Mohon tunggu...
Endiarto Wijaya
Endiarto Wijaya Mohon Tunggu... Lainnya - Padawan

Menulis dan memotret kehidupan nyata adalah kegemaran saya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

1 Januari 1911

1 Januari 2011   17:45 Diperbarui: 2 September 2020   16:40 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mata saya rasanya masih berat dan rasa kantuk belum benar-benar sirna ketika suara  peluit lokomotif yang dilangsir di selatan peron Stasiun Trem Jagalan membangunkan saya. Secara refleks, saya merogoh saku celana saya untuk mengambil jam saku pemberian atasan saya, Meneer Verhoeven. Jarum jam ternyata masih menunjukkan pukul 04.05 pagi. Dari kejauhan, adzan Subuh juga mulai terdengar. Hari ini, Minggu 1 Januari 1911. Saya mesti berangkat pagi-pagi ke Gondanglegi untuk mengantarkan surat kepada Mandor Darmin yang tinggal dekat kebun tebu tidak jauh dari Stasiun Gondanglegi. Surat tersebut adalah surat penting dari Pak Broto yang bekerja sebagai Dokter Gula di Suikerfabriek (SF) Sempalwadak.  Isinya adalah berita  panggilan untuk Mandor Darmin agar menemui Pak Broto di ruang kerjanya yang berada di sebelah rumah besaran Sempalwadak pada Senin, 2 Januari 1911.

Hari Minggu, apalagi hari pertama di tahun baru tentu merupakan hari libur. Tetapi panggilan tugas sebagai kurir surat SF Sempalwadak terkadang tidak mengenal waktu. Untungnya jika saya mesti bekerja pada hari libur berarti saya mendapat uang lembur atau upah overwerk. Ini berarti saya dapat uang Gulden tambahan untuk nonton Ketoprak di Gedung Flora atau nonton film di Gedung Bioskop Rex dekat Kantoor Residen di Alun-Alun Malang. Apalagi semalam uang jatah pelesir bulanan sudah lumayan menipis setelah membeli beraneka makanan seperti tahu campur, bakso, jemblem, lentho dan tempe menjes ramai-ramai bersama kawan-kawan sambil duduk-duduk di alun-alun menanti kedatangan tahun baru.

Baru jam 01.00 dini hari kami meninggalkan Alun-Alun Malang. Karena takut bangun kesiangan dan tertinggal trem, akhirnya saya memutuskan untuk tidak pulang ke rumah saya di Blimbing. Dari alun-alun, saya mengayuh sepeda jengki Fongers saya ke Stasiun Trem Jagalan di Van Kesteren Weg. Dengan bersepeda, hanya butuh waktu kurang dari 5 menit untuk sampai di Stasiun yang diresmikan oleh NV Malang Stoomtrammaatschappij pada November 1897 itu. Sepeda segera saya titipkan di warung Pak Kardi yang berjualan Kopi dekat stasiun.

Jarum  jam menunjukkan pukul 1.30 ketika saya mulai membaringkan tubuh di atas bangku dekat loket karcis dan bangun jam 04.05 pagi karena lengkingan si lokomotif langsir itu. Padahal trem pertama baru berangkat kira-kira pukul 06.00. Namun saya beruntung, karena biasanya para opas sering patroli ke stasiun jam 05.00 pagi dan saya tidak mau dituduh opas sebagai gelandangan. Opas dengan kumis melintang ala Marsose itu bisa menjebloskan saya ke penjara dan saya bisa kehilangan pekerjaan.

Setelah menunaikan Sholat Subuh, saya berjalan-jalan sebentar ke Kidul Pasar mencari jajanan buat mengganjal perut dan minum kopi susu untuk mengusir rasa kantuk. Pada pagi-pagi begini biasanya jajanan di Kidul Pasar masih hangat dan kita bisa memilih beraneka ragam makanan seperti mendut, nagasari, pukis, lumpur dan perut ayam. Akhirnya saya memutuskan untuk masuk ke Warung Sudi Dhahar dan ternyata di sana sudah ada Pak Sarmani sopir SF Kebonagoeng yang telah lama saya kenal. Rupanya dia sedang menunggu istrinya yang sedang belanja di pasar. Langsung saja saya duduk di sebelahnya setelah menyalaminya. Surat untuk Mandor Darmin pun saya taruh di atas meja. Pak Sarmani melihat surat itu dan bertanya dalam bahasa Belanda: “Voor wie is deze brief?” Artinya kurang lebih: "Untuk siapa surat ini?" Setelah saya jawab bahwa surat ini untuk Mandor Darmin, ternyata Pak Mandor itu teman lama Pak Sarmani. Beliau pun titip salam buat temannya yang tinggal di Gondanglegi itu.

Pada jam 05.35, saya segera kembali ke Stasiun Jagalan agar tidak ketinggalan trem. Setiba di stasiun ternyata loket karcis sudah buka. Petugas yang melayani pembelian karcis ternyata seorang Indo Belanda. “Waarheen?” tanyanya kepada saya. “Naar Gondanglegi,” jawab saya. Tidak lama setelah saya mendapatkan karcis, sayapun segera menaiki kereta trem. Dari jendela kereta trem kelas tiga, saya melihat Meneer Chef  (kepala stasiun) sedang berbicara dengan kondektur. Entah apa yang mereka bicarakan. Pak kondektur yang priyayi Jawa itu nampaknya manggut-manggut saja sambil berdiri ngapurancang (menyilangkan tangan di depan badan) di hadapan Meneer Chef.

Hari ini trem nampaknya tidak terlalu penuh. Rupanya banyak orang malas bepergian pada hari pertama tahun baru ini. Barangkali mereka kelelahan setelah semalaman pelesiran keliling kota untuk menyambut tahun baru. Ini berarti saya ada ruang sedikit lapang untuk meluruskan kaki saya dan menambah jam tidur saya yang masih kurang. Tepat jam 06.00, trem berangkat. Jalanan Malang benar-benar sepi. Dari jendela, saya lihat hanya satu mobil yang melintas di Jalan Gadang. Trem yang melaju penuh irama di atas rel menuju Gondanglegi sungguh meninabobokkan saya. Apalagi udara sejuk Malang di pagi hari bagaikan obat bius yang mendatangkan kantuk. Selepas Halte Trem Lowokdoro, saya kembali terlelap.

Waktu menunjukkan pukul 07.30 ketika saya terbangun akibat peluit Semboyan 35 KRL jurusan Bogor yang baru lewat. Hari ini, Sabtu tanggal 1 Januari 2011. Sambil menahan rasa kantuk yang masih belum pergi dari pelupuk mata, saya amati ruangan sekeliling saya. Saya kaget karena ternyata saya tidak sedang tidur di dalam sebuah gerbong trem. Bukan suara loko uap pula yang saya dengar melainkan suara mesin sepeda motor dan klakson yang bersahutan. Tanggal 1 Januari 2011, saya ternyata berada dalam sebuah kamar sempit ditemani kipas angin tua yang setia menemani saya di salah satu Kota Metropolitan terpadat di dunia. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun