Mohon tunggu...
Wijatnika Ika
Wijatnika Ika Mohon Tunggu... Penulis - When women happy, the world happier

Mari bertemu di www.wijatnikaika.id

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perkawinan Usia Anak Melonjak Selama Pandemi, Mengapa Bisa?

24 September 2020   10:40 Diperbarui: 24 September 2020   17:55 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak-anak yang kehilangan dunianya karena praktek Perkawinan Usia Anak. Sumber: workingdreamers.com

"Orang tua yang belum mendapat informasi mengenai perlindungan anak,  mereka akan melihat anak sebagai beban ekonomi. Sehingga ketika dinikahkan,  mereka akan melihat tanggung jawab ekonomi yang berkurang." -Owena Andra, Plan International Indonesia-


Suatu pagi, Ibu temanku bercerita bahwa malam sebelumnya ia menonton sebuah berita tentang anak lelaki berusia 13 tahun menikah dengan perempuan berusia 18 tahun. Sontak, aku dan temanku melongo mendengar itu. Sebagai generasi muda yang melek masalah sosial seperti ini, peristiwa itu merupakan satu dari sekian langkah mundur pembangunan bangsa.

Saat kami berusaha meng-counter dengan mengatakan bahwa pernikahan tersebut salah dalam konteks ekonomi, pendidikan dan sistem reproduksi, Ibu temanku mengatakan bahwa menikahkan anak remaja lebih baik daripada mereka pacaran dan melakukan dosa berzina. Beliau juga menambahkan bahwa zaman dulu pernikahan usia belasan tahun lazim terjadi dan semua baik-baik saja. Termasuk beliau adalah anak dari perempuan yang dinikahkan sebelum masa haid tiba.

Lagi-lagi aku dan temanku hanya bisa melongo, tak sanggup berdebat dengan beliau. Para ibu dan ayah yang berusia 60-70an tahun adalah generasi yang punya cara pandang berbeda dengan generasiku terkait relasi, pernikahan, rumah tangga, anak-anak dan ekonomi. Karena kami melihat perkara ini dari sudut pandang berbeda, aku dan temanku berusaha untuk tidak mendebat beliau. Para ayah dan ibu di generasi beliau memegang teguh nilai-nilai pada zamannya.

Masyarakat kita (dan mungkin dunia) TEROBSESI menjadikan 'pernikahan' sebagai 'sapu jagad' yang bisa mengobati segala macam persoalan dalam masyarakat. Sepasang remaja pacaran, dinikahkan. Orang tua nggak sanggup kasih makan, dinikahkan. Orang tua nggak sanggup sekolahkan anak, dinikahkan.

Anak bandel dan suka keluyuran, dinikahkan. Anak nggak lanjut kuliah, dinikahkan. Anak diperkosa, dinikahkan. Anak diinginkan pedofil, dinikahkan. Anak malas sekolah, dinikahkan. Anak malas belajar online, dinikahkan. Orang tua diPHK, anak dinikahkan. OH MY GOD!

Pagi tadi saat mencari informasi di Facebook, aku menemukan sebuah data mengejutkan tentang melonjaknya angka Perkawinan Usia Anak (PUA) selama pandemi Covid-19 (dari Maret-September 2020). Dalam catatan Pengadilan Agama terdapat 34.000 permohonan dispensasi menikah bagi anak-anak dibawah usia 19 tahun.

Meskipun UU No. 16/2019 sebagai Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa usia pernikahan minimal 19 tahun. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa Pengadilan Agama mengabulkan 97% permohonan dispensasi menikah bagi anak dibawah umur.

Bagaimana bisa Pengadilan Agama sebagai lembaga negara melanggar UU yang dengan jelas mengatur batas minimal usia pernikahan baik bagi lelaki maupun perempuan sebagai bentuk perlindungan anak?

Berdasarkan temuan, ada sejumlah faktor yang menyebabkan para orangtua memilih menikahkan anak-anak mereka, yaitu: kondisi ekonomi keluarga; takut anaknya hamil di luar nikah; minimnya pemahaman tentang dampak pernikahan usia anak; dorongan norma agama dan sosial di lingkungan tempat tinggal, dan minimnya aktivitas (selama pandemi).

Oke, pada masa pandemi begini semua orang dalam kesulitan ekonomi. Tapi, apakah menikahkan anak akan membantu kehidupan ekonomi si anak menjadi lebih baik dari orangtuanya? Jika menikahkan anak karena takut berzina sebab anak pacaran, lantas apa peran orangtua selama ini sampai nggak bisa mendidik, mengontrol, dan berdiskusi dengan anak sendiri terkait upaya mengendalikan hasrat seksual mereka?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun