Mohon tunggu...
Wijanto Hadipuro
Wijanto Hadipuro Mohon Tunggu... Peneliti dan penulis

Saya pensiunan tenaga pengajar yang senang menulis tentang apa saja. Tulisan saya tersebar di Facebook, blogspot.com, beberapa media masa dan tentunya di Kompasiana. Beberapa tulisan sudah diterbitkan ke dalam beberapa buku.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

'Bayar, Bayar, Bayar': Pedang Bermata Dua

1 Maret 2025   14:48 Diperbarui: 1 Maret 2025   15:20 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Heboh tentang lagu 'Bayar, Bayar, Bayar' dari Band Sukatani selama ini dilihat hanya pada satu sisi, yaitu kritik kepada institusi polisi. Dianggap bahwa berurusan dengan polisi selalu berkonotasi harus membayar: mulai dari membuat SIM, sampai mau jadi polisi.

Heboh makin menjadi-jadi saat Kapolri menawarkan kepada Band Sukatani untuk menjadi duta polisi. Bukannya pujian yang diperoleh, institusi Polri malah makin menjadi sasaran kritik. 

Pengamat lebih banyak melihat bahwa lagu ini dari genre punk yang dianut oleh bank Sukatani. Dan, genre punk diidentikkan dengan kritik dan perlawanan.

Padahal jika kita melihat secara lebih fair, dan jika Polri serta masyarakat mau belajar dengan lebih arif, lagu ini seharusnya tidak hanya dilihat di satu sisi sebagai kritik kepada polisi. Lalu, apa sisi yang lainnya dan bagaimana menggunakan lagu ini untuk perbaikan keadaan di Indonesia terkait perilaku masyarakat dan terkait dengan oknum polisi?

Juga Kritik kepada Masyarakat?

Jika kita melihat dengan kepala dingin dan konstruktif, sebenarnya perilaku membayar kepada polisi, juga terjadi karena perilaku masyarakat kita sendiri. Coba kita bertanya kepada diri kita sebagai anggota masyarakat: mengapa kita perlu menyuap saat membuat SIM, mengapa kita sampai ketilang lalu berdamai dengan polisi, mengapa angkot ngetem tidak di tempat yang ditentukan, mengapa mau jadi polisi lalu dilakukan dengan menyuap, dst?

Pertanyaan lain terkait dengan syair lagu tersebut mungkin lebih banyak terjadi karena perilaku oknum polisi dan ketidakterbukaan prosedur, seperti touring, bikin gigs, lapor barang hilang, masuk ke penjara agar diperlakukan dengan baik.

Banyak kejadian membayar polisi justru karena perilaku masyarakat yang ingin serba mudah, murah dan cepat, serta ada rasa takut jika mengurus sendiri. Kadang cukup mengherankan, urusan memperpanjang masa berlaku SIM saja yang sudah ada bagan alurnya di banner-banner di tempat perpanjangan SIM dan juga ada bagian informasi yang ada di loket resmi dan terbuka dalam artian dapat disaksikan oleh pemohon perpanjangan masa berlaku SIM yang lain, masih ditemukan anggota masyarakat yang menggunakan calo.

Demikian juga saat anggota masyarakat melanggar rambu lalu lintas, dan kemudian diperiksa oleh polisi. Anggota masyarakat bisa saja, jika benar bahwa dia salah, mengatakan bahwa dia akan membayar tilang saja dan tidak mau berdamai. Apa sulitnya?

Beberapa fakta yang disampaikan dalam syair lagu 'Bayar, bayar, bayar', seharusnya menjadi refleksi bagi anggota masyarakat untuk memperbaiki diri dan berkontribusi pada perbaikan institusi Polri dari perilaku oknum polisi yang maunya disuap.

Jika masyarakat harus meluangkan waktu untuk antri, mengapa harus membayar untuk tidak mengantri? Memang bisa saja untuk memperpanjang masa berlaku SIM diubah dengan menggunakan sistem daring yang kaku seperti saat membuat paspor. Dengan sistem daring, proses mengantri untuk membuat paspor menjadi lebih singkat, tetapi untuk mendapatkan kuota juga tidak mudah khususnya di kota-kota besar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun