Mohon tunggu...
Winny Gunarti
Winny Gunarti Mohon Tunggu... Dosen - Penulis, Peneliti, Pengajar di Universitas Indraprasta (UNINDRA) PGRI, Jakarta

E-mail: winny.gunartiww@unindra.ac.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Istiqlal dalam Persepsi "Mata Pikiran"

31 Desember 2017   06:56 Diperbarui: 21 Januari 2018   07:01 755
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kreasi Istiqlal Oleh Kreator Balok Plastik Raka Pratama.

Ada banyak hal yang pantas dijadikan renungan di akhir tahun 2017, di antaranya bangunan fenomenal historis Mesjid Istiqlal, satu dari bangunan bersejarah yang termasuk dalam "kehebatan" Indonesia. Istiqlal bukan sekadar tempat ibadah. Ia adalah tapak sejarah kehidupan masyarakat Indonesia yang menorehkan banyak makna tentang hakikat religiusitas manusia yang mungkin tidak terbaca oleh indera penglihatan semata.

Hal ini terbetik ketika mengunjungi event Brickwave bertema "Wonderful Indonesia" yang berlangsung di PRJ Kemayoran hingga 1 Januari 2018. Di ajang tersebut, replika Mesjid Istiqlal justru tampil dalam  kesan yang jauh dari "megah". Replika ini bahkan melepaskan diri dari upaya-upaya menghadirkan elemen visual unik, mewah, dan berwarna, sebagaimana ditampilkan para replika pesaingnya, seperti Candi Prambanan, Pura Tanah Lot, Taman Laut Bunaken, Klenteng Sam Poo Kong, dan replika balok plastik lainnya.

Pembuat replika ini, Kal-El Muhammad Pratama alias Raka Pratama, adalah satu dari 26 finalis kreator balok plastik terbaik berusia 13 tahun, yang justru memvisualisaskan "kebesaran Istiqlal"  dalam "kesederhanaan" yang agaknya hanya dapat ditembus oleh "mata pikiran". Setidaknya ada beberapa momen penting yang melintas ke dalam pikiran kita tentang Istiqlal.

Ketika tujuh tahun lalu, tepatnya 10 November 2010, Presiden Barrack Obama dan Michelle Obama mengunjungi Mesjid Istiqlal Jakarta, untuk sesaat masyarakat Muslim dunia, khususnya Muslim di Asia, seolah sedikit terhibur dengan arah pandangan AS terhadap Islam. Terlebih setelah lawatannya ke Jakarta, Barrack Obama kemudian menuliskan pesan, bahwa "kerukunan umat beragama di Indonesia patut ditiru negara lain, dan bisa menjadi jembatan bagi perbedaan antara muslim dengan dunia barat", sebagaimana dilansir di bbc.com/indonesia/dunia.

Pesan ini secara tidak langsung mengangkat citra negeri Indonesia di mata dunia yang sangat menjujung kebhinekaan, negeri yang mengakui 6 agama, yaitu: Islam, Katolik, Protestan, Buddha, Hindu, Khong Hu Cu. Negeri  dengan penduduk Muslim terbesar, dan rasa kebhinekaan itu secara konvensi tidak tertulis, seolah terrepresentasikan  melalui keberadaan Istiqlal, yang lokasinya juga berseberangan dengan Gereja Katolik tertua Katedral. Namun, tujuh tahun kemudian, di penghujung tahun 2017, Istiqlal kembali membuat catatan antiklimaks yang lain, yaitu menjadi lokasi reuni 212, atas serangkaian peristiwa sebelumnya, sebagai momen untuk menjaga kerukunan antarumat beragama.

Dalam konteks imaji visual,  Istiqlal memang bukan sekadar citra. Ia  berada "beyond" di dalam ruang batin manusia. Ia adalah ruang untuk menyerahkan kalbu terhadap Sang Pencipta. Tidak diperlukan kemewahan di dalamnya, apalagi suasana gegap gempita. Bahkan desainernya, Frederich Silaban yang Kristen Protestan, sejak  tahun 1954 telah meletakkan konsep kesederhanaan tersebut dalam  setiap garis arsitekturnya. Dalam "kesederhanaan" nya, Istiqlal menjadi mesjid terbesar di Asia Tenggara. Ia adalah keindahan dalam kebhinekaan tunggal ika.

Pasangan penulis imaji visual Mike Samuels dan Nancy Samuels (1983) pernah mengatakan, bahwa hasil karya yang memiliki kemampuan untuk dilihat dengan cara merasuki alam pikiran bawah sadar manusia adalah sebuah hasil penglihatan dengan mata pikiran (seeing with the mind's eye). Ia memaksa kita untuk mengingat kembali peristiwa-peristiwa yang telah terjadi, ia mampu mendorong kita pada kemampuan untuk berurusan dengan pikiran-pikiran yang asing. Ia bahkan memiliki kekuatan untuk memisahkan penggunanya dari gangguan-gangguan eksternal yang cenderung mengacau, namun secara konsisten mengajak pemiliknya untuk kembali menemukan sebuah tempat yang menentramkan, sebuah ruang yang tenang.

Inilah kehebatan dan keindahan Istiqlal yang sesungguhnya, yang tidak kasat mata. Pantas kalau ia termasuk dalam "Wonderful Indonesia". Replika Istiqlal ini didesain dengan menghabiskan 9.999 keping balok plastik, dengan ketinggian 40 cm, dan Luas 76,2x76,2 cm. Ia dihadirkan untuk ikut mewakili serangkaian peristiwa yang menyentuh sisi humanis manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun