Mohon tunggu...
Wiliams Flavian Pita Roja
Wiliams Flavian Pita Roja Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Bachelor of Philosophy

Sarjana Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng, Sulawesi Utara

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Disrupsi sebagai Tantangan dan Peluang Milenial

29 November 2018   09:23 Diperbarui: 29 November 2018   09:45 4027
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada beragam perubahan yang terjadi beberapa tahun terakhir ini. Meski perubahan-perubahan tersebut merupakan rintisan berbagai perubahan yang terjadi puluhan tahun lalu, namun yang terjadi beberapa tahun belakangan ini benar-benar hal-hal yang baru dan berbeda. Karena perubahan tersebut, banyak orang yang kemudian baru menyadari bahwa kita sudah masuk pada era disrupsi. 

Era di mana munculnya berbagai inovasi-inovasi baru dalam teknologi digital maupun dalam lingkup hidup sosial manusia sehari-hari dalam bentuk pergeseran tatanan sosial. Tentu dalam hal ini kita masyarakat Indonesia, mengalami sedikit ketertinggalan. 

Bagaimana tidak, disrupsi sendiri merupakan sebuah paham yang petama kali diungkapkan oleh seorang Profesor di Harvard Business Schooll, Clayton M. Christensen dari hasil penelitiannya yang menjadi populer saat ia tuangkan dalam bukunya The Innovator's Dilemma yang diterbitkan tahun 1997. Di Indonesia, teori ini baru dipopulerkan beberapa tahun lalu oleh Prof. Rhenald Khazali dalam beberapa bukunya yang bertema Disrupsi. Christensen menyoroti berbagai perubahan dan perkembangan tekonlogi digital khusunya.

Di Indonesia, salah satu perkembangan yang mendapat tanggapan serius adalah hadirnya jasa transportasi online yang membuka mata masyarakat. Penolakan dan penerimaan mewarnai perkembangan startup-starup tersebut.

Dalam tulisan-tulisannya mengenai disrupsi, Rhenald menyoroti berbagai model-model bisnis baru yang tidak hanya mengancam para incumbent (pelaku bisnis lama) tapi bahkan menghancurkan mereka. Model-model bisnis baru tumbuh dengan gaya ekonomi berbagi yang tidak hanya melibatkan satu kekuatan seperti cirikhas para incumbent tapi menghimpun bisnis atau pelaku-pelaku kecil dalam satu jaringan dan dengan pembagian yang sama-sama menguntungkan. Disrupsi di sini dilihat sebagai inovasi yang memberikan keuntungan, bukan karena suatu perusahan memiliki highly regulated procedures, melainkan karena suatu penyangkalan (deception) atau pengabaian terhadap apa yang dianggap remeh.

Ada kecenderungan oleh para pelaku ekonomi yang sudah mapan, merasa nyaman dengan sistem yang mereka miliki. Kekuasaan yang besar dianggap paling kuat dan aman, sehingga diyakini akan terus mendatangkan keuntungan. Prosedur kerja perusahaan atau usaha mereka dianggap sudah baik dan cendeurng menutup relasi dengan pelaku-pelaku usaha lain. 

Akibatnya para incumbent  ini malah menjadi defensive  saat berhadapan dengan hal-hal baru yang disurptif. Mereka menolak disrupsi dan akhirnya mereka yang terdisrupsi. Berbagai perkembangan teknologi dilihat sebagai ancaman justru dihindari dan malah dilawan, bukan dihadapi dan dimanfaatkan.

 Lihat bagaimana pengelola taksi-taksi konvensional kewalahan saat pemerintah akhirnya menyetujui jasa tranportasi online hadir di tanah air. Kini taksi-taksi tersebut terdisrupsi dan bahkan terancam gulung tikar. Atau siapa yang menyangka bahwa orang terkaya di dunia ini adalah seorang milenalis, pemilik Amazon.com sebuah toko online yang sudah mendunia. Ia menggantikan posisi bos Microsoft yang terlalu fokus berinovasi tanpa melihat disrupsi. 

Dulunya toko ini hanya menjual satu jenis barang dagangan, dan kini hampir tidak ada barang yang tidak kita jumpai di dalam platform tersebut. Di Indonesia pun demikian, toko-toko online membuat para pelaku usaha ritel harus menutup usahanya karena kekuarangan pendapatan. Orang mulai mencari yang murah, berkualitas, mudah di dapat, terpercaya, dan tidak butuh banyak prosedur.

Namun apakah disrupsi hanya soal keuntungan saja? Kita perlu mengakui bahwa disrupsi bukan hanya tentang invoasi yang menguntungkan. Disrupsi juga merupakan invoasi yang merusak tatanan sosial. Sekurang-kurangnya kita dapat melihat teori ini dalam pandangan Francis Fukuyama, seorang ilmuwan politik tapi juga sosiolog yang merangkum pemahamannya dalam buku The Great Disruption. 

Perkembangan teknologi yang semakin radikal menjadi indikator yang membuat Fukuyama melihat era ini sebagai era disrupsi, dimana terjadinya kemerosotan dalam tatanan sosial. Disrupsi olehnya dilihat sebagaimana arti leksikal dari kata itu sendiri, yakni keterpecahan. Ia melihat masyarakat informasi (information society) yang ditandai dengan kondisi-kondisi sosial yang memburuk. 

Di mana-mana terjadi kekacauan sosial yang membuat orang merasa tidak nyaman berada di mana pun, bahkan di kota-kota besar yang dikatakan maju. Kekerabatan dan keluarga sebagai institusi sosial yang paling primer terguncang, tingkat perceraian meningkat dan jumlah kehamilan di luar nikah tak bisa dibendung.

Dari sini Fukuyama mengangkat isu penting yang menjadi landasan teorinya yakni mengenai modal sosial (social capital) dan kapitalisme. Ya, ini berpotensi mengancam kesuksesan yang menanti para milenal. Kapitalisme sangatlah dinamis dan juga merupakan sumber kerusakan kreatifitas yang dapat menghancurkan perubahan-perubahan yang ada pada komunitas manusia. 

Disinilah sumber disruption menurut Fukuyama. Masalahnya lebih menyangkut teknologi dan perubahannya. Kepentingan dan keinginan masing-masing individu justru berpratisipasi di dalamnya. Maka bukan lagi mengenai ekonomi tetapi moral. Teknologi dan perubahannya merusak tatanan yang sudah maju dan berkembang. Orang tidak bisa memanfaatkan modal sosial lagi, yang dilihat justru peluang dan bagaimana menguasainya, tanpa perduli dengan modal sosial yang dapat dijadikan investasi sosial dalam kehidupannya ke depan.

Tapi siapa saja generasi milenal itu? Generasi mileneal atau sering disebut milenalis adalah mereka yang saat ini berada pada kisaran umur 15-35 tahun. Salah satu karakteristik yang menjadi kekhasan dari milenalis adalah sangat mudah mengikuti arus perubahan dan rasa bosan dengan sistem yang kaku. Generasi ini lebih tertarik dengan hal-hal yang berbau instan, karenanya milenalis adalah generasi yang kreatif memanfaatkan perubahan dan peluang yang ada didepan mata mereka atau memunculkan ide-ide baru yang tidak biasa. 

Berhubungan dengan itu, individu yang termasuk pada kalangan mileneal sesungguhnya adalah individu yang punya peluang untuk berkembang dan sukses dengan cara-cara yang kreatif dan cepat. Di sisi lain, individu pada generasi ini juga berpeluang menjadi generasi yang mandek, tak mampu bersaing dan gagal. Efek dari peubahan yang disebabkan oleh para milenal ini tidak lain adalah sebuah perubahan yang disruptif sehingga mempengaruhi tatanan sosial dalam masyarakat.

Kini para mileneal sedang berada dalam pusaran era disrupsi. Peluang bagi para milenealis di era ini amat jelas. Perkembangan teknologi digital membuka wawasan baru mengenai kesuksesan dan keberhasilan dalam mengelola suatu usaha. Orang-orang mulai gemar memulai sesuatu yang baru yang benar-benar anti mainstream, lebih kreatif dan tentunya tidak berbelit-belit. 

Misalnya, kesuksesan pun bisa diraih hanya dengan bermodal smart phone atau komputer. Lebih hebatnya lagi, dengan teknologi dan akses komunikasi yang semakin mudah dan lancar, kantor dan ruangan mewah ber-AC bukan lagi menjadi pilihan utama untuk mengelola suatu usaha sebab orang bisa bekerja dari rumah, bahkan dari atas tempat tidur sambil memantau atau menyelesaikan pekerjaanya. 

Petani yang diperankan oleh para mileneal juga sudah tidak seperti petani pada masa sebelum mereka, terutama dalam mengelola hasil pertanian. Dengan teknologi yang canggih mereka cukup berdagang melalui toko-toko daring kemudian dibeli oleh konsumen yang tidak hanya berasal dari daerah mereka, tapi bahkan manca negara. 

Di dunia pendidikan misalnya, sudah mulai banyak perguruan tinggi dan bahkan sekolah yang memberi program studi khusus untuk hal-hal yang baru seperti game. Instute Teknologi Bandung misalnya, memiliki 3D Modeling & Animasi, Design Methodology, Game Engine Design & Development, serta Multimedia System yang mampu membuat para mahasiwaanya menjadi mahsiswa yang disruptif, mahasiwa yang mampu memanfaatkan perubahan dan perkembangan teknologi digital dengan kreatif dan inovatif. Berkat kecanggihan teknologi pun kini tidak sulit lagi menjadi orang yang dikenal oleh masyarakat dalam satu negara bahkan dunia. Cukup membuat sesuatu yang baru, menarik, unik atau bahkan kontroversial, anda menjadi viral di media sosial dan kemudian menjadi terkenal.

 Kini para milenal diajak untuk mengkritisi gelombang disrupsi yang mencoba menggeser rangkaian norma dan nilai dalam suatu kelompok tempat dimana individu-individu tersebut berinteraksi. Kita perlu melakukan disruptive mindset. 

Karena perubahan apapun yang terjadi, nilai dan norma yang terjaga dalam suatu social capital harus mendapat bentuk yang semakin kokoh. Ini adalah era di mana muncul inovasi yang menggantikan seluruh sistem lama dengan cara baru. "Inovasi memang sejatinya destruktif sekaligus kreatif". Tak jeli membaca peluang akan membuat kita terjebak dalam bayangan ketakutan hilangnya apa yang kita anggap paling utama dan berharga. (Diolah dari berbagai sumber)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun