Mohon tunggu...
Winny Gunarti
Winny Gunarti Mohon Tunggu... Dosen - Penulis, Peneliti, Pengajar di Universitas Indraprasta (UNINDRA) PGRI, Jakarta

E-mail: winny.gunartiww@unindra.ac.id

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Ketika Konsumen Bersuara di Media Sosial: Sebuah Sikap Mewaspadai Integrasi Iklan

28 September 2017   20:31 Diperbarui: 28 September 2017   20:43 1561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: http://all-free-download.com/free-photos/download/young_woman_thinking_186937_download.html

Masyarakat  di abad virtual semakin "ekspresif". Media sosial bukan saja menjadi tempat untuk memenuhi kebutuhan informasi, tetapi juga menjadi ajang untuk memuaskan hasrat bersuara yang kian menggoda.  Respon yang diberikan terhadap berbagai isu sosial, baik yang ringan maupun berat, kian spontan dan beragam, mulai dari simpati, dukungan, kritikan, olok-olok, hingga tingkat kecaman dan provokasi. Secara tidak langsung, segala bentuk interaksi di media sosial ini telah menggiring masyarakat untuk semakin memasuki konsep sosial integrasi yang kian absurd batasan-batasannya.

Dalam buku berjudul Cultural Theory, The Key Thinkers, yang disunting oleh Andrew Edgar dan Peter Sedgwick (2002), filsuf posmodernisme, Lyotard pernah mengatakan bahwa pikiran-pikiran manusia pada akhirnya tunduk pada hegemoni komputer dan subjek berpikir digantikan oleh kecenderungan inheren mekanik teknologi modern, maka pengetahuan dengan cara ini pun berubah menjadi terkait dengan nilai tukar dan permainan kekuatan dari luar.  

Pemikiran Lyotard tersebut menarik untuk direnungkan,  setidaknya untuk mulai membangun persepsi kita betapa besarnya pengaruh yang dapat ditimbulkan oleh media sosial terhadap para penggunanya, terutama karena adanya kekuatan-kekuatan "tangible dan intangible" yang bermain di dalam ranah informasi dunia maya, yang berpotensi menimbulkan  dampak positif ataupun negatif pada kehidupan sosial penggunanya sebagai masyarakat konsumer. 

Yang menarik untuk dicermati belakangan ini adalah munculnya isu pro kontra tentang produk susu kental manis (SKM) di media sosial. Munculnya sejumlah artikel yang membahas tentang kandungan gizi di dalam susu kaleng tersebut menimbulkan perdebatan di dunia maya yang membangun persepsi beragam. Ini disebabkan informasi yang disampaikan melalui situs-situs dan media sosial itu, baik yang pro maupun kontra,  disuarakan oleh lembaga swadaya masyarakat, lembaga konsumen, peneliti, komunitas, hingga pakar gizi dan kesehatan, yang masing-masing dianggap memiliki kredibilitas untuk dipercaya oleh konsumen sebagai pengguna produk tersebut.

Konsumen pun ternyata tidak mau tinggal diam. Sebagai contoh, di laman media sosial Frisian Flag Indonesia baru-baru ini, yang memasang status tentang perlunya menghadirkan SKM ini di tengah keluarga, lengkap dengan visualisasi keluarga pasangan muda bersama seorang anak kecil dan segelas susu, terbukti memicu respon konsumen untuk bersuara secara ekspresif. Mereka tidak segan-segan menyuarakan pikiran dan kekhawatirannya dengan komentar-komentar yang didasarkan pengalaman dan pengetahuan mereka sebagai pengguna.  Mereka yang pro dengan status tersebut tentu bukan masalah. 

Akan tetapi, ketika suara konsumen yang kontra lebih "tajam", maka pihak produsen sebaiknya mulai memberikan perhatian khusus. Mereka yang kontra terutama menganggap  SKM bukanlah susu, sehingga  tidak baik untuk diberikan kepada anak-anak, karena mengandung kadar gula yang tinggi. Suara-suara konsumen yang menentang juga berpandangan, apabila persepsi tentang susu terhadap SKM ini dibiarkan, maka dikhawatirkan dapat berdampak bagi kesehatan generasi di masa depan, seperti munculnya penyakit degeneratif di usia muda. Apalagi bila dikaitkan dengan rencana pemerintah Indonesia untuk mewujudkan generasi emas di tahun 2045.

Terlepas dari sedang ramainya perdebatan tentang produk tersebut, perlu kita garisbawahi, bahwa munculnya suara-suara konsumen di media sosial, dapat dikatakan sebagai sebuah sikap untuk mewaspadai integrasi iklan, khususnya iklan produk pangan yang dianggap dapat mengganggu kesehatan, terutama anak-anak sebagai generasi penerus bangsa. Marcel Danesi (2011) menganggap integrasi iklan saat ini telah menembus segala lapisan kehidupan, sehingga teknik-teknik beriklan yang bertujuan mempromosikan produk dan mempersuasi konsumen -- secara tidak sadar-- tidak lagi dikenali sebagai strategi. Iklan saat ini sudah menjadi hiburan tersendiri bagi konsumen, menjadi bentuk-bentuk pelarian untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan manusia.

Contoh bentuk integrasi iklan terkait produk, menurut Danesi (2011:311-312) di antaranya adalah bentuk integrasi iklan yang  "mendorong orangtua agar percaya bahwa memberikan produk tertentu  pada anak mereka akan menjamin hidup dan masa depan yang lebih baik bagi anak". Persoalannya adalah, bagaimana masyarakat bisa meyakini bahwa produk tersebut benar-benar baik untuk dikonsumsi anak-anak atau sebaliknya?

Undang-Undang Perlindungan Konsumen sebenarnya telah mengatur pada Pasal 3 tentang upaya "menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha".  Dengan demikian, setiap pelaku usaha atau produsen produk perlu menyadari bahwa strategi beriklan tidak semata-mata mengutamakan kepentingan produk. Secara syari'at Islam, tentunya iklan juga harus mampu mendatangkan banyak manfaatnya dibandingkan mudaratnya. Azas keadilan yang diperlukan konsumen perlu dipenuhi, seperti memberikan edukasi tentang komposisi produk pangan yang dipromosikan. 

Pihak Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang beberapa kali telah melakukan teguran terhadap sejumlah tayangan iklan produk di televisi, yang dianggap telah melanggar pedoman-pedoman penyiaran, agaknya juga perlu menghimbau masyarakat selaku konsumen dan penonton untuk aktif peduli, lebih kritis, dan lebih selektif  terhadap tayangan iklan di media elektronik ataupun yang diviralkan melalui media sosial, terlebih jika itu menyangkut produk pangan untuk anak-anak.  

Konsumen masa kini harus lebih cerdas, perlu lebih tanggap melakukan upaya-upaya preventif, dan tidak lagi bersikap pasif. Konsumen perlu membiasakan diri membaca label pada produk pangan yang dipromosikan, dan tidak mudah terbujuk. Konsumen juga memiliki hak untuk bersuara dan memperoleh informasi yang benar tentang suatu produk, apabila ada tayangan iklan produk yang dianggap kurang tepat dalam visualisasinya.  Semua itu adalah sikap-sikap untuk mewaspadai bentuk integrasi iklan di era teknologi informasi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun