Artikel luar biasa dari Jonathan Wilson untuk Sports Illustrated. Saya merasa terhormat untuk dapat mentranslasikannya.
Pep Guardiola pura -- pura kesal ketika Oleksandr Zinchenko minggu lalu menyebutkan 4 gelar yang dapat diraih Manchester City musim ini, tapi pasti banyak orang di Etihad sudah memikirkan kemungkinan tersebut.
Kemenangan langsung 2-0 atas Borussia Monchengladbach pada hari Selasa (17/03/21) waktu Eropa mengantarkan Citizens lolols ke perempat final Liga Champions dengan agregat 4-0.
City sudah unggul 14 poin di Liga Premier, sudah berada di perempat final Piala FA dan final Piala Carabao dan membalikkan keraguan yang menghampiri mereka di awal musim.
Ketika City bermain imbang 1-1 dengan West Bromwich Albion di kandang sendiri pada pertengahan Desember, masuk akal untuk bertanya-tanya apakah musim ini akan menjadi yang terburuk bagi klub kota Manchester ini.
Jawabannya atas tuduhan tersebut cukup tegas dengan City telah memenangkan 24 pertandingan dari 25 pertandingan terakhir di semua kompetisi.
City yang begitu digdaya merupakan hasil daya kreasi dari Guardiola sendiri.
Guardiola mampu beradaptasi atas segala kondisi yang ada. Dalam tiga musim terakhir, City dan Liverpool bersaing ketat dalam statistik sebagai tim dengan intensitas permainan tertinggi. Musim ini, dengan pramusim yang hampir nihil serta kalender pertandingan yang padat, bermain dengan intensitas seperti musim sebelumnya tentu tidak arif.
Pelatih Manchester City ini telah menemukan cara untuk bermain lebih pragmatis, meskipun itu bertentangan dengan naluri alaminya. City dapat segera menyempurnakan gaya bermain mereka setelah belajar dari pengalaman. Â Kekalahan 5-2 dari Leicester pada bulan September menjadi bahan Pep untuk mematangkan strategi yang mengantarkan Citizens tidak terkalahkan dalam 20 pertandingan berturut-turut.
Baca juga: "Messi-Ronaldo hingga Liga Super Eropa: 5 Poin Utama dari Liga Champions Pekan Ini"