Mohon tunggu...
William Gunawan
William Gunawan Mohon Tunggu... Dokter - Dokter

Pundit dan Dokter. Sedang berdomisili di Mandori, Biak-Numfor

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Berutang Kematian

4 Februari 2018   07:08 Diperbarui: 4 Februari 2018   08:07 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Desa kecil itu di tengah hutan. Jauh dari keramaian. Ada satu keluarga kecil di dalamnya, seorang anak kecil dan ibunya. Mereka bahagia karena hutan itu memberi mereka kecukupan hidup. Jika mereka menanam ubi, dengan ajaib ubi itu tumbuh. Bahkan, hutan ini bersedia memberikan mereka buah dan sayur.

Hutan ini seperti mengajari mereka cara menangkap hewan buruan: rusa, babi, burung, atau apa pun itu. Yang terpenting, hewan buruan itu tidak lebih ganas dibanding rasa lapar mereka. Begitulah kira-kira hutan menyeguhkan kenikmatan kecil agar keluarga ini hidup nyaman.

Selain mengajari keluarga kecil ini jauh dari rasa lapar dan haus, hutan ini juga mengajari mereka untuk bertahan hidup. Ketika hujan datang dan sering membuat mereka basah kuyup, mereka berteduh di bawah pohon rindang. Sampai akhirnya mereka menyusun beberapa batang kayu yang di atasnya ditutupi daun. Mereka menyebutnya rumah. Tempat bermukim ini aman bagi mereka.

Di tempat ini, mereka mulai mengenal banyak hal, dari menggesek-gesek kedua batu sampai keluar api sampai bagaimana melenyapkan api itu dengan air. Mereka mengerti dengan memegang api bahwa ada rasa panas yang hadir. Saat mereka menyentuh air, rasa dingin datang. Dari peristiwa sederhana ini mereka mulai memahami sesuatu.

Pada malam hari, hutan memberi cobaan keluarga. Badan sang ibu tiba-tiba panas sehingga tidak bisa bangun dalam beberapa hari. Si anak panik, lalu berharap pada keajaiban air agar demam ibunya hilang, mulai dari diguyur, diminumkan, hingga tubuh si ibu direndam di dalam air. Hasilnya nihil, demam itu tidak lenyap. Akhirnya, si ibu harus pergi akibat demam. Dukacita pun datang.

***

Cerita di atas bukan dongeng, melainkan warisan kemalangan masyarakat pedalaman kita. Mereka dibiarkan hidup dengan diksi "tradisional". Dari mereka, kita banyak berutang. Kita berutang tragedi, kisah, dan nikmat hidup. Tidak hanya itu, kita juga berutang kesehatan kepada mereka.

Utang itu bisa kita lihat dari usaha seorang Edwin Chadwich, manusia yang menjadi pelopor kesehatan masyarakat. Ia tidak lupa mencatat ketertarikannya pada kematian yang terjadi di kota-kota besar di Inggris pada abad ke-19.

Sebelumnya, ada William Farr yang mewariskan kegiatan mencatat angka kematian ini. Warisan itu tidak lain muncul karena adanya utang kematian dalam sebuah tragedi wabah. Tragedi itu disebut black death (pneumonia karena pes) di Eropa pada tahun 1348, yang menjadi awal mula kegiatan mencatat angka kematian.

Akhirnya, pada tahun 1920 Winslow, guru besar Universitas Yale di bidang kesehatan masyarakat, menyatakan masyarakat harus berusaha menanggulangi masalah kesehatannya sendiri. Dari sini, kesadaran mencegah penyakit kemudian menyeruak. Di Indonesia, tanggung jawab itu dipegang oleh pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas).

Tidak banyak yang menyorot bagaimana puskesmas hari ini. Di layar kaca, yang cuma berukuran inci, hanya kinerja pelayanan kesehatan di tingkatan rumah sakit yang disorot. Kita hanya punya bekal film dokumenter, semisal Suster Apung dan Tiga Mama Tiga Cinta, yang merekam denyut puskesmas kita. Itulah potret puskesmas kita hari ini: bekal seadanya dengan tanggung jawab segudang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun