Mohon tunggu...
winner wibisono
winner wibisono Mohon Tunggu... Lainnya - urban tramp

menggelandang sambil merayakan hidup

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

kaleidoskop hitam putih kebudayaan bangsa

6 Juni 2017   21:54 Diperbarui: 8 Agustus 2017   11:50 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pada era globalisasi sekarang ini dunia terasa semakin luas. Adanya keterbukaan serta kemudahan mengakses informasi serta menjalin komunikasi lintas Negara bahkan benua membuat kita dapat melihat banyak hal yang sebelumnya asing bagi kita. Batas batas antar Negara pun tampak semakin tipis. Batas yang terasa hanya sebatas konstitusional, namun pada aspek-aspek lain tak ada sekat yang berarti. Hal ini tentunya mempengaruhi berbagai aspek kehidupan, khususnya perihal kebudayaan.

Kebudayaan adalah suatu cara hidup yang berkembang dalam suatu masyarakat secara menyeluruh dan meliputi banyak kegiatan social masyarakatnya. Dari sini dapat disimpulkan bahwa kebudayaan bangsa ialah pola kehidupan yang berkembang dalam masyarakat yang meliputi setiap elemen kehidupan social suatu bangsa. Sebagai bangsa yang heterogen, dimana setiap segmen masyarakatnya memiliki corak kebudayaanya masing masing, kebudayaan bangsa merupakan simpul yang merajut setiap corak itu. Ia lahir dari setiap ruh kebudayaan yang ada dalam setiap segmen masyarakat dan menemukan dirinya sebagai ruh yang lebih besar yang menjiwai setiap aspek kehidupan seluruh masyarakat Indonesia.

Derasnya keran globalisasi ini akan membawa banyak nilai nilai baru ke dalam kehidupan masyarakat. Nilai nilai tersebut menjadi akrab dan masuk ke dalam kehidupan masyarakat. Oleh karenanya, tentu mempengaruhi akan adanya perubahan budaya bangsa secara massif. Proses asimilasi, akulturasi serta berbagai macam proses pembenturan nilai kebudayaan jelas akan terjadi.

Disini saya melihat timbul dua permasalahan yang berdiri di dua kutub yang berbeda. Pada kutub pertama yaitu derasnya arus globalisasi tampak tak berbendung. Nilai nilai dari luar bercampur kedalam kehidupan masyarakat dan mempengaruhi pola kehidupannya. Masyarakat, khususnya anak muda yang notabene lebih intens bersentuhan dengan nilai tersebut memiliki kecenderungan meniru secara mentah budaya dari luar tersebut. Bahkan, budaya asing memiliki nilai perstisius lebih. Hal ini menjadikan proses akulturasi yang terjadi menjadi cacat. Karena perubahan kebudayaan yang terjadi dilakukan melalui penguraian nilai nilai kebudayaan kolektif yang ada, yang dari dalam dan dari luar. Sehingga ruh dari nilai itu sendiri tidak keluar dan hanya mengikuti bentuk bentuk nya saja. Ini mirip dengan interpretasi franz magnis-suseno tentang positivisme era comte yang dikatakan sebagai positivism seolah-olah, dimana masyarakat eropa pada umumnya saat itu mengakui sains sebagai suatu tolok ukur kebenaran tertinggi. Akan tetapi dalam pandangannya, yang terjadi ialah suatu bentuk kepasrahan bukan hasil dari proses dialektika secara kontemplatif.

Pada kutub yang lain, globalisasi dianggap sebagai sebuah permasalahan yang mengancam kebudayaan bangsa. Sebagian masyarakat (umumnya pada kalangan senior) cenderung resisten terhadap pengaruh kebudayaan asing. Pengaruh kebudayaan dianggap merusak tatanan kebudayaan yang ada, sehingga dibuatlah tembok untuk membentengi diri dari pengaruh kebudayaan asing baik secara utuh maupun parsial. Hal ini justru menghambat proses perkembangan kebudayaan, dan bahkan mati. Karena pada dasarnya kebudayaan hidup dalam segala aspek di masyarakat. Segala nilai yang berada di tengah masyarakat membentuk kebudayaan itu sendiri. Maka, kebudayaan yang ada haruslah datang dari proses interaksi dan pembenturan nilai secara jujur dan terbuka. Sama seperti misalnya kebudayaan jawa yang kita kenal saat ini, hanya akan bisa menjadi seperti itu ketika ia membuka diri dengan pengaruh islam serta india yang masuk saat itu.Setiap perkembangan nilai nilai pun akan membentuk kebudayaan yang baru dimana ia menjadi bentuk yang lebih tinggi dari yang sebelumnya. Kebudayaan yang ada di urai, sehingga di dapati ruhnya yang kemudian di benturkan dengan nilai nilai baru yang masuk, sehingga menjadikan ruh tersebut kepada wujudnya yang lebih tinggi. Sikap penolakan diri, ataupun mensekat sekat nilai yang masuk kedalam kehidupan masyarakat akan mematikan kebudayaan itu sendiri karena kebudayaan hanya dapat hidup di tanah yang menjunjung kemerdekaan dan keterbukaan. Sikap penolakan diri tidak akan melihat wujud sesungguhnya dari kebudayaan yang ada, namun hanya sebatas pelarian nostalgis pada realitas lampau. Mensekat dan membatasi nilai baru yang masuk ke dalam masyarakat pun juga mencacatkan perkembangan kebudayaan itu sendiri, sebab kebudayaan yang ada menjadi artifisial dan bukan berasal dari proses interaksi yang jujur.

Saya melihat kebudayaan bangsa saat ini seperti kaleidoskop yang hitam putih. Dimana kotak tersebut harusnya tampak indah dengan peleburan setiap unsur warna yang ada di dalamnya, menjadi hitam dan putih. Tidak baur. Antara nilai kebudayaan yang sudah ada dengan nilai baru yang masuk. Antara segmen masyarakat yang menutup diri dengan segmen masyarakat yang lupa diri. Dari kedua kutub permasalahan tersebut, tampak pelik nasib kebudayaan bangsa. Ketidak siapan masyarakat menghadapi derasnya arus informasi di era globalisasi dewasa ini membuat proses akulturasi yang terjadi bermasalah. Untuk itu kita perlu mengurai kembali setiap nilai yang ada dalam masyarakat sehingga kita dapat menemukan bentuk kebudayaan bangsa kita dalam konteks realitas yang ada saat ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun