Umat Kristiani tanggal 13 April 2025 baru saja merayakan Hari Minggu Palma. Misa dibuka dengan Bacaan Injil yang diambil dari Lukas 19:29-40 yang berisikan tentang 'Yesus dielu-elukan di Yerusalem'. Kisah Yesus dielu-elukan ini juga dapat kita baca di Injil Matius 21:1-9, Markus 11:1-10, dan Yohanes 12:12-15.
Dalam Lukas 19:37 disebutkan 'Ketika Yesus mendekati Yerusalem, di jalan yang menurun dari Bukit Zaitun, mulailah semua murid yang mengiringi Dia bergembira dan memuji Allah dengan suara nyaring ...'.Â
Siapa yang dimaksud dengan murid, kita dapat membacanya di Matius 21:8, 'Orang banyak yang sangat besar jumlahnya menghamparkan pakaiannya di jalan, ada pula yang memotong ranting-ranting dari pohon-pohon dan menyebarkannya di jalan'.
'Orang banyak' yang disebut murid oleh Lukas ini juga kita bisa temukan di Injil Yohanes 12:12-13, 'Keesokan harinya ketika orang banyak yang datang merayakan pesta mendengar, bahwa Yesus sedang di tengah jalan menuju Yerusalem, mereka mengambil daun-daun palem, dan pergi menyongsong Dia ...'
Inti dari keempat Bacaan tentang 'Yesus dielu-elukan di Yerusalem' adalah bahwa murid-Nya atau orang banyak mengelu-elukan Dia. Tentang apa yang murid atau orang banyak sebarkan di jalan ada yang mengatakan 'ranting-ranting' (Matius 21:8, Markus 11:8), dan yang secara spesifik menyebut daun palem adalah Yohanes di Bab 12 ayat 13. Di Indonesia kita menggunakan daun palma untuk perayaan Minggu Palma. Saya juga sempat merayakan Minggu Palma di Belanda dan di Inggris, mereka menggunakan daun yang berbeda, bukan palma.
Demokrasi: Suara Terbanyak Atau Suara Terbaik?
Jika dalam Injil Lukas 19:28-40 Yesus dielu-elukan oleh orang banyak, orang banyak pula yang menjadi dasar Pilatus untuk menyalibkan Yesus. Dalam Bacaan Injil tentang kisah sengsara Yesus menurut Lukas 23:1-49, dituliskan bahwa Yesus dituduh orang banyak 'Telah kedapatan oleh kami, bahwa orang ini menyesatkan bangsa kami, dan melarang membayar pajak kepada Kaisar, dan tentang diri-Nya Ia mengatakan, bahwa Ia adalah Kristus, yaitu Raja (ayat 2).'
Namun, ketika Pilatus (Gubernur Romawi untuk Yudea, Samaria dan Idumea) mengatakan bahwa Pilatus tidak menemukan kesalahan Yesus dan berencana untuk melepaskan Yesus, orang banyak berteriak 'Salibkanlah Dia, Salibkanlah Dia' (ayat 21).
Yesus dielu-elukan orang banyak, namun orang banyak pulalah yang memaksa Pilatus untuk menyalibkan Yesus. Ironis.
Bacaan Injil di hari Minggu Palma menunjukkan paradoks pertama demokrasi. Demokrasi lebih sering diasosiasikan dengan suara terbanyak, bukan suara terbaik. Suara atau pendapat terbaik sering kali dikalahkan oleh suara terbanyak, meskipun suara terbanyak bukanlah yang terbaik. Dalam Injil Lukas 23:1-49, suara terbaik adalah membebaskan Yesus, karena baik Pilatus maupun Herodes (raja atas seluruh tanah Palestina) tidak menemukan kesalahan Yesus. Namun, karena suara terbanyak menghendaki Yesus disalibkan, maka suara terbaik membebaskan Yesus dikalahkan oleh suara terbanyak untuk menyalibkan Yesus.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita juga sering menjumpai suara terbanyak bukanlah suara terbaik, namun selalu suara terbanyaklah yang kemudian diambil sebagai keputusan. Di negara induknya demokrasi yaitu Amerika Serikat-pun fenomenanya sama dengan yang sering kita jumpai di negara kita. Kita sudah menjadi saksi, bahwa 'suara terbanyak' (saya beri tanda kutip mengingat suara terbanyak untuk presiden terpilih di Amerika Serikat bukan menunjukkan total jumlah suara yang diperoleh oleh Presiden terpilih) memenangkan Donald Trump. Kita juga sedang menjadi saksi apakah kebijakan Trump seperti menaikkan tarif merupakan hasil dari suara terbaik ataukah hanya sekedar hasil dari suara terbanyak.