Mohon tunggu...
willem wandik
willem wandik Mohon Tunggu... Anggota DPR RI -

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Tax Amnesty Tidak Akan Berhasil, Kembali ke Basic Belanja APBN yang Rasional

7 Agustus 2016   15:16 Diperbarui: 7 Agustus 2016   15:33 719
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintah boleh saja menikmati aliran dana asing yang masuk ke dalam negeri Indonesia, dengan memanfaatkannya untuk menuntaskan proyek-proyek infrastruktur yang masih butuh peningkatan kapasitas. Namun, belanja yang terbilang ekspansif melalui program-program pemerintah harus memperhitungkan daya tahan keuangan APBN dan sustainabilitas keuangan nasional, jika sewaktu-waktu terjadi gejolak pasar yang tidak diiginkan. Sehingga sudah saatnya Pemerintahan Jokowi kembali ke habbit fundamental APBN yang sebenarnya, dengan perencanaan belanja negara yang lebih realistis dan rasional (Sumber Tulisan: willemwandik.com, sumber gambar: diolah dari dirjen pajak info)

DEP PU&PK DPP PD - Menteri Keuangan Sri Mulyani telah mengumumkan akan memangkas APBNP 2016 sebesar 133 Triliun. Opsi pemangkasan belanja APBNP 2016 bukanlah sesuatu yang aneh dan mengejutkan, sebab sejak awal postur belanja yang diajukan oleh Pemerintah di gedung parlemen beberapa bulan yang lalu terlihat mengabaikan indikator menurunnya harga komoditas ekspor utama Indonesia (minyak dan gas, batubara, pertambangan mineral, kelapa sawit, dll) yang sangat berdampak pada penurunan pendapatan negara dari sektor perpajakan yang berbasis ekspor sumber daya alam/komoditas.

Ketidakcermatan perhitungan risiko belanja APBN yang dirancang sangat ekspansif (dan berisiko) baik pada postur APBN 2016 dan APBNP 2016 justru sangat berpotensi menimbulkan ketidakpercayaan pelaku usaha dalam negeri maupun luar negeri terhadap posisi keuangan Pemerintah. Ketidakseimbangan perhitungan penerimaan dan sektor belanja pemerintah terbukti menimbulkan revisi pemangkasan belanja APBN 2016 yang mencapai 50,02 Triliun (di dominasi pemangkasan dan pembatalan proyek-proyek belanja infrastruktur) dan mendorong revisi jilid kedua dalam APBNP 2016 yang mencapai 133 Triliun yang pengesahannya baru berlangsung kurang lebih dalam kurun waktu sebulan lamanya.

Ingatan publik masih fresh ketika Pemerintah mengumumkan pemangkasan 50,02 Triliun dalam pembahasan revisi APBN 2016 yang dijalankan atas dasar realisasi penerimaan pajak di dalam negeri yang tidak mencapai target yang dikehendaki Pemerintah. Dalam waktu yang bersamaan, Menteri Keuangan Bambang Brojonegoro mengumumkan penguatan opsi (merumuskan exit tol masalah) dengan menjalankan Tax Amnesty sebagai alternatif bagi pemerintah untuk menambal kebocoran penerimaan negara dari sektor pajak. Pada awalnya Menteri Keuangan mendeskripsikan persoalan rendahnya penerimaan Negara dari sektor pajak dengan keyakinan akan dapat di tambal dari realisasi pengenaan tarif Tax Amnesty.

Dalam perspektif politic decision making, pemaparan teror defisit APBN secara berulang-ulang oleh Menteri Keuangan Bambang Brojonegoro kepada parlemen bahwa APBN butuh diselamatkan dari kebangkrutan, mendorong parlemen untuk lebih lunak dalam mempercepat persetujuan RUU Tax Amnesty menjadi undang-undang. Dan momentum pemangkasan anggaran di periode pertama APBN 2016 menjadi stimulus yang menguatkan alasan Pemerintah untuk meminta persetujuan parlemen agar segera mengesahkan Undang-Undang Tax Amnesty.

Pada dasarnya rezim Tax Amnesty dibagi kedalam 3 periode pelaksanaan yang terdiri dari periode pertama pada bulan Juli – September 2016, periode kedua di bulan Oktober – Desember 2016, dan periode ketiga Januari – Maret 2017. Dari ketiga periode kerja penerapan Tax Amnesty tersebut, kunci kesuksesan penerapan Tax Amnesty diperkirakan akan sangat tergantung terhadap realisasi pengenaan tarif dengan instentif terbesar yang diterapkan pada periode pertama di bulan Juli - September 2016. Secara sederhana, para pemilik aset (calon wajib pajak) akan lebih memilih kompensasi pengenaan tarif yang paling murah untuk mengikuti program Tax Amnesty yang dijalankan oleh Pemerintah.

Secara faktual, performa pelaksanaan program Tax Amnesty melalui pendaftaran wajib pajak (WP) yang telah mengikuti program pelaporan aset baru hingga memasuki bulan Agustus 2016 tidak sebesar yang diharapkan oleh Pemerintah. Hal ini terlihat dari nilai aset yang dideklarasikan (aset yang diumumkan) hingga memasuki awal bulan Agustus 2016 oleh peserta wajib pajak hanya mencapai Rp 3,77 Triliun, dengan jumlah dana yang berhasil di repatriasi (dana yang dibawa masuk kedalam negeri) hanya mencapai Rp 583 miliar.  

Menteri Keuangan di era Bambang Brojonegoro pernah secara berulang-ulang menyampaikan teror defisit APBN 2016 di semester satu 2016 (Januari – Juni 2016) yang mencapai Rp 230,7 Triliun, dengan estimasi penambahan defisit disetiap bulannya pasca pengumuman defisit di akhir bulan Juni yang akan bertambah senilai 42,7 Triliun (Sumber: Rapat Komisi XI dan Banggar, Juli 2016). Menilik secara cermat pelaksanaan Tax Amnesty yang memasuki bulan kedua di periode pertama penerapan Tax Amnesty yang hanya mampu mendeklarasikan aset senilai 3,77 Triliun dan nilai repatriasi dana mencapai 583 miliar (Sumber: Dirjen Pajak, 3 Agustus 2016), sejatinya performa perolehan Tax Amnesty masih sangat jauh dari keyakinan Pemerintah untuk menambal potensi defisit penerimaan negara yang diumumkan oleh Menteri Keuangan yang terus bertambah disetiap bulannya mencapai 42,7 Triliun pasca bulan Juni.  

Gambar 1. Postur Defisit APBN dan Rencana Pemangkasan Belanja APBNP 2016 oleh Sri Mulyani dalam Triliun Rupiah (Sumber : Diolah Dari RDP Banggar dan Sidang Kabinet Eksekutif)
Gambar 1. Postur Defisit APBN dan Rencana Pemangkasan Belanja APBNP 2016 oleh Sri Mulyani dalam Triliun Rupiah (Sumber : Diolah Dari RDP Banggar dan Sidang Kabinet Eksekutif)
Dalam revisi APBNP 2016 dibulan Juni lalu, DPR bersama Menteri Keuangan Bambang Brojonegoro telah menyepakati angka defisit APBN yang mencapai nilai 2,35% dari PDB nasional. Memasuki pergantian pejabat Menteri keuangan di era Sri Mulyani justru mengumumkan akan mengoreksi target defisit ke nilai yang lebih mendekati kondisi nyata APBN yaitu ke angka 2,5% dari PDB nasional. Keputusan ini tentunya menimbulkan pertanyaan besar dari publik, khususnya bagi pelaku usaha yang membutuhkan kepastian dari kondisi APBN negara. Dalam waktu yang bersamaan, justru Menteri Sri Mulyani telah mengumumkan terlebih dahulu paket pemangkasan anggaran APBN yang mencapai 133 Triliun dalam APBNP 2016. Pertanyaan mendasarnya adalah, bukankah penghematan APBN telah dilakukan dengan adanya pemotongan anggaran yang mencapai 133 Trilun? Bukankah dengan demikian target defisit APBN seharusnya lebih kecil dari sebelumnya yang ditetapkan di angka 2,35% dalam APBNP 2016 di masa Menteri Bambang Brojonegoro?

Secara sederhana pertanyaan tersebut mengandung kebenaran, bahwa seharusnya pemotongan anggaran yang dilakukan oleh Menteri Keuangan pada era Sri Mulyani otomatis mendongkrak performa defisit APBN ke angka yang jauh lebih kecil. Namun faktanya berbicara berbeda, dimana kondisi keuangan APBN selama ini terlanjur dipublikasi “mewah dan fantastis”, bahkan Presiden Jokowi dalam berbagai lawatan ke sejumlah mitra dagang dan mitra investor Indonesia di luar negeri, banyak membanggakan postur belanja APBN Indonesia yang menembus angka equivalen (+-) 2000 Triliun. Secara sederhana, maksud Presiden bertujuan baik yaitu agar investor di negara-negara asing dapat membaca potensi program-program pemerintah di dalam negeri agar tertarik menanamkan investasinya di sektor infrastruktur yang sedang direncanakan oleh Pemerintah Indonesia.

Gambar 2. Prosentase Defisit APBNP 2016 Sebelum dan Sesudah Dilakukan Pemangkasan Anggaran (Sumber : Diolah Dari RDP Banggar dan Sidang Kabinet Eksekutif)
Gambar 2. Prosentase Defisit APBNP 2016 Sebelum dan Sesudah Dilakukan Pemangkasan Anggaran (Sumber : Diolah Dari RDP Banggar dan Sidang Kabinet Eksekutif)
Namun, ekspektasi belanja yang terlampau besar tersebut justru menimbulkan tekanan yang sangat besar pada sisi pendapatan negara yang dalam realitasnya selalu mengalami penurunan dari tahun ke tahun (dampak memburuknya perekonomian global dan jatuhnya harga komoditas yang menjadi andalan penerimaan APBN negara). Dalam gambar 1 dan 2 diatas (terlampir) dapat dilihat perhitungan asumsi defisit APBN yang disesuaikan dengan komposit penghematan belanja negara yang di gagas oleh Menteri Sri Mulyani yang tampaknya jauh realistis dibandingkan perhitungan asumsi defisit APBN di era Bambang Brojonegoro.

Jika kondisi belanja APBN dibiarkan mengambang pada angka yang jauh dari kemampuan fundamental keuangan APBN negara seperti yang disusun di era Bambang Brojonegoro, maka potensi defisit APBN menjelang akhir semester kedua di Tahun 2016 dapat mencapai 486,9 Triliun atau setara dengan 3,86% dari PDB nasional, yang berarti defiasi terhadap target defisit yang direncanakan sebesar 2,35% dapat mencapai 1,51% (atau mencapai Rp 190,36 Triliun) atau dengan perubahan target defisit sebesar 2,5% defiasinya dapat mencapai 1,36% (atau mencapai Rp 171,45 Triliun).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun