya juga kurang lebih sama dengan waktu SMA, ada yang berjilbab tapi tidak banyak. Tapi meskipun tidak berjilbab, jangan bayangkan teman-teman perempuan saya berpakaian seksi menggoda. Tidak, perempuan Aceh tidak seperti itu, mereka malu menonjolkan bagian-bagian tubuhnya. 

Meskipun tidak berjilbab, teman-teman perempuan di kampus saya selalu mengenakan celana panjang, rok panjang atau kulot. Tak ada yang berpakaian menampakkan betis. Mahasiswi Unsyiah yang berpakaian memperlihatkan betisnya cuma mahasiswi jurusan pendidikan tata boga, pendidikan tata busana dan PDPK (Program Diploma Pendidikan Kesekretariatan) yang terkenal cantik-cantik.

Meski suasananya islami, hiburan juga tidak kurang di Banda Aceh. Setidaknya ada enam bioskop di kota ini, Gajah, Garuda, Merpati, PAS 21 dan dua lagi saya lupa namanya. Tapi dari keenam bioskop itu, hanya Gajah dan PAS 21 yang merupakan jaringan bioskop 21. Jadi, hanya dua bioskop itulah yang pernah saya kunjungi. Bagi kami mahasiswa fakultas teknik, adalah kebanggaan yang perlu dirayakan dan dipamerkan ke semua kawan kalau kami bisa mengajak cewek nonton di salah satu dari dua bioskop jaringan 21 ini.

Selain bioskop, konser musik juga tidak jarang hadir di Banda Aceh. Salah satu konser terbesar yang pernah saya tonton di Banda Aceh adalah konser grup rock terbesar di Indonesia, God Bless yang didampingi oleh Elpamas, Power Metal, dan Mel Shandy sebagai band pembuka. Konser itu diselenggarakan pada tahun 1992 di Stadion Lampineung.

Ciri khas lain anak muda (bahkan juga orang tua) di Banda Aceh adalah kebiasaan “nongkrong”. Saya berani katakan, Banda Aceh adalah kota nongkrong terbesar di Indonesia. Warung kopi adalah tempat nongkrong favorit. Karena itulah Banda Aceh dikenal dengan kota seribu warung kopi. Selain warung kopi, tempat nongkrong favorit lain adalah warung nasi goreng. 

Tapi ini cuma jadi tempat nongkrong di malam hari. Tempat penjualan nasi goreng paling terkenal adalah Rex, yang terletak di daerah Peunayong. Kemudian, angkatan kami memopulerkan tempat nongkrong baru di simpang lima, tepatnya di Jalan Panglima Polem. Di sebuah warung nasi goreng bernama “Desember” yang belakangan juga membuka cabang di Jambo Tape.

Tahun 1998, pasca reformasi, suasana Banda Aceh berubah perlahan-lahan. Tumbangnya Soeharto diiringi dengan kebangkitan GAM. Konflik yang dulunya hanya didengar sayup-sayup oleh warga Banda Aceh tanpa pernah menyaksikan akhirnya benar-benar dirasakan. Di mana-mana suasana mencekam, tiap hari ada saja mayat korban pembunuhan yang ditemukan, warga wajib melakukan jaga malam.

Tahun 1999, Gus Dur naik menjadi presiden. Presiden ke-4 RI ini melakukan pendekatan penyelesaian konflik yang berbeda dari pendahulunya. Kalau presiden-presiden sebelumnya melakukan pendekatan militer dengan mengirim tentara untuk membunuh banyak orang Aceh, terlibat atau tidak terlibat Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Namun, Gus Dur membuka ruang dialog dan pendekatan humanis. Ia secara khusus mengirim Bondan Gunawan untuk berjumpa panglima GAM saat itu, Abdullah Syafi’i untuk memulai dialog ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun