Mohon tunggu...
Wijanarto
Wijanarto Mohon Tunggu... Freelancer - Penikmat Sejarah Alumnus Magister Sejarah Undip Semarang

#mencintai sejarah #positiv thinking# niku mawon {{{seger kewarasan}}}

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Makar dalam Kekuasaan Jawa

9 Maret 2020   11:36 Diperbarui: 9 Maret 2020   11:36 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Alun-alun Lor Keraton Yogya Abad XVIII | freenewwallpaperdesign.blogspot.com

Oleh karenanya suksesi selalu menjadi isu politik yang marak dalam kekuasaan Jawa. Suksesi yang guncang disebabkan kekecewaan seputar transisi politik. Diantara para putera raja sampai perseteruan antara garwa padmi dengan garwa ampeyan. .Peran perempuan sebagai penerus stabilitas trah kekuasaan menjadi faktor yang menentukan. Hiruk pikuk dampar kencana Jawa, penuh diwarnai intrik pengaruh elite perempuan keraton.

Cerita wahyu nurbuwat yang langgeng dipertegas dengan pencitraan geneologis trah atau asal-usul wangsa penguasa. Ini diperlukan agar kekuasaan tidak guncang. Wangsa penguasa Demak mempertegas hubungan wangsanya dengan kedaton Majapahit. Bahkan Pakubuwana II yang tersingkir dari Kartasura memilih nama Panembahan Brawijaya pada tahun 1742 dan memilih gunung Lawu sebagai tetirahnya. Demikian halnya wangsa penguasa Banten-Cirebon perlu menghubungkan relasi dengan wangsa Siliwangi. Walau dalam sejarah, yang menghancurkan ibukota Pajajaran

Secara logika, makar tersebab krisis legitimasi yang dipicu dari ketiadaan konsensus pendukungnya yang melahirkan pembangkangan hingga pemberontakan. Kajian sejarawan M.C Ricklefs tentang Jogyakarta Under Sultan Mangkubumi 1749-1792 menandaskan hal itu. Melalui pengamatan pecahnya Kasunanan dan Kasultanan lebih disebabkan tidak utuhnya konsensus politik yang berdampak pada krisis legitimasi jika dibandingkan intervensi VOC yang membuahkan peristiwa palihan nagari .

Kekuasaan yang guncang melempangkan jalan suksesi yang tak diharapkan. Ini sempat terekam dalam karya Peter Carey, Takdir : Riwayat Pangeran Dipanegara (1785-1855) , soal perseteruan antara kubu kasepuhan (pendukung Sultan Hamengkubuwana II) dengan kubu karajan (pendukung Sultan Hamengkubuwana III).

Makar memang sebuah keniscayaan, jika kepercayaan terhadap raja surut. Namun di tengah konsep memilih pemimpin langsung, tentu tak bisa menyebut makar atas nama rakyat. Proses demokratisasi telah mengamanatkan bagaimana mencabut wahyu nurbuwat pada diri sang pemimpin. Makar berimplikasi pada ongkos politik yang tidak murah. Belajarlah dari sejarah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun