Mohon tunggu...
Wildan Abdurrahman
Wildan Abdurrahman Mohon Tunggu... Seniman - Pencari Inspirasi

Penikmat isu perkembangan dan pembangunan spasial perkotaan. Pengagum inovasi dan kreativitas visual.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Bias Kota-Desa dan Perkembangannya

15 Mei 2015   23:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:00 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah lama kita berada dalam arus pembangunan yang tak mau mengenal lelah, yang masih bersemangat mengejar ketertinggalannya. Kota-kota di Nusantara saat ini sedang bergejolak mencari jati dirinya yang masih bias, bergerak mencari kerapatan dan kepadatan dalam dirinya sendiri, kota yang riuh dengan bermacam aktivitas yang kadang sulit dimengerti.

Berdasarkan data dari tahun 2012 yang lalu saja, kurang lebih 54% penduduk Indonesia tinggal di daerah perkotaan (sumber:kompas.com) dan diprediksi akan terus meningkat setiap tahunnya. Banyak dari penduduk desa yang terdorong ke kota atau mungkin tersedot karena manisnya geliat perekonomian di suatu kota. Berbondong-bondong meninggalkan desanya demi mencari penghidupan yang-semoga-saja-bisa lebih baik dan layak.

Belum meratanya pendidikan yang ada di Indonesia membuat beberapa kaum imigran compang-camping menengadah peradaban kota yang sudah semakin jauh menembus batas-batas pedesaan mereka, namun disamping itu pula dengan masifnya masyarakat perkotaan yang secara masal masuk melingkari berbagai penjuru kota, menciptakan suasana komunal yang semakin sempit setiap harinya di dalam kota. Melangitnya harga lahan perkotaan dan kebutuhan akan uang yang tidak bisa tergantikan, membuat kaum-kaum urbanis yang belum siap di "gembleng" kerasnya ibukota ini terpaksa mencari dan mencuri lahan yang "loyo" dari pengamatan pemerintah. Disamping itu, ketidak-sigap-an pemerintah dalam mengelola arus imigran yang masuk juga bisa membuyarkan rencana penataan ruang-ruang kota, akibat banyaknya kampung-kampung kota yang tumbuh secara organis semaunya sendiri.

Kota yang identik dengan peradaban dan teknologinya, belakangan ini lebih sering menyuguhkan interaksi dengan alam yang tidak bersahabat (bencana alam) dibanding dengan inovasi pembangunannya. Mayoritas perkotaan di Indonesia saat ini masih sering menyuguhkan pemandangan yang biasanya sering dilihat di daerah perdesaan, terlebih lagi jika berbicara mengenai penanganan aktivitas alamiah alam seperti banjir dan longsor (bukit sampah). Beberapa ciri lain yang masih canggung dilihat di perkotaan adalah banyaknya permukiman kumuh dan kebiasaan masyarakat yang senang membuang sampah seenak perutnya sendiri.Disini, garis kota bergeser menjadi desa, tidak jelas mana yang seharusnya ada di desa dan di kota.

Sejalan dengan pendapat Mumford (1938), bahwa setiap kota selalu berubah sesuai dengan awal permulaannya sampai dengan kematiannya, yaitu dari eopolis (kota baru) - polis - metropolis - megalopolis - tiranopolis - sampai pada necropolis (kota mati), maka perkembangan kota-kota di tanah air saat ini juga mulai bergerak dari polis menjadi metropolis-metropolis baru. Gejala yang dirasakan dari perkembangan metropolis ini adalah ekspansi secara horizontal yang menyebabkan garis batas antara desa dan kota menjadi bias dan tidak jelas. Beberapa orang menyebutnya sebagai  urbanitas pedesaan dan rulalitas perkotaan, yaitu sifat-sifat atau kondisi perkotaan yang ada dipedesaan, dan sifat-sifat atau kondisi pedesaan yang ada di perkotaan, sehingga imbasnya adalah hilangnya batas ruang antara kota dan desa. Saat ini setiap orang semakin mudah melintasi batas kota dan desa tanpa merasakan perbedaan yang mendasar antara keduanya.

Disamping itu, meledaknya gebrakan teknologi "serba pintar", smart city, smart phone, smart car, dan smart-smart yang lainnya, turut membiaskan batas kota dan desa. Pertukaran informasi tidak hanya terjadi pada 1 skala wilayah saja, namun terhubung secara global, akibatnya informasi-informasi yang baik dan buruk dari perkotaan dapat melaju deras ke pedesaan, begitu pula sebaliknya. Sehingga salah sati dampaknya adalah informasi diserap bebas oleh siapa saja yang mengaksesnya. Kebiasaan-kebiasaan baik dan buruk masyarakat perkotaan dapat dengan mudah dijadikan contoh oleh masyarakat pedesaan, disamping itu pula, masyarakat perkotaan yang mengatas-namakan dirinya sebagai investor melihat potensi-potensi daerah sebagai suatu ladang emas yang harus digali tanpa menghiraukan adat, budaya, lingkungan dan kesiapan dari daerah tersebut.

Berkaca dari cepatnya replikasi sifat-sifat perkotaan oleh pedesaan,  maka tumbuhnya metropolis-metropolis baru tanpa memiliki acuan model pembangunan yang benar akan semakin sulit dihindari.

***

Daftar Bacaan:

Kusumawijaya, Marco. 2006. Kota Rumah Kita. Jakarta: Borneo

Mumford, lewis dalam Rahardjo. 1983. Perkembangan Kota dan Permasalahannya. jakarta: PT Bina Aksara

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun