Mohon tunggu...
Wignyo Pawiro
Wignyo Pawiro Mohon Tunggu... Freelancer - Pengamat ekonomi makro

wiraswasta pemotong pajak karyawan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Bunga Menggerogoti Pajak

15 Juni 2019   13:09 Diperbarui: 15 Juni 2019   13:28 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber https://www.shutterstock.com 

Tahun 2018 telah berlalu. Laporan Keuangan Pemerintah Pusat telah terbit dengan opini wajar tanpa pengecualian. Itu menyiratkan pelaksanaan APBN berjalan dengan baik dan relatif mulus; sebaik dan semulus jalan tol yang dibangun. Seandainya jalan tol dan jalan-jalan besar lainnya serta berbagai infrastruktur itu dibangun saat rejeki minyak dan sumber daya alam lainnya masih berlimpah, mungkin bebannya tidak seberat sekarang ini, sebagaimana diinformasikan oleh laporan keuangan tersebut.

Dari perkembangan jumlah utang selama empat tahun terakhir, dapat dikatakan bahwa mayoritas pendanaan infratstruktur bersumber dari utang baru. Pendapatan pemerintah tersita untuk  belanja operasional dan bayar bunga. Pembayaran pokok utang dengan gali lobang tutup lobang. Penyaluran pendanaan infrastruktur bisa dalam bentuk belanja langsung oleh pemerintah atau penyertaan modal ke BUMN yang ditugasi. Beban berat timbul kemudian, muncul di APBN, menggerogoti pendapatan perpajakan.

Beban bunga tahun 2016 mencapai Rp182T(rilyun). Jumlah itu setara 14% pendapatan perpajakan Rp1.285T. Beban itu naik menjadi Rp216T dan Rp258T tahun berikutnya. Karena pertumbuhan pendapatan perpajakan --bahkan turun pada tahun 2017- tidak dapat mengimbangi kenaikan bunga, maka porsi biaya bunga pun meningkat menjadi 16% dan 17% pada tahun 2017 dan 2018. Tahun 2018, pajak yang dipungut dari masyarakat menyumbang 78% pendapatan Negara.

Beban bunga tahun 2017 di atas setara 1,6% Produk Domestik Bruto/PDB, dengan jumlah utang hamper mencapai 30% PDB. Dengan proporsi utang yang sama, beban bunga meningkat menjadi 1,7% terhadap PDB tahun 2018 yang baru lewat. Negara-negara dengan tingkat utang lebih dari 100% PDB, beban bunga kurang dari 1,6 persen.

Harga yang harus dibayar dari utang terlalu mahal. Saking mahalnya, pemerintah daerah yang merupakan ujung tombak dalam layanan ke masyarakat harus mengalah. Belanja daerah yang bersumber dari APBN dalam bentuk transfer tahun 2018 hanya mengalami kenaikan Rp16T, bandingkan dengan kenaikan biaya utang yang mencapai Rp42T dari tahun sebelumnya. Utang jangan sekedar dilihat besarnya saja, tetapi juga beban bunga yang harus ditanggung. Dengan begitu besarnya biaya utang, porsi belanja pembangunan infrastruktur dan layanan dasar untuk masyarakat yang bersumber dari pendapatan sendiri terbatas.

Penghematan APBN: harus dan saat ini juga

Bak buah simalakama, tidak berutang infrastruktur hanya tambal sulam, berutang duit pajak kemakan bunga. Sesuai dengan pembagian kewenangan, suku bunga merupakan tanggung jawab bank sentral. Tingkat bunga saat ini 6 persen. Mustahil pemerintah menerbitkan obligasi pada rate yang sama. Rate yang diberikan pemerintah selama ini paling tidak sekitar 2 persen di atasnya. Pasar pun menjadi manja. Margin tambahan kurang dari 2 persen pernah dicoba pada tahun lalu, tapi dicibir pasar; pesanan minim. Pemerintah yang terpojok terpaksa kembali memanjakan pasar.

Tingkat bunga bank sentral 6% termasuk tertinggi di kawasan. Malaysia dan Filipina pada posisi 3%, Tailand berani menyamai Australia pada 1,5%; Cina 1,75%. Jepang malah menerapkan bunga negatif.

Menunggu tingkat bunga turun seperti pungguk merindukan bidadari turun dari bulan. Kalau bulan jelas tidak akan turun, tapi siapa tahu bidadari itu nyata. Sang bidadari telah terbuai dengan kenikmatan dan kemudahan menjaga nilai tukar rupiah dengan bunga mencekik; apalagi fasilitas di bulan berlimpah, gaji selangit. Seandainya bidadari itu nyata, sepertinya juga tidak mau turun ke bumi karena bisa ketendang sektor riil yang penuh gejolak yang bisa bikit kaki patah. Walau kecil harapan, semoga bidadari itu menjelma jadi ibu-ibu yang mau nyebokin bayinya serta setangguh mbok-mbok buruh gendong di pasar-pasar tradisional.

Bagi pemerintah alternatifnya hanya satu, potong belanja operasional pada semua tingkatan pemerintahan. Aparatur pemerintahan yang dimiliki merupakan Sumber Daya Manusia pilihan di antara warga negeri ini. Perebutan lowongan di pemerintahan setiap tahunnya merupakan bukti yang tidak dapat dibantah. Dengan kualitas paling prima, seharusnya para pimpinan negeri ini, terutama presiden dengan kabinet jajarannya, memberdayakan aparat birokrasi yang tersedia untuk meningkatkan kualitas belanja, tidak malah "diperintah" dengan iming-iming fasilitas serba selebrasi.

Pak Presiden, tolong jangan sampai porsi pajak yang kami bayarkan akhirnya habis untuk operasional Anda dengan jajaran sehingga bisa-bisa bayar bunga pun --mungkin sudah- harus dengan utang baru. Kasihan anak cucu kami. Sebagai Kepala Negara, berusahalah juga agar suku bunga disesuaikan sama dengan negara-negara tetangga dekat; Jepang adalah mimpi. Satu-satunya pilihan lain: tidak ada tambahan utang baru sama sekali. Harapan jangka pendek kembalikan ke posisi awal 2018, 4,25 persen. Semoga bukan mimpi .....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun