Mohon tunggu...
Devi Widyaningrum
Devi Widyaningrum Mohon Tunggu... karyawan swasta -

ingin selalu berbagi

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kenangan Kopi (2)

4 Juni 2013   09:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:33 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Beberapa bulan Klara menjadli hubungan dengan Beni. Klara pun dikenalkan dengan beberapa teman Beni. Terutama pada teman satu organisasinya. Semua temannya menyambutnya dengan hangat. Mereka pun bisa langsung akrab satu dengan yang lainnya. Mereka pun menghabiskan waktu bersama.

“Kamu kuliah saja di sini. Biar kamu bisa mengawasi kekasihmu itu …” celoteh Irfan, seorang lelaki yang berwajah baby face.

“Hai! Beni itu banyak yang naksir. Dari adik tingkat sampai yang sudah berumur pun tergila-gila sama dia. Kamu tahu kan Fan, kalau Bu Nia itu ….” Jelas Miko dengan ekspresi wajah serius saat bercerita tentang Beni. Jantung Klara mungkin bisa berhenti jika ia mendengar bahwa Bu Nia benar-benar jatuh hati pada Beni. Suasana hening,

“Kalau Bu Nia itu …” kata Miko kembali memutus kalimatnya.

“Sudah deh Mik, bilang aja kalau Bu Nia itu sebenarnya perempuan cantik. Dan kamu jatuh hati sama dia. Ya kan?” selidik Irfan. “Tenang Klara, Beni tidak tergoda sama yang namanya Bu Nia. Dia hanya tergoda olehmu.”

“Ya, mana mungkin Beni suka dengan wanita yang lebih tua darinya. Pastinya dia akan memilihku. Yang masih muda dan cantik.” Katanya dalam hati sembari menyiapkan diri untuk tidur.

****

Beni dan Klara sudah berdiri di pinggir jalan raya. Sambil menunggu jemputan, mereka mengingat kenangan masa kecil mereka.

“Bukankah kamu sangat aneh. Saat kita bermain di pematang sawah. Kamu mencari kumbang emas di balik daun. Menjatuhkan kakimu di lumpur, tanpa merasa jijik jika ada cacing. Malah sebaliknya, cacing itu kamu tangkap dan memberikannya kepadaku,”

“Aku ingat. Wajahmu jadi pucat, saat melihat cacing di depan matamu. Kamu pun langsung berlari meninggalkanku dan tidak mau menemui lagi. Kamu seperti ketakutan melihatku. Apa aku ini hantu?”

“Ya, kamu hantu. Hantu jail.”

“Bukankah kamu suka terhadapku kemudian waktu?”

“Ya, sampai saat ini.”

Mereka pun sudah duduk di bibir pantai dengan memandang sunsite. Mereka tak menghiraukan kicauan teman-temannya yang mengganggunya. Angin malam melambaikan perpisahan dengan matahari. Gelap pun tlah tiba.

Alunan musik akustik terdengar mengalun dengan lembut. Gemuruh ombak seakan ingin bergabung bersenandung di beberapa kumpulan anak muda. Bulan pun menjadi lampu di tengah hamparan pasir pantai. Canda tawa pun dapat memecah dingin. Hangat terasa.

“Em, aku mau balik kamar dulu ya. Mau em …” kata Klara dengan senyum kecil kepada semua temannya.

“Mau apa Klara?” tanya Irfan curiga. “Ah, mau itu ya?”

“Oh, tidak. Aduh, aku sudah tidak tahan …” katanya sambil berlalu dari kerumunan.

“Kamu tidak menemani Klara?” tanya Irfan kepada Beni.

“Dia kan sudah besar. Jadi tidak perlu ditemani.”

“Kalau ada apa-apa bagaimana?”

“Di sini banyak sekuritinya, pasti aman.” Jawab Beni santai dan melanjutnya nyanyiannya. Semua temannya pun mengiringinya dengan suka cita.

Nampak dari belakang Klara berjalan dengan senyum yang mengembang. Seakan-akan ia sedang menari-nari di antara bintang. Tapi langkahnya harus terhenti, saat ia melihat kemesraan yang ada di depannya.

“Ah, aku pun belum pernah diperlakukan seperti itu. Bagaimana bisa perempuan itu mendapatkannya dengan mudah? Bagaimana bisa laki-laki itu juga dengan mudah memberikan kehangatan seperti itu?”  tanya Klara dalam hati sambil melihat sepasang insan dari belakang. “Meski hanya lelaki itu memberikan sentuhan tangan dari balik tubuh perempuan itu. Tapi aku merasa ada kehangatan di antaranya.” Klara pun melanjutkan langkahnya, mendekati sepasang insan itu.

“Oh, Klara. Kamu sudah kembali?” tanya Miko terkejut. Klara hanya membalas dengan anggukan.

“Siapa perempuan yang duduk bersama Beni?” tanya Klara dengan mata mengarah kepada kekasihnya yang duduk tidak jauh dari mereka.

“Dia, Dita. Teman kami. Dia …” kata Irfan mencoba menjelaskan kepada Klara. Tetapi Klara melanjutkan langkahnya untuk mendekati Beni dan perempuan itu. Saat ia berada di belakang tubuh Beni, ia bisa merasakan hangatnya kasih yang ia berikan.

“Beni,”

Dengan perlahan Beni memalingkan wajahnya untuk menemukan sumber suara itu. Dilihatnya Klara sudah berdiri di belakangnya dengan mata penuh tanya. Perempuan itu segera mengikuti langkah Beni. Mereka bertiga kini saling berpandang. Diam. Yang terdengar hanya hembusan napas di antara mereka.

“Klara, kenalkan ini Dita. Temanku di organisasi. Dia baru saja datang …” Beni mencoba menjelaskan kepada Klara. Tapi mata Klara hanya terarah pada perempuan yang ada di depannya, Dita. Tanpa mengeluarkan kata-kata. Klara menanyakan mengapa ia melakukan ini kepada dirinya, melalui tatapan matanya.

Kini hanya tinggal Klara dan Beni di tengah malam. Mereka tak bicara. Hembusan angin pantai dan suara ombak yang memecahkan keheningan di antara bintang dan bulan.
“Aku lelah, aku ingin tidur.” Kata Klara meninggalkan Beni yang memandang gelapnya pantai. Diliriknya dari ujung matanya, Beni pun tak beranjak dari tempatnya. Ia pun menghembuskan napas panjangnya untuk menghilangkan bebannya.

Beni masih di pantai, ia menundukkan kepalanya. Di sampinya duduk seorang perempuan yang telah diberikannya tangan hangatnya.

****

Beni pun kembali ke hotel tempat mereka menginap. Ia berada di depan pintu kamar Klara. Tangannya siap mengetuk, tapi diurungkannya. Disandarkannya kepala di balik pintu itu. Ia mengingat kejadian tadi,

“Dia adalah mantan kekasihku. Dia ke sini hanya untuk bercerita tentang kekasihnya yang baru. Mereka akan segera menikah. Jadi kamu tidak perlu cemburu kepadanya. Karena sekarang aku sudah punya kamu.” Katanya menyakinkan Klara.

Klara duduk dengan mata bercucuran. Tak dihiraukan orang-orang yang melihat kearahnya. Matanya memandang ke luar. Pikirannya kosong. Beberapa orang naik turun di beberapa halte, bus pun melaju.

“Klara, apa kamu di dalam?” tanya Beni dalam hati yang masih mematung di depan pintu kamar Klara. “Apa kamu masih marah dengan sikapku tadi? Maukah kamu memaafkanku?”

Ia pun melangkah meninggalkan kamar kekasihnya, menuju kamarnya sendiri. Tepat di depan kamarnya, ia menoleh ke belakang. Dibukanya pintu itu, dicarinya perempuan yang baru menginjak usia delapan belas tahun itu. Matanya terbuka lebar, tapi tak ditemukan Klara di mana pun. Ia segera berlari  menyusuri setiap sudut hotel. Tapi tak ditemukannya.

Di depannya terdapat sebuah truk. Sang sopir mengendarainya dengan sesuka hatinya. Berulang kali sang sopir bus mengklakson sopir truk. Agar ia mengendarai dengan benar. Hal itu tak mengubah rasa sedih Klara. Dari arah berlawanan terdapat truk yang melaju dengan kecepatan sedang.

Sopir truk yang mengemudi dengan ugal-ugalan tak dapat mengendalikan truknya. Tabrakan pun terjadi. Truk terpental ke dalam jurang. Klara dan sang sopir panik. Truk beberapa kali berguling. Hingga akhirnya truk itu terhenti karena sebuah pohon. Sang sopir terluka parah. Klara masih sadarkan diri, jantungnya berdebar kencang, napasnya tersengal-sengal. Ia mencoba menyelamatkan diri, tapi tiba-tiba ia roboh.

****

Klara pun segera membuka matanya. Ia melihat ruang di sekitarnya. Dengan napas yang tersengal-sengal. Ia mulai berdiri dan mengambil segelas air putih di sampingnya.

“Ah, ternyata hanya mimpi. Tapi serasa kenyataan.” Ujarnya dalam hati. “Jam setengah satu malam, mengapa aku mimpi begitu buruk.” Katanya sambil mengembalikan posisinya seperti semula.

Mentari pun berusaha masuk ke dalam kamar Klara dari celah-celah kecil. Hingga sinar itu menyinari tepat di wajahnya. Tercium bau harum di dekat kamarnya.

“Seharusnya Ibu membangunkanku agar aku bisa membantu.” Katanya sambil menempatkan diri di sebalah Ibunya yang sibuk memasak.

“Kamu semalam pulang terlalu larut. Ibu yakin kamu pasti sangat lelah. Jadi Ibu tidak membangunkanmu.”

Mereka akhirnya memasak bersama. Bau harum bumbu masakan tercampur bau tawa riang di antara mereka.

“Panggil Ayah dan kakakmu. Ibu akan merapikan makanan ini.” pinta Ibu kepada Klara.

Terlihat dari balik kaca jendela rumah, Ayah dan kakaknya sedang sibuk merapikan taman rumah. Mereka pun segera berpindah tempat ke ruang makan. Saat makan pun mereka terlihat sangat hangat. Penuh dengan canda tawa.

“Biar aku saja Bu, yang mengantar baju untuk Tante Rosita.” Klara pun mengantarkan pesanan pakaian untuk tantenya. Setelah menyerahkan pakaian, Klara pun segera pulang dengan menaiki sebuah taksi. Malam itu hujan turun tak begitu derasnya. Untuk menghilangkan rasa jenuhnya, Klara mendengarkan musik. Ia mulai menutup matanya, tapi sesekali membuka matanya. Tiba-tiba Klara meraskan ada yang tidak beres. Ia melihat sang sopir berusaha mengendalikan laju mobilnya yang terperosok ke dalam jurang.

Suasana mencekam, Klara mencoba bertanya kepada sang sopir, tapi sang sopir sudah tidak sadarkan diri. Kepala Klara pun terkantuk punggung kursi saat mobil itu terhenti. Ia seakan-akan mengalami kejadian serupa. Ia mencoba mengingatnya, saat ia mencobanya matanya tertutup.

Tubuh Klara sudah ada di rumah sakit. Orang tua Klara gelisah menunggu kabar putrinya. Tidak jauh dari ruang tunggu, berdiri Beni dengan rasa bersalah. Ibu Klara tak berhenti menangis. Ia meronta-ronta agar anaknya bisa kembali sehat. Ia akan melakukan apa saja untuk putrinya.

Setelah beberapa jam menunggu, dokter pun keluar dari ruang operasi. Keluarga Klara pun segera menghampirinya, dan menanyakan keadaan Klara. Beni pun hanya bisa memandang dari jauh. Ia tak berani mendekatkan diri.

****

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun