Mohon tunggu...
Wikan Widyastari
Wikan Widyastari Mohon Tunggu... Wiraswasta - An ordinary mom of 3

Ibu biasa yang bangga dengan 3 anaknya. Suka membaca, menulis,nonton film, berkebun.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bencilah Ayahmu karena Dia Layak untuk Kau Benci

24 Oktober 2020   06:30 Diperbarui: 24 Oktober 2020   06:58 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hujan masih menyisakan basah di halaman rumahku pagi itu.Pucuk-pucuk daun berkilau tertimpa matahari pagi yang muncul dengan malu-malu. Semalu Arissa, yang tiba-tiba sudah berdiri di depan pintu pagar rumahku. 

"Selamat pagi, tante, boleh saya masuk?" Anak ini akhir-akhir ini memang suka berkunjung ke rumahku. Kadang hanya sekedar ngendon di ruang perpustakaan rumah kami, sambil membaca buku yang tersedia di sana. Kadang dia membantuku bersih-bersih rumah, jika memang ada yang harus dibersihkan, tak jarang aku mengajaknya makan, kalau saatnya makan siang dan dia belum ingin pulang.

Arissa, selalu kuterima dengan tangan terbuka di rumahku. Kehadirannya tak pernah mengganggu. Malah kalau tak ada yang dikerjakan untuk membantuku, aku suka lupa bahwa dia masih ada di perpustakaan. Perpustakaan  rumahku memang nyaman. 

Banyak buku tersedia di sana, mulai dari fiksi sampi yang lebih serius. Dan Arissa suka sekali membaca koleksi buka karangan Enid Blyton yang sudah kukoleksi sejak aku SMP, dan masih ada sampai sekarang. Kadang dia bahkan bisa seharian di rumahku. Dari pagi sampai sore.. Apalagi di masa pandemi ini. Kadang dia bisa seharian menggunakan wifi di rumahku untuk mengikuti PJJ sekolahnya.

Pagi ini  ku rasa, dia tak sekedar ingin menyepi dan membaca buku di rumahku, karena kulihat matanya sembab. Jadi ku ajak dia masuk dan kubuatkan teh  dan kusuguhi pisang goreng yang masih hangat. Lalu kutunggu sampai dia selesai minum dan makan. Kami hanya duduk diam, dan aku mencoba untuk tidak bertanya. 

Aku cukup tahu betapa kacau keluarganya. Ayah dan Ibunya sudah lama bercerai. Mereka sudah tidak tinggal serumah. Tapi ayahnya masih suka mengatur-ngatur ibunya. Mencampuri urusannya, mengganggu hidupnya. mencemburuinya, bahkan memukuli ibunya jika mereka bertengkar. Tak peduli dijalan, di depan banyak orang. 

Kalau ayahnya marah, dia akan mengirim wa ke semua kontak ibunya berisi foto ibunya yang sudah ditulis kalimat tak senonoh yang merendahkan mantan istrinya. Kadang saya berpikir, orang ini sudah memperlakukan ibu dari anak-anaknya sendiri seperti sampah. Seperti budak yang harus menuruti apa maunya. Memukulinya jika tidak menurut, bahkan untuk alasan yang lebih sering tak masuk akal. 

Tapi yang bikin kesal, si istri ini mau aja diperlakukan seperti itu. Tetap aja dia menemui suaminya dna bahkan tetap melakukan hubungan suami istri. Kalau lagi berantem nangis-nangis lalu pergi sembunyi beberapa hari, sampai anak-anaknya bingung mencarinya. Habis reda lupa lagi, akur lagi kumpul lagi, lalu bernatem lagi, dipukuli lagi, begitu terus nggak berhenti-henti. 

Sudah banyak yang menasehati agar dia berhenti menemui mantan suaminya dan memulai hidup baru demi anak-anaknya. Namun tak satupun nasehat  itu dia gubris. Kalau ditanya apa nggak malu, dipukuli di jalan, di depan banyak orang. Dia malah jawab"" Sudah biasa". Huh...aku sampai tak tahu lagi harus bicara apa.

Jadi, ya, kalau sekarang dihadapanku  ada anak remaja yang baru gede datang dengan muka kusut dan mata sembab, aku menyiapkan diri untuk menjadi pendengar. Mendengar keluh kesahnya dan berempathy padanya. Rupanya, semalam ketika diajak ibunya ke rumah ayahnya, dia harus melihat ayah ibunya bertengkar lagi dan melihat ayahnya memukuli ibunya sampai babak belur. 

Teriakkannya tak digubris dan malah dia juga menjadi sasaran pukulan ayahnya. Hatinya sakit tak tertahan. dan malu luar biasa pada tetangga yang datang merubung. Dia merasa seperti tak ada harganya lagi. Menjadi anak yang terbuang dan tak dinginkan. Anak perempuan, yang seharusnya bisa dengan bangga berkata kepada kawan-kawannya. Ayahku cinta pertamaku. Kelak aku ingin punya suami sebaik dan se keren ayahku.

Arissa  sudah ratusan kali mengingatkan ibunya untuk menjauh dari ayahnya. Arissa  sudah puluhan kali mengatakan pada ibunya bahwa ayahnya sakit dan tak ada gunanya tetap mempertahankan hubungan, yang seharusnya memang tak boleh lagi dilakukan. Tapi seperti biasa ibunya hanya diam dan selalu kembali lagi ke ayahnya begitu pertengkaran mereda. selalu begitu berulang-ulang, seperti berjalan di dalam labirin dan tak menemukan jalan ke luar. Berjalan menjauh, tapi akhirnya kembali lagi ke tempat semula. Begitu terus.

"Aku benci ayahku Tante, aku benci padanya". suaranya mendesis penuh tekanan. Penuh kemarahan yang tersumbat. Aku tak harus berkata apa. Menghiburnya? Mengatakan bahwa semua akan berlalu dan akan membaik? Kenyataannya tidak. Mengajaknya tinggal di rumahku, menjauh dari orangtua toxic yang tak henti-henti saling menyakiti satu sama lain? Aku tak bisa. 

Aku tak ingin berurusan dengan keluarga itu. Aku tak mau kekisruhan mereka masuk ke dalam rumahku. Tidak, semua kesakitan dan kepedihan itu bukan urusanku. Jadi aku hanya bisa mengulurkan lenganku, memeluknya, dan kuselipkan pisau kecil bermata tajam yang baru kubeli kemarin ke dalam tangan mungilnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun