Mohon tunggu...
Wilhelmus TarsianiAlang
Wilhelmus TarsianiAlang Mohon Tunggu... Musisi - Saya tidak pandai menulis. hanya ingin Bercerita!

"Darah lebih kental, dari Air". Menulis itu bercerita dengan jari-jari Anda.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Malaikat Tak Bersayap

29 November 2020   20:15 Diperbarui: 29 November 2020   20:26 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sit near by my greatest woman in the world

Jika kemarin saya bercerita tentang pengalaman berbelanja, menyaksikan wajah-wajah manusia yang tak tersingkap semuanya, hingga menuntun pada kenangan akan Smadav45 di SMAK Pancasila Borong. Dalam surat ini, saya mau berbagi tentang usaha kami melepas penat di Penjara Suci dengan Jogging Sore.

Waktu itu 16 November 2020, kami dizinkan jogging sore. Baru kali itu, kalau diingat kembali, adalah kali pertama kami menghirup nikmatnya saujana kota Kupang: hiruk-pikuk pengendara, para mahasiswa yang berjalan di trotoar, aktivitas warung-warung pinggir jalan, serta tentu saja, tumbuhan dan hewan yang terus tumbuh dan bergerak. Semuanya tampak baru. Rasanya berlari di kampung halaman sendiri--- menjadi manusia bebas. Saya akui, kita memang sampai saat ini belum mampu melawan pandemi virus Corona. Namun hasrat kebebasan manusia tidak bisa dihentikan oleh virus ini.

Sudahlah, saya banyak berbasa-basi. Sebetulnya banyak pengalaman "apa adanya" sewaktu lari sore. Namun yang ingin kukisahkan bukan tentang kepergian (keluar komunitas dan lari sore), tapi tentang kepulangan (kembali ke komunitas). Mungkin benar, kami bagai dua murid Emaus. Yang pergi dari komunitas dan kembali ke komunitas, "Kami telah menemukan Tuhan". Dan tentang kepulangan inilah yang kumaksudkan.

Saat kami tiba, di komunitas sudah disediakan kopi dan jagung muda. Sempat aku berpikir, apakah ini kebetulan? Apalagi saat tengah asik menikmati jagung muda, saya mendengar seorang saudara memutar lagu asal daerahku, Manggarai. Saya kurang ingat persis liriknya. Tapi kalau dipaksa, "Woko nuk latung tunu tapa de ende momang", cuma ini yang masih ada di benak, "Teringat akan jagung yang dibakar mama terkasih".

Sialll!!!! Tanpa kusadari jagung yang saya makan terasa asin. Saya menangis. Tidak bisa ditutupi, saya merindukannya di sore itu, dan rasanya sama saat saya menuliskan surat ini. Yah, saya memang di sekolah anak yang nakal, tapi tidak ada yang pernah tahu,saya juga adalah pengawal mama yang setia, ke mana pun ia pergi. Dia adalah alasan saya berjuang untuk hidup, kendati saya tidak bisa berjanji untuk menemaninya selama hayat masih dikandung badan.

Jadi dulu, saat musim jagung tiba, kami sekeluarga akan menikmatinya bersama. Mama yang memasak dan menghidangkan. Bagiku, tidak ada masakan yang menandingi masakan mama. Tapi sebetulnya, bukan karena masakan, karena percuma makan dengan hidangan lengkap di meja kalau tidak ditemani senyuman mama. Atau lebih tepatnya, saya selalu bermenung, apa yang sekiranya dipikirkan seorang ibu kala memasak untuk anak-anaknya. Atau apa yang dia makan saat ini. Apakah dia juga menikmati hidangan seperti yang kumakan di tempat ini?

Saya ingat sore itu, kala musim hujan, mama bergegas ke dapur, meniup tungku, menunggu hingga baranya mulai kemerahan dan mama mulai meletakan satu demi satu jagung bakar. Aku mencium aromanya, dan menunggu jagungnya datang. Sesekali saya ke dapur untuk melihat, namun yang nampak hanyalah wajah mama yang tidak terlalu rapi, berkeringat, namun tetap tersenyum. 

Saya tahu, di balik senyum itu, ada kelelahan karena sejak tadi ia sudah bekerja di kebun. Mama selalu berusaha agar kami tidak turut membantu. Lagipula, tangannya mencangkul lebih cepat dari kami. 

Tapi tentang senyumnya, senyum wanita paru bayah yang tahu bahwa semenjak ia menggenggam anaknya di telapak tangan, yang ia tahu hanyalah bagaimana mencintai mereka dengan segenap kekuatannya. Bahwa di jurang hati seorang mama, nama anak-anaknya selalu disebut.

Jarang aku melihat ia berdandan seperti ibu-ibu pada umumnya. Jarang aku melihat ia mengenakan perhiasan, atau mungkin bahkan ia tak punya. Jarang aku melihatnya mengenakan pakaian baru.

Pakaiannya, perhiasannya, dandanannya hanyalah kebahagiaan kami keluarga. Biar setiap hari ia harus bekerja dengan dahi yang melebar menatap matahari, memelihara ternak, atau pekerjaan sampingan lainnya, namun di hatinya, "Kami harus kenyang, Anak-anakku harus sekolah". Saya yakin, mama tidak pernah menyangka bahwa kata-katanya yang adalah doa suatu saat nanti akan menjauhkan kami darinya. Tapi apalah artinya kebahagiaan seorang mama bila anak-anaknya gagal.   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun