Mohon tunggu...
Willem Wandik. S.Sos
Willem Wandik. S.Sos Mohon Tunggu... Duta Besar - ANGGOTA PARLEMEN RI SEJAK 2014, DAN TERPILIH KEMBALI UNTUK PERIODE 2019-2024, MEWAKILI DAPIL PAPUA.

1969 Adalah Momentum Bersejarah Penyatuan Bangsa Papua Ke Pangkuan Republik, Kami Hadir Untuk Memastikan Negara Hadir Bagi Seluruh Rakyat di Tanah Papua.. Satu Nyawa Itu Berharga di Tanah Papua..

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Ketum DPP GAMKI: Membumikan "Human Rights" di Hari Kemerdekaan RI ke-74

15 Agustus 2019   13:06 Diperbarui: 15 Agustus 2019   14:24 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

DPP GAMKI - Peringatan Hari Proklamasi kemerdekaan 1945 yang jatuh pada tanggal 17 Agustus, yang dirayakan secara reguler oleh seluruh warga negara dengan suka cita, termasuk dilaksanakan dalam upacara seremonial megah di Istana Negara, yang dihadiri oleh diplomat negara negara sahabat. Gegap gempita perayaan hari kemerdekaan, terasa mulai dari wilayah perkotaan, perdesaan/perkampungan, lorong-lorong, lembah-lembah, pegunungan, lintas kepulauan, ikut larut dalam perayaan hari kemerdekaan yang begitu bersejarah itu. 

Perayaan hari kemerdekaan di Indonesia benar-benar berbeda dengan negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Brunei, dimana hasil kemerdekaan yang diperoleh di negeri ini, didapatkan melalui perjuangan panjang disertai pengorbanan jiwa dan raga (bukan hasil pemberian penjajah), serta yang terpenting seluruh identitas suku, budaya, agama, yang tersebar diseluruh wilayah nusantara, bersatu dalam keyakinan yang sama, yaitu semangat menentang kolonialisme. Kemerdekaan yang diperoleh negeri ini, tidaklah diserahkan secara cuma-cuma, tetapi direbut dengan perjuangan berdarah-darah. 

Pada masa itu, gerakan revolusi 45 dibangun berdasarkan perasaan senasib dan sepenanggungan sebagai bangsa yang terjajah dan tertindas. Sehingga tidak heran, pada masa itu, seluruh komponen anak bangsa (dari Merauke  - Sabang) bersatu mendorong berdirinya negara yang  berdaulat. Dengan harapan, generasi dimasa mendatang akan menikmati hasil perjuangan revolusi kemerdekaan tanpa harus merasakan perampasan hak asasi disemua lini kehidupan. 

Makna kolonialisme adalah perbudakan kelompok manusia oleh sekelompok manusia lain, dengan memaksa setiap orang untuk tunduk pada sistem kekuasaan yang mengijinkan perampasan kebebasan dan pemerkosaan terhadap hak asasi sekelompok manusia lain. 

Dihari ini, setelah 74 Tahun Indonesia hidup dalam udara kemerdekaan, secara fisik praktek kolonialisme tersebut menghilang, namun jejak-jejak mental dan perilaku yang mengafirmasi kolonialisme masih terasa, diantaranya, terdapat sebagian dari anak negeri yang berbeda keyakinan agama, yang justru mendapatkan perlakuan diskriminasi, dalam bentuk penyegelan rumah ibadah, tempat dimana Tuhan diagungkan dan disembah. 

Peristiwa pelarangan mendirikan Rumah Ibadah dan pelaksanaan praktek ibadah, baru baru ini terjadi di daerah Petalongan, Kecamatan Keritang, Kabupaten Indragiri Hilir, Riau. Bahkan Pemda setempat menggerakkan perangkat Pol PP yang menjadi alat negara di daerah setempat, untuk membantu penyegelan rumah ibadah, tempat warga kristen seharusnya menjalankan ibadah secara bebas dan merdeka.

Menyembah Tuhan bukanlah perbuatan nista yang melanggar kesusilaan dan norma-norma yang umum di sepakati dalam kehidupan bermasyarakat, terlebih lagi dalam rangka kehidupan kebangsaan. Sebab, landasan filosofis Pancasila menjamin dan melindungi Keyakinan Setiap Orang terhadap Ajaran Agama dan Keyakinan dirinya terhadap Tuhan Yang Maha Esa. 

Noda hitam itu, tidak berhenti hanya pada kasus penyerangan terhadap prinsip keyakinan dalam pelaksanaan ajaran agama saja, di ufuk timur negeri nusantara , di Tanah Papua, juga masih terus berlangsung rangkaian operasi militer yang telah berjalan selama 9 bulan, terhitung sejak perintah operasi militer itu dilakukan pada awal bulan Desember 2018 di tahun lalu. 

Dan sejak rilisan perintah operasi militer selama periodisasi 9 bulan itu, dilaporkan terdapat 182 orang mati di Kabupaten Nduga menurut laporan Tim Kemanusiaan Nduga, yang keanggotaannya terdiri dari unsur Pemda, DPRD, Aktivis HAM, dan Lembaga Sinode di Kabupaten Nduga. Dan hasil penelusuran korban tersebut, juga telah dilaporkan ke Kementerian Sosial RI di Jakarta. 

"Korban meninggal terbanyak adalah anak-anak/balita sebanyak 92 jiwa, dan sisanya sebanyak 90 korban lainnya adalah orang dewasa". 

Adapun rincian 182 korban meninggal akibat pelaksanaan operasi militer di daerah Nduga terdiri dari 21 korban meninggal kategori perempuan dewasa, 69 korban meninggal kategori laki-laki dewasa. Selain itu terdapat  92 korban meninggal kategori anak/balita/bayi, yang terdiri dari 20 korban meninggal kategori anak laki-laki, dan 21 korban meninggal kategori anak perempuan, 14 korban meninggal kategori balita perempuan, sebanyak 12 korban meninggal kategori balita laki-laki, 8 korban meninggal kategori bayi laki-laki, dan 17 korban meninggal kategori bayi perempuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun