Mohon tunggu...
Willem Wandik. S.Sos
Willem Wandik. S.Sos Mohon Tunggu... Duta Besar - ANGGOTA PARLEMEN RI SEJAK 2014, DAN TERPILIH KEMBALI UNTUK PERIODE 2019-2024, MEWAKILI DAPIL PAPUA.

1969 Adalah Momentum Bersejarah Penyatuan Bangsa Papua Ke Pangkuan Republik, Kami Hadir Untuk Memastikan Negara Hadir Bagi Seluruh Rakyat di Tanah Papua.. Satu Nyawa Itu Berharga di Tanah Papua..

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pdt. Lipiyus Biniluk, Tokoh Perdamaian dari Tanah Papua, Tepat Mengisi Jabatan Watimpres Jokowi

11 Juli 2019   14:17 Diperbarui: 11 Juli 2019   14:31 1154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Negeri nusantara yang begitu luas, dan dianugerahi oleh Sang Maha Pencipta beragam indentitas suku, budaya, dan juga kepercayaan terhadap ajaran agama, menyimpan potensi kemajemukan yang dapat memperkuat eksistensi negara. Karena negeri ini memiliki modalitas "sense of tolerance" yang dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari, maka negeri ini seharusnya tidak mengalami hambatan yang cukup berarti untuk melaksanakan seluruh agenda pembangunan hingga ke pelosok negeri (termasuk ke Tanah Papua). 

Tanpa stabilitas sosial, maka tidak akan ada pembangunan yang bisa dilakukan (lihatlah kondisi dibelahan dunia lain yang diliputi peperangan antar saudara sebangsa, konflik sektarian yang menghancurkan kota-kota dan menciptakan jutaan pengungsi yang kehilangan tanah/kehormatan). Sehingga dewasa ini, stabilitas sosial menjadi prasyarat penting, alasan sebuah negara dapat dikatakan mempertahankan eksistensinya. 

Oleh sebab itu, lingkungan masyarakat yang baik "positive social environment" dibutuhkan oleh sebuah negara untuk menggerakkan seluruh sumber daya pembangunan yang ada, terutama faktor manusia "human being" yang menjadi sumber segala "ide, gagasan, etos kerja" yang menjadi tumpuan pembangunan.

Sejalan dengan itu, presiden Jokowi pun telah menyadari pentingnya "agenda pembangunan sumber daya manusia" dalam rencana kerja yang telah disusunnya, untuk mensukseskan agenda pembangunan nasional di periode kedua masa jabatannya. Hal itu disampaikan oleh Presiden Jokowi dalam berbagai sesi tanya jawab bersama awak media belakangan ini.

Terkait urgensi Sumber Daya Manusia, perlu dijadikan catatan penting bahwa sumber daya manusia "human resources" itu tidak hanya berkaitan dengan soal-soal "brain intelligence" tetapi juga mencakup "social dan behavior intelligence" atau kecerdasan dalam berperilaku dan bermasyarakat. Karena dalam membangun relasi yang baik diantara sesama anggota masyarakat, terlebih lagi dalam menghadapi keberagaman yang ada dimasyarakat, dibutuhkan perilaku yang asertif dan mengedepankan sikap saling menghargai/menghormati nilai-nilai yang dianut oleh sesama anggota masyarakat (kecerdasan dalam berperilaku). 

Begitu banyak, kita menyaksikan individu-individu yang cakap dalam persoalan intelligence, namun gagal dalam kehidupan sosial dan bahkan tidak mampu mengambil peran sekecil apapun dalam masyarakat. Inilah yang seharusnya diperhatikan, sasaran target pembangunan manusia-manusia nusantara, yang memiliki kualitas sebagai manusia yang dapat menciptakan perdamaian, berkontribusi secara nyata terhadap lingkungan sosial, memiliki kepribadian yang mampu merangkul semua kalangan, agar seluruh sumber daya pembangunan yang ada disetiap individu masyarakat, bisa digunakan secara maksimal untuk menghadirkan "prosperity/kemakmuran" bagi banyak orang.

Termasuk studi kasus, kegagalan banyak elit nasional, yang tidak mampu menghadapi tantangan kehidupan bernegara di Tanah Papua. Sebagian besar diri kita, hanya mampu memahami "proses mekanis" pembuatan kebijakan (mekanis birokratif dan cenderung sekedar memenuhi aspek legalitas semata), akan tetapi gagal memahami akar persoalan yang menjadi tuntutan masyarakat asli Papua. Akibatnya, polemik berkepanjangan muncul di tengah-tengah masyarakat asli Papua dan bahkan menumbuh-suburkan ideologi pemisahan negara. 

Padahal letak persoalannya adalah "friksi" sosial dan benturan kebudayaan yang menjadi sumber masalah utama (perbedaan cara pandang dan cara melihat masalah), namun para decision maker di Pusat Kekuasaan justru hanya melihat pada satu aspek saja yaitu "justifikasi masalah keamanan". Terkait hal itu, muncullah berbagai definisi gangguan keamanan di Tanah Papua, diantaranya, KKB, separatisme, kelompok intoleran/radikal, dan lain-lain sebagainya. 

Lalu melihat deskripsi "situasi kekinian" yang sedang dihadapi oleh negara di Tanah Papua, maka yang kita butuhkan adalah peran pemimpin yang bisa menjembatani "benturan" kebudayaan yang selalu menjadi sumber masalah. Diantara sekian banyak tokoh-lokal di Tanah Papua, Pdt. Lipiyus Biniluk merupakan salah satu tokoh yang berperan begitu besar dalam setiap persoalan kemanusiaan dan upaya untuk merawat toleransi di Tanah Papua. 

Dalam kalimat yang sederhana, bahwa Pdt. Lipiyus Biniluk adalah sosok yang tepat untuk mengisi "ruang kosong" tokoh yang mampu menjembatani dialog pikiran/ide/maupun benturan kebudayaan yang selama ini tidak mampu ditangkap oleh tokoh-tokoh yang memberikan advice kepada Presiden. 

Sebagai contoh, pernyataan verbalis yang sering kita dengar dari tokoh-tokoh intelektual di Tanah Papua, bahwa untuk apa pembangunan infrastruktur masuk ke Tanah Papua, jika manusia-manusianya mati dan terbunuh? oleh karena itu, tidak begitu penting berapa jumlah dana yang bisa diberikan oleh Pusat ke Tanah Papua, namun manusianya tidak mendapatkan jaminan atas hak hidup maupun hak untuk mempertahankan eksistensi hidupnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun