Mohon tunggu...
Widyo Andana
Widyo Andana Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance content writer. Biasanya nulis sepak bola atau motorsport

Nobody can see the trouble I see. Nobody knows my sorrow

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gie dan Mahasiswa Masa Kini

16 Desember 2017   13:33 Diperbarui: 1 Maret 2018   12:34 1874
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mengenang 48 tahun kepergian tokoh yang menginspirasi pemuda Indonesia; Soe Hok Gie (17 Desember 1942 - 16 Desember 1969).

"Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya. Saya merasa seperti monyet tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras, diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil. Orang-orang seperti kita tidak pantas mati di tempat tidur".

Kalimat tersebut dikutip dari buku catatan harian, atau biasa kita sebut diary, dari seorang pemuda bernama Soe Hok Gie yang dibukukan dengan judul Catatan Seorang Demonstran. Pemuda yang akrab disapa Gie ini adalah aktivis keturunan Tionghoa yang hidup pada dekade 60-an dan begitu dikenal di kalangan mahasiswa. Tulisannya yang saya kutip di atas adalah bukti bahwa Ia bukanlah pemuda yang memilih zona nyaman dalam hidupnya. Benar saja, sehari sebelum Ia merayakan ulang tahunnya yang ke-27, Ia tidur dalam keabadian (red: meninggal) di Gunung Semeru ketika menjalani hobinya; yaitu mendaki gunung. Walaupun Ia sudah tiada, semangatnya hingga sekarang masih menginspirasi perjuangan kaum muda, khususnya mahasiswa.

Meskipun masih sangat muda, sepak terjang Gie begitu fenomenal. Pemikiran-pemikirannya tentang kemanusiaan dan nasionalisme dapat ditelusuri dalam catatan hariannya. Ia getol melantangkan kebenaran dan hak-hak rakyat, khususnya kalangan bawah dan tertindas dengan melakukan aksi turun ke jalanan. Ia memilih berdemonstrasi dan berorasi, karena baginya membiarkan kesalahan adalah kejahatan. Ia juga mengasah ketajaman intelektualnya dengan mengadakan forum diskusi di kampus dan menyuarakan pemikirannya di berbagai media massa. Tulisannya yang tajam dan penuh kritik terhadap ketimpangan sosial dan kemiskinan, terpublikasikan di berbagai media massa seperti Harian Kompas, Sinar Harapan, Harian Kami, dan media massa lainnya.

Terkadang, kembali ke masa lalu mampu menghilangkan kepenatan kita akan kondisi sekarang yang menjemukan. Gambaran kecil kehidupan Gie setidaknya dapat menjadi bahan kontempelasi kita hari ini dalam menjelaskan keadaan pemuda sekarang, khususnya mahasiswa yang dianggap kaum intelektual, yang mulai kehilangan nalar kritisnya dan hilang kepekaan sosialnya akan permasalahan di sekitar. Sudah jarang kita temui mahasiswa yang memperluas wawasan literasinya dengan membaca buku. Membaca buku saja enggan, apalagi menuliskan pemikirannya di media massa maupun sosial sebagai bentuk edukasi kepada masyarakat atau pernyataan sikap atas permasalahan yang ada. 

Hegemoni budaya yang menurut Gramsci adalah pengondisian masyarakat oleh kelas penguasa dan kapital agar norma budaya yang mereka bentuk dapat memberi keuntungkan bagi dominasi kaum penguasa, kini hal tersebut sudah menjalar kepada mahasiswa sekarang yang menjelma menjadi makhluk metropolis yang kadarnya sudah di luar toleransi. Memang, Gie dan mahasiswa kala itu, juga senang pesta dan tak lupa soal cinta, tapi tetap sadar akan permasalahan sosial. Alih-alih menyuarakan pemikiran melalui media, mereka justru menggunakannya sebagai sarana eksistensi diri dan popularitas pribadi.

Tak adil rasanya jika saya men-generalisasikan kebanyakan mahasiswa hari ini sebagai kelompok masyarakat yang pemalas, pragmatis, dan tidak peduli akan nasib bangsanya. Perlu kita ketahui, masih banyak mahasiswa yang bergerak di ruang-ruang sunyi untuk mendarmabaktikan tenaga, ilmu, dan pemikirannya untuk kemajuan negeri. Contohnya adalah mereka yang menjadi relawan pengajar di daerah terpencil atau tertinggal dengan ikhlas dan tanpa pamrih untuk mengabdikan dirinya di sektor pendidikan. Atau para mahasiswa yang tak ragu turun ke jalanan untuk membela hak-hak rakyat menengah ke bawah dan kaum tertindas, yang terkadang harus dihadapkan dengan tindak represif aparat yang mengancam keselamatan dirinya.

Fenomena tersebut bagaikan oase di tengah padang gurun gersang yang cukup untuk menghapus dahaga kita akan potret mahasiswa saat ini. Namun dengan segala apresiasi akan jerih payah mereka, harus diakui bahwa jumlah mereka yang patriotik tersebut berbanding terbalik dengan mereka yang apatis, hedonis, individualis, dan tidak peduli akan nasib bangsanya sendiri. 

Disaat mahasiswa diberkahi dengan ilmu pengetahuan dan intelektualitas yang lebih, terkadang mereka enggan menggunakannya sebagai alat keberpihakan atas permasalahan yang terjadi dan memilih mencari aman dengan menyatakan bahwa dirinya netral dan tidak memiliki orientasi keberpihakan yang jelas. Perlu kalian ketahui, sebenarnya sikap netral yang kalian anut adalah sebuah keberpihakan atas kesalahan yang ada. Kekurangan lainnya yaitu kurang kolektifnya perjuangan dari mahasiswa dan cenderung berjalan sendiri-sendiri, sehingga eksistensi, peran, dan tujuan yang akan dicapai berjalan lambat dan kurang maksimal.

Pada zaman dahulu, mahasiswa beramai-ramai mengepalkan tangannya ke udara sebagai simbol perlawanan kepada kecongkakan penguasa. Mereka juga bersatu padu menyingsingkan lengan baju untuk mengisi kemerdekaan yang baru seumur jagung pada saat itu. Sayangnya, kondisi mahasiswa hari ini sungguh mencemaskan. Masih ada pergerakan mahasiswa yang terkotak-kotak dan tersekat oleh perbedaan kepentingan dan pemikiran. Mereka gagal paham menempatkan cita-cita akan terwujudnya bangsa yang maju dan rakyat yang sejahtera sebagai perekat perbedaan. Celakanya lagi, pergerakan mahasiswa melalui aksi massa terkadang 'didomplengi' oleh kekuatan politik, miskin wacana, dan tidak memiliki orientasi yang jelas.

Sejatinya, kampus adalah tempat subur yang memungkinkan berbagai macam pemikiran tumbuh, ilmu pengetahuan berkembang, mimbar bebas kampus harus tetap dijaga dan jangan sampai teracuni oleh kepentingan-kepentingan praktis. Apalagi politik praktis. Seperti yang dituliskan Gie bahwa mahasiswa harus memainkan peranan sebagai cowboy. Datang ke sebuah kota untuk menumpas kejahatan di kota itu. Setelah itu ia harus pergi lagi tanpa seorang penduduk kota itu mengetahui siapa penolong mereka dan kemana ia pergi dan tanpa mengharap pamrih. Bukan semata-mata bergerak untuk urusan perut, ajang kepentingan kelompok, dan kekuasaan yang melahirkan kebodohan-kebodohan terstruktur, yang hanya membuat massa antipati terhadap perjuangan mahasiswa. Apalagi menjadi mahasiswa yang hanya memikirkan kuliah, kerja, lalu mati tanpa pernah tahu untuk apa kita hidup di dunia ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun