Mohon tunggu...
widyastuti jati
widyastuti jati Mohon Tunggu... Dosen - Dosen UIN Salatiga

mengagumi keindahan alam dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Intan Lereng Gunung

1 Februari 2023   09:15 Diperbarui: 1 Februari 2023   09:21 495
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

            "Ada apa Nduk??" tanya simbok.

            "Perutku sudah mules-mules, Mbok," kata Siyamah  meringis menahan sakit.

            "Waduh, simbok terus gimana? Simbok minta tolong Lik Pon memanggilkan Mbah Dukun ya?" kata simbok cemas sambil berlari keluar rumah memanggil tetangga sebelah. Sementara itu perut Siyamah semakin cepat jarak sakitnya.

            "Mbok panggil Bu Bidan saja," rintih Siyamah ketika simboknya masuk rumah, dan mendekatinya.

            "Bu Bidan kan jauh Yam, sementara Mbah Dukun dulu yang dekat. Nanti biar Lik Pon  nyuruh orang yang punya motor jemput Bu bidan," ucap simbok  sambil mengelus-elus perut besar Siyam..

            Ketika mbah dukun datang, ternyata ari-ari Siyamah sudah lepas dahulu sebelum bayinya lahir, Mbah Dukun segera menolong Siyamah yang kesakitan melahirkan anaknya. Sementara Lik Pon sudah menyuruh keponakannya yang punya motor menyusul Bu bidan yang rumahnya  jauh. Akibat ari-ari yang lepas, Siyamah mengalami pendarahan yang hebat, Bu Bidan  terlambat datang. Ketika  Siyamah mau dibawa ke rumah sakit, di tengah perjalanan, Siyamah menghembuskan nafasnya yang terakhir. Sementara bayinya berhasil diselamatkan.

            Seluruh penduduk desa terutama emak-emak dan anak-anak kecil sangat terkejut dengan berita kematian Siyamah. Mereka sangat kehilangan sosok ibu yang dengan semangat berusaha memajukan desa. Tidak hanya penduduk Desa, Bu Camat serta tim Penggerak  PKK se kecamatan pun sangat kehilangan kader yang lincah,  semangat dan pantang menyerah itu. Semua menangis, semua kehilangan Siyamah. Tragisnya sepuluh hari kemudian bayi Siyamah menyusul ibunya, karena kurangnya pengetahuan dari mertua dan simbok Siyamah.

            Dan yang paling terluka dan menyesal adalah Hadi, dia merasa berdosa karena tidak bisa menjadi suami siaga. Seandainya waktu itu dia berada di rumah, dia pasti langsung membawa Siyamah ke bidan begitu mengetahui ada tanda-tanda melahirkan.  Ya, semua itu karena kebodohannya, ketidak tahuannya. Yang membuatnya semangat untuk bertahan hidup adalah Arif,. Dia teringat kata-kata terakhir Siyamah yang menginginkan Arif mendapatkan pendidikan yang tinggi. Hadi berjanji akan menjalankan pesan terakhir istrinya.

****

            Lima belas tahun telah berlalu,  dua lelaki kekar telah selesai berdoa dan menabur bunga mawar warna merah dan putih di atas dua  batu Nisan. Kedua laki-laki itu kemudian beranjak  meninggalkan dua batu nisan itu  menuju tempat yang agak tinggi. Sang Fajar mulai menampakkan diri. Sinarnya  yang hangat menerangi desa di lereng gunung ini, seolah mengiringi anak-anak  sekolah yang tampak riang gembira dengan seragam putih abau-abu, putih --biru, putih merah dan coklat kotak-kotak, seragam PAUD. Dengan  semangat mereka menuju tempat belajar masing masing. Anak-anak SMP tidak lagi jauh-jauh turun gunung untuk bersekolah, karena pemerintah telah membangun SMP Negeri di desa mereka. Sudah banyak anak-anak yang sekolah di SMA dan SMK, mereka bisa naik colt terbuka atau naik motor.

            Sementara PAUD yang terletak di balai Desa makin bersinar,  murid dan gurunya bertambah .  Hadi tersenyum bangga melihat gedung PAUD yang dirintis istrinya bisa berkembang dengan baik. Dan pemuda gagah  di sampingnya adalah Arif, yang berhasil lolos sampai akhir pada tes Bintara TNI AD tahun ini. Pagi ini ini Arif akan meninggalkan desanya menuju kota Jember Jawa Timur untuk mengikuti Pendidikan Sekolah Calon Bintara. Hadi sangat bangga dengan putra semata wayangnya yang telah memenuhi cita-cita emaknya  almahum, menjadi Pemuda yang berguna bagi nusa dan bangsa. Hadi sangat bahagia karena bisa menepati janji untuk menyekolahkan anaknya sampai jenjang yang tinggi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun