Mohon tunggu...
Wildan Hakim
Wildan Hakim Mohon Tunggu... Dosen - Dosen I Pengamat Komunikasi Politik I Konsultan Komunikasi l Penyuka Kopi

Arek Kediri Jatim. Alumni FISIP Komunikasi UNS Surakarta. Pernah menjadi wartawan di detikcom dan KBR 68H Jakarta. Menyelesaikan S2 Manajemen Komunikasi di Universitas Indonesia. Saat ini mengajar di Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) Jakarta dan Peneliti Senior di lembaga riset Motion Cipta Matrix.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membincang Gay di Ruang Sidang Skripsi

12 Februari 2016   21:43 Diperbarui: 12 Februari 2016   21:55 569
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Polemik soal LGBT tak jua surut. Muncul desakan, muncul pula penentangan. Beragam dalih diajukan. Dari yang bersandar pada temuan medis, pendekatan sosial, norma, hingga agama. Bahkan nama brand besar seperti Starbucks ikut nimbrung dalam isu LGBT ini.

Bagi sebagian mereka yang akrab dengan isu ini, keberadaan LGBT bisa menjadi semacam "dagangan". Terus saja digoreng hingga matang. Tapi mohon diingat, gorengnya jangan kelamaan. Bisa gosong akibatnya. Tanpa digoreng pun, isu ini bakal gosong bila digoreng di Indonesia.

Sederhana saja, pijakan mayoritas masyarakat Indonesia dalam melihat isu LGBT ini adalah hukum agama, hukum negara, juga norma sosial. Ada banyak orang di negara ini yang menolak komunitas LGBT eksis dan bisa menunjukkan dirinya setara di muka umum. Selama ini memang komunitas LGBT selalu discreet. Mereka punya komunitas sendiri dan akan merasa tersinggung jika ada orang "normal" yang masuk dalam lingkaran mereka.

Apa yang kemudian terjadi? Masyarakat menyisihkan mereka, karena mereka juga berkecenderungan menarik diri dari pergaulan pada umumnya. Ya karena mereka discreet itu. Ini mirip-mirip dengan jamaah Ahmadiyah (maaf kalau contoh saya kurang pas). Jamaah Ahmadiyah punya masjid sendiri. Kalau diajak shalat bareng orang Islam kebanyakan mereka enggan. Muncullah kemudian sikap curiga dari orang Islam kebanyakan. Terpantiklah rasa kurang simpati dan bila terus dibiarkan akan berujung konflik.

Kembali ke soal LGBT. Kemarin, saya baru saja menguji skripsi mahasiswi dengan judul Tahap-tahap Pembentukan Hubungan pada Pasangan Gay Remaja. Skripsi ini ditulis dengan merujuk pada tiga pasangan gay remaja yang berkenan diwawancarai. Di ruang sidang, nuansa serius tetap terasa kuat. Di sisi lain, nuansa lucunya tak bisa juga ditahan.

Mahasiswi ini cukup kerepotan untuk bisa mengakses narasumbernya. Dia perempuan, sementara objek penelitiannya adalah tiga pasangan pria. Dari masing-masing pasangan ini ada yang berposisi sebagai perempuan. Pria yang berposisi perempuan ini rupanya cemburu dan tidak nyaman dengan kehadiran si mahasiswi tadi. Padahal, jelas-jelas si mahasiswi ini hanya ingin wawancara untuk penulisan skripsinya.

Dari beberapa kali pendekatan, proses wawancara bisa berlangsung. Pola terjalinnya hubungan di antara pasangan gay remaja berujung pada tahapan intimacy. Di tahapan ini mereka berbagi role. Ada istilah, siapa yang jadi top dan siapa yang jadi bot. Biasanya, gay yang kemayu (baca: melambai) bertindak sebagai bot.

Sampai di situ, diskusi di ruang sidang masih serius. Kelucuan baru terasa saat si mahasiswi menceritakan kosakata yang biasa dipakai kalangan gay. Dia menyebutnya sebagai "bahasa LGBT". Setelah saya tanya, rupanya bahasa LGBT yang disebut mahasiswi ini tak lain adalah bahasa gaul yang kamusnya pernah ditulis oleh Debby Sahertian pada 90-an silam.

Dari paparan si mahasiswi, saya jadi tahu, komunitas gay di Jakarta punya klub khusus bernama Apollo. Biasanya di klub semacam itu mereka menemukan pasangan. Sesama gay juga mafhum, mereka takkan selalu setia. Pasangannya boleh selingkuh. Bisa ke lain body tapi tetap harus ke satu hati. Ini mirip analogi, botol harus kembali meski isinya bisa ditumpahkan di tempat lain.

Dari paparan itulah, ada kelucuan yang terselip. Membincang gay, pada hemat saya sulit dibawa ke ranah serius. Diobrolin saja dengan nuansa canda. Untuk penanganannya tentu butuh upaya serius. Menasehati komunitas ini mungkin menjadi jalan moderat agar mereka bisa kembali ke fitrahnya sebagai lelaki.

Penulis adalah dosen part timer di Universitas Multimedia Nusantara Serpong Tangerang

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun