Mohon tunggu...
Wiena Amalia Salsabilla
Wiena Amalia Salsabilla Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Unpad 2020

Menulis dari yang terlihat dan terdengar untuk dilihat, didengar, dan dirasakan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Opang yang Malang

1 Januari 2023   13:48 Diperbarui: 1 Januari 2023   13:51 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sudah menjadi rahasia umum kalau keberadaan ojek pangkalan (opang) sekarang ini menciut karena persaingan ketat antara mereka dengan ojek online alias ojol. Mudah sekali kita mengenali ojol hanya dengan melihat helm hijau atau kuning atau oren mereka dengan atribut yang tidak hanya dipakai di badan, tetapi juga turut menghiasi motor mereka. Bahkan, jalanan sering kali dipenuhi oleh para ojol dari berbagai perusahaan yang terlihat mencolok apalagi kalau sedang lampu merah.

Sementara itu, opang sudah jarang terlihat bahkan di belokan-belokan biasa tempat mereka mangkal. Pangkalan mereka kini sepi. Bukan hanya karena penumpang yang tidak kunjung datang, tetapi juga karena opang yang saat ini sudah bukan lagi jadi opang. Beberapa dari mereka banting setir mencari pekerjaan lain termasuk beralih dari opang menjadi ojol karena peluang yang terlihat lebih menjanjikan.

Mirisnya, di tengah pendirian teguh opang-opang yang masih bertahan, mereka justru mendapat hujatan yang kian membuat mereka sepi penumpang.

"Opang galak dan kasar. Kaya preman."

"Opang suka malak. Jadi males dan takut naik opang."

"Duh, tarif opang tuh mahal! Bisa dua kali lipat ojek online."

"Opang tuh egois banget. Harusnya opang tuh ikutin perkembangan zaman dong, bukan malah mempersulit orang lain cari uang."

Dan beragam ujaran misuh-misuh lainnya dari mereka yang kontra dengan alat transportasi publik yang satu ini.

Memang, sering kita mendengar kasus-kasus pemalakan, pencegatan, hingga perkelahian antara opang dengan ojol yang membuat penilaian kita terhadap opang menjadi buruk. Membuat kita menepuk rata kalau semua opang, ya begitu. Kasar, galak, egois, dan tidak adaptif terhadap perubahan zaman.

Padahal, sama seperti kejahatan-kejahatan lainnya, itu semua dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Yang membuat seakan-akan semua opang tuh begitu, tanpa mengetahui apa yang sebenarnya dialami oleh para tulang punggung keluarga ini.

Dan sama seperti film, di setiap cerita pasti ada orang yang berperan jadi antagonisnya. Boleh jadi, di cerita kita, dia lah yang jahat dan kita korbannya. Tapi, mungkin di cerita dia justru sebaliknya. Justru kita lah yang jadi penjahatnya. Justru kita yang menyakitinya dengan tameng "gatau apa-apa".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun