Mohon tunggu...
Wijatnika Ika
Wijatnika Ika Mohon Tunggu... Penulis - When women happy, the world happier

Mari bertemu di www.wijatnikaika.id

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Bertani Asyik Tanpa Takut Kulit Bersisik

9 November 2018   20:08 Diperbarui: 10 November 2018   01:16 998
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para petani perempuan memanen padi dengan gambira di Banjit, Way Kanan, Lampung. Foto: Rinto Macho

"Awal-awal saya buka kebun sendiri, saya sukses menanam apa saja. Tapi masalahnya adalah pemasaran. Saya sudah berhasil di mengelola tanah dan tanaman, tapi saya gagal memasarkan produk saya. Sampai capek sekali saya. Pagi sampai siang saya bekerja sebagai gardener di Jogja kafe, lalu siang sampai sore saya bekerja di kebun sendiri, lalu sore sampai malam saya memasarkan produk saya. Ya tidak laku. Sampai akhirnya saya berpikir untuk merubah cara saya menjual. Keuntungan saya sekarang adalah pembeli produk kebun saya orang asing yang sangat peduli dengan kesehatan makanan mereka, makanya produk kebun Har's Garden ini laris dan menguntungkan bagi saya," katanya mantap.

Saat Hartono Lokodjoyo menanam benih lettuce atau selada (dok. pribadi)
Saat Hartono Lokodjoyo menanam benih lettuce atau selada (dok. pribadi)
Proses kerja keras dan jatuh bangun sebagai petani organik mengantarkannya pada pengetahuan yang berbeda dari petani dan petani organik kebanyakan. Dalam pandanganku, lelaki nyentrik yang rendah hati ini merasa semakin bersyukur kepada Tuhan karena diberikan kemampuan untuk mengelola bumi dengan benar sehingga mendatangkan kemakmuran baginya dan keluarganya.

"Saya sudah pernah menjalani berbagai jenis pekerjaan seperti yang saya ceritakan ke kamu. Tapi, bertani adalah pekerjaan yang paling saya nikmati," ujarnya bangga. Aku tersenyum senang mendengar kalimat itu.

Pengakuan yang mengejutkan ini memang dapat kubenarkan manakala selama 10 hari lamanya aku belajar langsung kepadanya di lahan pertanian. Mas Har bertani dengan gembira. Hal ini ditunjukkan dengan caranya dalam memperlakukan tanah, tanaman, bibit, air, hingga proses memanen.

Tak lupa ia membawa ponselnya dan menyimpannya di saku celana pendek selutut. Ia memerlukan ponsel itu sebagai media untuk mendengarkan musik jenis campursari. Ya, Mas Har bertani sembari mendengarkan musik campursai!

Kebun itu pula yang mempertemukannya dengan jodohnya. Namanya Ryoko Mine, seorang sutradara dan wanita karir di bidang pertelevisian Jepang yang bosan menjalani hidup ala perkotaan, dan main ke Bali untuk melihat peluang baru.

"Mbak Ryoko itu dulu punya Villa dan kami sempat tinggal disana setelah menikah. Tapi karena konsepnya sama dengan kebanyakan villa, maka villa kami tidak begitu laku. Setelah kunjungan ke Jepang dan melihat sebuah rumah pohon di lokasi syuting temannya istri saya itu, kami pun akhirnya membuat rumah pohon di Hars Garden," ujar Mas Har dengan mata berbinar.

Ya, Mas Har dan istrinya tinggal di sebuah rumah pohon dua lantai di Hars Garden. Kemudian mereka membangun dua unit rumah pohon lain yang disewakan melalui www.airnb.com, sebuah situs yang menyediakan informasi tentang tempat tinggal rasa lokal bagi turis dari seluruh dunia. Kedua unit rumah pohon itulah yang mengisi sebagian besar pundi-pundi Rupiah miliknya.

BACA JUGA: Kenangan di Hars Garden Tree House

Selain untuk menjalani hidup dengan bahagia dan bersahabat dengan alam. Ketiga rumah pohon dibangun di lahan pertaniannya sebagai salah satu kritik pada gerakan Bali Not For Sale yang menurutnya tidak memiliki solusi yang jelas.

"Saya sudah merasakan berhasil dari Hars Garden ini. Saya punya kebun organik yang menghasilkan. Saya juga punya rumah pohon yang menghasilkan. Hidup saya berkecukupan untuk seorang petani yang menyewa tanah. Tanah ini saya sewa, bukan punya saya. Makanya saya ingin pemilik tanah di sekitar saya belajar pada saya. Coba mereka bangun satu rumah pohon itu ditengah sawah, pasti laris. Tidak perlu bangun hotel pakai semen. Cukup pakai kayu. Kita harus bersahabat dengan alam. Itu baru namanya solusi untuk Bali not for Sale," katanya lagi seraya memandang sekeliling, dimana sawah-sawah di area Ubud mulai beralih fungsi menjadi bangunan dari semen. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun