Mohon tunggu...
Wijatnika Ika
Wijatnika Ika Mohon Tunggu... Penulis - When women happy, the world happier

Mari bertemu di www.wijatnikaika.id

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Bagi Hartono Lokodjoyo, Bertani Itu Pekerjaan Paling Nikmat dan Menguntungkan

16 Juli 2019   04:07 Diperbarui: 16 Juli 2019   19:17 2334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hartono Lokodjoyo saat menanam bibit lettuce. Dokumentasi Pribadi

Aku adalah anak petani yang tidak menjadi petani. Bukan menolak menjadi petani sih. Masalahnya adalah sejak kecil aku dididik untuk tidak menjadi petani. Alhasil, ikutan ngoret rumput 5 menit aja telapak tangan langsung kapalan. Kebayang kan bagaimana kalau aku jadi petani sungguhan dengan lahan 1 ha dan dikerjakan sendiri?

Belasan tahun kemudian, kok aku malah tertarik menjadi petani ya. Tapi eh, aku nggak punya lahan apalagi tanah warisan. Bagaimana jadinya mau bertani jika lahan saja tidak punya, bukan? Karena ruhnya petani adalah tanah. Sebagaimana laptop yang kini jadi ruhnya para penulis Kompasiana. 

Omong-omong soal petani dan dunia pertanian nih, meski kita sudah ada di zaman menuju Society 5.0 profesi petani masih dianggap rendahan. Bahkan beberapa tahun silam seorang pejabat negara pernah dengan bangga mengatakan bahwa menurunnya jumlah petani adalah pertanda baik bagi ekonomi bangsa. 

Padahal di lapangan, menurunnya jumlah petani bukan berarti rakyat semakin sejahtera karena misalnya menjadi buruh di pabrik-pabrik. Melainkan karena terjadi banyak sekali penggusuran dan alih fungsi lahan pertanian menjadi kegunaan non pertanian seperti perumahan, pabrik hingga fasilitas publik seperti jalan tol dan bandara. 

Dalam kondisi alih fungsi lahan pertanian yang massive, ya wajar lah jika para petani angkat pacul dan jadi pengangguran, karena tempat bekerja petani kan memang lahan pertanian, tiada lain. 

Nah, karena lahan pertanian berkurang maka terjadilah kekurangan pasokan bahan pangan sehingga harus impor dari negara tetangga seperti Vietnam atau Thailand. Trus kita hanya bisa teriak-teriak tolak impor dan lain sebagainya tanpa melihat masalah sesungguhnya di dunia pertanian tanah air. 

Hal inilah yang kemudian memicu kemunculan petani-petani muda dengan segala inovasi dalam memajukan kembali dunia pertanian. Sebab, sulit lho mengajak anak muda lulusan kampus-kampus bonafit untuk jadi petani. 

"Idih, masa sarjana jadi petani?" begitu kata sebagian besar orang, karena mereka mengira Sarjana Pertanian enggak berhak jadi petani. 

Perkembangan gerakan petani muda dengan konsep pertanian yang maju dan intensif membuatku semakin tertarik mencari tahu petani-petani keren tanah air yang bisa membangkitkan semangatku untuk menjadi petani, walau sampai tulisan ini dibuat aku masih belum punya lahan apalagi diberi tanah warisan (wkwkwkwk).

Petani Nyentrik dari Bali
Suatu waktu, aku berkenalan dengan seorang petani bernama Hartono Lokodjoyo di Facebook. Dalam tulisan itu aku sebut saja beliau sebagai Mas Har. Aku mengikuti status-statusnya yang sederhana, terutama cerita tentang lahan pertaniannya yang bernama Hars Garden dengan 3 unit rumah pohon yang selalu full booking. Awalnya aku merasa Mas Har ini sesumbar alias sombong bahwa sebagai petani dari lahan sewaan dia bisa liburan keliling dunia bersama istrinya.

Setelah banyak menjalin komunikasi, akhirnya Mas Har mengundangku untuk belajar di kebunnya yang terletak di Ubud, Bali. Berangkatlah aku ke sana dan berhasil belajar selama 10 hari sampai kulitku gosong macam arang untuk membakar sate kambing hehe. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun