Mohon tunggu...
Wildan Fuady
Wildan Fuady Mohon Tunggu... Tutor - Penulis, Blogger dan Web Developer

Penulis | Guru | Enterpreneur | Web Developer

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Disini, Dibaitullah

16 Mei 2014   16:40 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:28 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Disini … Di Baitullah

Oleh Wildan Bercermin Diri

Semburat senja masih berwarna jingga. Cahayanya seakan-akan perlahan redup. Bola mentari segera ingin mematuhi titah Tuhan untuk kembali mencium bumi dan segera memberikan kesempatan untuk malam dan bulan tampil seketika. Anak-anak pengajian sore masih bercanda-canda penuh tawa. Ibu-ibu pengajian juga mulai ramai memasuki Mushala. Mereka sibuk menunggu pengajian dimulai.

“Stttt, lihat tuh ! si Indah ikut pengajian juga … jujur kalau bukan karena Ustadzah Sasa yang ngisi pengajian saya sudah ingin pergi dari pengajian ini.” Kata seorang Ibu-Ibu bermukena hijau.

“Ihhh … iya ya Bu, tumben si Indah mau pergi ke Masjid. Ke samber petir kali ya?” sahut Ibu-ibu yang lain.

Indah, wanita yang terlihat masih muda dan cantik itu melempar senyum ketika mendengar dirinya dibicarakan. Ia lalu diam. Dengan diam tidak meladeni kata-kata jama’ah ia rasa ia sudah melakukan satu hal awal untuk berubah. Untuk bertaubat dan menyerahkan seluruh hidup ini untuk Allah. Untuk apa menggosip? Setidaknya ia berharap mampu sedikit menjaga lisannya.

Sudah lama ia sesak dengan limpangan dosa. Walaupun uang mengalir bagai air. Tetap hatinya tidak nyaman. Tidak menemukan ketenangan.

Pengajian dimulai. Ustadzah Sasa menyampaikan materi yang kali ini menggugah jiwa. Materi yang membuat Indah menangis. Tentang … dosa. Benar, ia memang sangat banyak dosa. Ya Allah, bantu hamba-Mu ini untuk bertaubat.

Selepas pengajian Indah menghampiri Ustadzah Sasa yang terkenal di Kampung. Bu Ustadzah melempar senyum dan sekaligus kaget. Seperti jarum di tumpukan jerami. Sangat aneh.

“MasyaAllah Indah, ada apa Nak?” Tanya Ustadzah Indah yang merasakan bahagia. Setidaknya sekarang Indah sudah mau ke Masjid dan memakai Mukena.

“Ustadzah, maksud saya ingin menyampaikan maksud dan tujuan saya. Saya ingin berhaji. Saya ingin bertaubat. Saya ingin berdo’a sepuas-puasnya disana. Agar lebih dekat dengan Allah. Sudah lama hati ini tidak tenang dan selalu terancam. Kemegahan tidak menjadikan hidup saya bahagia. Lumuran dosa malah menjadikan saya terhina.”

“Subhanallah, itu awal yang bagus, Indah.”

“Apakah saya akan diampuni Ustadzah, sedangkan dosa saya sudah sangat banyak.”

“Jangan bersedih Nak Indah. Allah selalu membuka pintu taubat kapan saja dan dimana saja. Sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

“Sungguh Ustadzah?”

“Iya Indah,” ketika itu peluk hangat nan lembut Indah rasakan. Pelukan Ustadzah Sasa membawanya ke alam kelembutan dan kasih sayang. Ini pertama kalinya hatinya begitu … tentram.

“Kapan kamu berhaji?” Tanya ustadzah Sasa.

“InsyaAllah tahun ini Ustadzah.”

Diujung sana … “Ngapain si Indah itu cari perhatian sama Ustadzah?”

Semburat cahaya matahari kini menaiki langit. Bumi cerah nan indah. Burung-burung kini berterbangan melingkar diangkasa. Menari-nari. Hari yang membuatnya selalu menangis semalaman. Seharian. Berbulan-bulan setiap malam ia menangis. Akhirnya saat ini juga impiannya tercapai. Pergi haji pertamanya. Dan kisah hidup pertamanya dalam lembar kertas putih baru. Kertas itu ia harap dapat dituliskan kebaikan-kebaikan yang indah. Seperti namanya, Indah.

Ia terbang dengan perasaan yang masih bercokol dalam dirinya. Ya Allah, sejenak hamba penuh dosa ini sangat berharap ampunan-Mu di tahan suci nanti … akankah engkau membuka jalan jannah-Mu untukku?

Coklat, butiran pasir Tanah Suci nan Indah terbentang. Pertama kalinya ia menapakkan kaki ditanah suci ia pingsan. Seakan-akan tanah yang coklat nan gersang terbentang luas itu adalah dosa-dosanya kepada orang-orang dan terutama kepada … Allah.

Ditanah Suci itu harapannya ia bisa berdo’a dan sedekat-dekatnya dengan Allah. Bisa mencurahkan segala kejahatan dan dosanya selama ini di Tanah Suci ini. Tentu juga ia ditemani suaminya. Suaminya tersenyum berbinar. Di sampingnya kini Indah sudah berubah. Jujur menurut suaminya … indah sangat anggun memakai jilbab yang panjang dan lebar.

“Ayo Dik, kita shalat dahulu,” suara yang sangat lembut. Kamu memang selalu membuat hati ini melunak. Ya Allah mengapa dari dulu ia belum menyadarinya? Apakah hati ini telah buta.

“Iya Mas.”

Kali ini dua insan yang saling mencintai itu shalat berdua di sebuah hotel tempat mereka menyewa untuk pelaksanaan hajinya. Langit kemerahan menghiasi angkasa. Mereka larut dalam keindahan ciptaan Tuhan. Dua hari lagi pelaksaan haji akan dimulai. Dua insan itu mempersiapkan semuanya. Tidak ada yang lebih indah daripada mendekat kepada Allah … itu saja.

Hari pertama…

Allah memperlihatkan kekuasaan-Nya. Indah terus menangis. “Ya Rabb apakah egkau tidak sudi dengan diri ini mengkotori Tanah Suci-Mu ini? Ya rabb, izinkan aku untuk berubah menjdi lebih baik. Menjadi lebih cinta kepada-Mu. Lebih mendekat kepada-Mu.”

Air keran untuk berwudhu yang ia ingin gunakan tidak keluar airnya. Suaminya mencoba membantunya. Suaminya bisa. Air keluar dari keran yang dibuka oleh suaminya. Namun ketika Indah membuka kerannya … air tidak keluar. Ya Allah … apa salahku? Saat itu Indah bertayamum. Suaminya mengajarkannya.

“Terimasih Mas, aku belum tahu kalau boleh mengganti air dengan menggunakan debu.”

“Sama-sama Dik.” Suaminya hanya tersenyum ia melihat wahjah istrinya bercahaya. Inilah yang ia rindukan sejak dulu. Ya Allah … terimaksih telah membawa cahaya di kehidupanku.

Hari kedua…

Berjuta-juta manusia bersatu padu mengelilingi ka’bah. Berduyun-duyun mengucapkan kalimat talbiah. Terik matahari menerangi membawa cahaya. Siapa yang tahu bahwa diatasnya banyak berjuta-juta malaikat yang sedang memperhatikan.

Allah kembali memperlihatkan kekuasaan-Nya. Indah terpisah dengan suaminya. Sesak. Jutaan manusia berduyun-duyun mengelilingi ka’bah. Ia terhimpit dalam lautan manusia.

“Ya Allah … aku bersimpuh dihadapan-Mu, dirumah-Mu. Ya Allah izinkan aku menyentuh hajar aswad, izinkan aku dengan sepenuh cinta mendekat kepada-Mu.” Lirihnya. Namun Indah tidak mampu menjangkau dan menerobos kumpulan orang-orang.

Indah tersesak di tengah-tengah jutaan manusia. Nafasnya sesak. Tubuh kecilnya tak mampu menahan dorongan. Ia rasa nyawanya ingin terangkat. Ia tidak kuat lagi.

“Ya … rabb, izinkan aku … izinkan aku.” Indah melirih.

Setelah tujuh kali ia mengelilingi ka’bah. Ia pingsan. Semuanya gelap. Sunyi. Tak ada nada. Hanya gelap. Langit senja berwarna jingga menghias angkasa raya. Angin lembut menyisir Tanah Suci. Indah masih pingsan.

Indah tertersadar dari tidurnya. Tiba-tiba ia telah berada di hotel. Ia tertidur pulas selama tiga jam. Ia bangkit. Ia memanggil-manggil suaminya. Namun tak kunjung datang. Kenapa disini sepi? Lirihnya.

Bel pintu berbunyi. Mungkin itu suaminya. Pikirnya.

Bukan … entah siapa orang yang berbaju putih yang datang.

“Siapa kamu?” Tanya Indah penasaran. Ia berdiri kaku sambil bergetar seluruh tubuhnya.

“Aku yang ingin selalu dekat denganmu?” apa? Tidak mungkin orang ini ingin dekat denganku? Siapa dia? Siapa pun dia sungguh aku … tidak mengenalinya.

“Maukah menemaniku?” Tanya orang itu.

“Jalan-jalan disekitar ka’bah, bukankah kamu selalu rindu dengan ka’bah?”  lanjut orang tidak dikenal itu. Sosok perempuan yang cantik jelita. Matanya Indah. Bibirnya menyunging senyum yang tulus. Indah menurut. Memang itu yang aku harapkan. Bosan jika terus di kamar.

“Mari kita berwudhu dahulu sebelum ke ka’bah. Katanya. Indah hanya menurut.

“Bisa tolong saya? Airnya tidak keluar.” Pinta wanita berjubah putih itu.

Indah mencoba membantunya. Ia sendiri takut kejadian kemarin menimpa dirinya. Bukankah kemarin aku tidak bisa membuat keran air mengalir?

WUSHHH …. Air keluar sangat lancar. Indah tidak mengira ia bisa melakukannya. Mengapa aku bisa melakukannya sedangkan kemarin tidak?

Wanita itu hanya tersenyum mengembang. Indah menatap nanar kejadian itu. Aneh. Tapi ia senang telah berhasil. Ada kebahagiaan yang bersemayam dihatinya.

“Kita kesana ya !” kata wanita itu lagi. “Kita ke ka’bah dan mendekatinya.” Lanjutnya.

“Bukankah kamu sangat ingin menyentuh hajar aswad itu?” iya benar. Kamu benar. Tapi darimana kamu tahu? Siapa kamu sebenarnya? Lirihnya.

Tiba-tiba orang-orang berdatangan. Berduyun-duyun. “Ayo Indah cepat !” katanya. Dari mana kamu tahu namaku?

Indah menurut. Orang-orang memberikan sebuah jalan kepadanya. Indah bebas melewati dan mendekat dengan hajar aswad. Lho ko mereka mempersilahkan aku berjalan dengan mudah?  Padahal kemarin saja tidak seperti ini suasananya. Padahal disini banyak orang? Ahh … tidak peduli. Yang penting aku bisa menangis dan bertaubat disini lebih dekat dengan Allah. Pikir Indah.

Indah berdo’a sepuas-puasnya. Mendekat lebih dekat lagi kepada Allah. Air matanya mengalir. Matanya sembab. Orang-orang memperhatikannya. Mereka tersenyum. Indah membalas dengan senyum juga.

“Sudah sore, ayo kita pulang !” kata wanita itu lagi. Indah sungguh bahagia bisa melakukan hal yang sebelumnya tidak bisa ia lakukan. Tidak terkira rasanya.

“Oya … boleh aku bertanya kepadamu?” Tanya Indah. Wanita itu tersenyum. Iya.

“Tadi pagi saya memutar keran, namun airnya tidak kunjung keluar. Yang kedua, tadi pagi aku sulit sekali mendekat ke hajar aswad, tapi sekarang mudah, bahkan orang-orang mempersilahkan kita. Apa yang terjadi?” tanyanya lagi meneruskan.

Wanita itu hanya tersenyum. “Berbahagialah Indah.” Tuh … Kan. Ko kamu tahu namaku? Siapa kamu sebenarnya?

“Aku adalah dirimu.” Apa? Aku? “Sebelumnya kamu datang menghadap Allah dengan berlumuran dosa, itu sebabnya air tidak keluar dan engkau hampir mati ketika berkeliling ka’bah.”

“Tetapi kerinduanmu terhadap tanah Baitullah ini. Tekadmu yang untuk bertaubat telah mengetuk pintu langit dan membuka seluruh jalan agar do’amu tersampaikan.”

“Berbahagialah Indah, kesungguhanmu untuk bertaubat telah meluluhkanku. Sungguh Allah menyayangimu. Allah menyukai orang-orang yang bertaubat apalagi …”

“Apalagi kamu begitu merindukan Baitullah …”

Semuanya senyap. Indah kaku terdiam. Matanya berkaca-kaca. Langit seolah runtuh kepadanya. Ia telah diberi cahaya. Ia seperti merasakan devaju. Diri yang penuh dosa ini?

“ALLAH … ALLAHHH … ALLAHHHHHHH.”

“Ada apa Dik?” suaminya menyadarkanya. Matanya masih sembab. Suaminya bertanya-tanya. Indah jatuh dalam pelukan suaminya. Indah menangis sejadi-jadinya.

“Mas … maafkan Indah. Indah mencintai Mas. Mas …  ajarkan Indah Islam. Ajarkan Indah kebaikan. Ajarkan Indah berhaji yang benar. Ajarkan Indah … menggapai ridho Allah Mas, disini. Ditanah suci ini … di Baitullah.”

Suaminya tersenyum mengiyakan. Langit senja mengucapkan salam kepada mereka. Seluruh makhluk di langit mengucapkan salam. Salam penghormatan bagi mereka yang selalu rindu mendekat kepada Allah. Yang rindu kepada Baitullah.

***

Bandung, 30 Agustus 2013

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun