Mohon tunggu...
Wiliams Flavian Pita Roja
Wiliams Flavian Pita Roja Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Bachelor of Philosophy

Sarjana Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng, Sulawesi Utara

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Seni Kiritik Ala Pencinta Kebijaksanaan

31 Oktober 2017   23:48 Diperbarui: 8 November 2017   20:53 1133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
barisanpinggiran-wordpress.com

Sebuah seni tentulah harus menghantar orang pada suatu kesan yang menarik dan mengandung makna, tetapi makna itu tentu akan dipahami dengan sendirinya jika orang terlebih dahulu merasa tertarik. Demikian jika berbicara tentang seni mengkritik, berarti kita diajak untuk melihat usaha kristis yang tertuang lewat sebuah kritikan, sebagai suatu hal yang positif dan bermakna, bukan sebuah usaha untuk saling menjatuhkan. Makna yang dimaksud di sini ialah memperoleh suatu pengetahuan yang tidak lain adalah ilmu yang menjelaskan berbagai macam hal yang oleh manusia akan sangat berguna bagi mereka demi mengahadapi realitas. Di satu sisi ada hal yang menarik dari filsafat yang aman bermakna bagi perkembangan pengetahuan manusia dalam sejarah perkembangannya, tetapi realitasnya justru tampak seperti apa yang dikatakan oleh Magnis Suseno dalam sebuah seminar yang dalam rangka menyambut Hari Ulang Tahun dari Penerbit PT Gramedia, bunyinya sebagai berikut: “Filsafat sering difitnah sebagai sekularistik, ateis dan anarkis karena suka menyobek selubung ideologis pelbagai kepentingan duniawi, termasuk yang tersembunyi dalam pakaian yang alim. Ia tidak sopan. Ia bagaikan anjing yang menggonggon, mengganggu dan menggigit. Filsafat harus demikian karena ia secara hakiki adalah ilmu kritis.”[1] 

Untuk melihat lebih dalam mengenai seni kritik guna memperoleh suatu pengethuan ini maka akan dibahas dengan lebih perinci dalam pokok-pokok berikut ini.

  

Memahami Filsafat Ilmu terlebih dahulu adalah langkah penting untuk memahami seni kritik yang implikasinya akan menghasilkan kebenaran, yang tidak lain adalah suatu ilmu pengetahuan. Ilmu ini dipahami sebagai pemikiran reflektif atas persoalan yang menyangkut landasan ilmu mapupun hubungan ilmu dengan manusia. Seperti yang sudah disinggung pada bagian awal, ilmu ini dikembangkan oleh manusia demi menghadapi realitas. Nah, jika-jika ilmu lain membatasi dirinya pada bidang tertenu saja, maka filsafat ilmu ini berusaha untuk bergerak lebih ke dalam lagi. Objekd ari filsafat ilmu ini tidak lain adalh penyangga tiang-tiang eksistensi ilmu pengetahuan yaitu ontology, epistemology dan aksiologi. Ontologi dibahasakan juga sebagai metafisika di mana fokusnya terletak pada masalah-masalah “being is being,” sedangkan espitemologi sendiri berfokus pada tindakan yang perlu bertolak dari ilmu itu. Filsafat ilmu tidak akan segan-segan untuk bertanya hal-hal yang hakiki seperti apa dan bagaimana suatu konsep dan pertanyaan dapat disebut sebagai ilmiah, bagaimana konsep itu dilahirkan, dan bagaimana ilmu dapat menjelaskan memperkirakan serta memanfaatkan alam melalui teknologi.

 


Meksi namanya filsafat ilmu, namun filsafat ilmu sebenarnya bukanlah ilmu filsafat.[2] Istilah ilmu filsfat rupanya dipandang sebagai istilah yang tidak tepat jika disematkan pada filsafat ilmu, sebab filsafat adalah pengetahuan yang non-empirik, yaitu, pengetahuan yang tidak berdasarkan pemahaman indrawi. Sebagaimana telah diketahui, pemahaman indrawi dan pembuktian empitik merupakan komponen vital dari suatu pengetahuan untuk dapat disebut “ilmu” atau “pengetahuan ilmiah.” Terlepas dari hal itu, yang mau disoroti di sini adalah kedudukan dari Filsfat Ilmu itu sendiri yang menjadi sebuah seni yang menarik dan menghasilkan sebuah pengetahuan dengan cara mengkritik ilmu-ilmu lain atau kebenaran-kebenaran yang rapuh dan masih bisa disangkal.

 

            Perlu ditegaskan bahwa konteksnya sebagai bagian dari Filsafat tidak bisa diremehkan karena bertanya dan bersikap kritis tidak lain merupakan ciri fundamental dari filsafat itu sendiri. Pada hakikatnya filsafat mempunyai dua arah: filsfat harus mengkritik jawaban-jawaban yang tidak memadai dan filsafat juga harus ikut mencari jawaban yang benar. Semua ini tentu tidak terlepas dari unsur etimologi dari kata filsfat itu sendiri yang berarti “pencinta kebijaksanaan,”[3] di mana seseorang yang mencintai kebenaran tentunya akan berusaha mencari kebenaran tersebut. Usaha mencari tersebut didasarkan juga oleh rasa cinta akan kebenaran tersebut, dan yang harus dimengerti ialah tugas mengejar kebenaran itu tidak akan pernah usai. Ia harus selalu dicari dan untuk memperoleh itu seni kritik adalah langkah penting sehingga kebenaran dari kritikan-kritikan tersebut pemikiran-pemikiran semakin berani, terbuka dan semakin mengungkapkan kebenaran. Jadi kebenaran itu bukanlah hal yang sudah ada, tetapi justru harus diperoleh, dicari dengan bersikap kritis. Kebijaksanaan juga bukan sebatas pemahaman teoretis dengan berbagai pemahaman kritis, tapi juga kebijaksanaan praktis yang harus terhejawantahkan dalam tingkah laku, pertimbangan dan pilihan-pilihan kita.

 

Seni Kritik dalam Filsafat Ilmu

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun