Mohon tunggu...
Widya
Widya Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Mahasiswa universitas maritim raja ali Haji

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Opini: Penyelenggaraan Pilkada yang Bebas Korupsi

5 Desember 2020   21:58 Diperbarui: 5 Desember 2020   23:19 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

3. surat keterangan telah selesai menjalani pidana penjara dari kepala lembaga permasyarakatan;

4. surat keterangan telah selesai menjalani pembebasan bersyarat, cuti bersyarat atau cuti menjelang bebas dari kepala lembaga pemasyarakatan, dalam hal bakal calon mendapat pembebasan bersyarat, cuti bersyarat atau cuti menjelang bebas; dan

5. putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap;

Jadi, sepanjang yang bersangkutan atau pelaku tindak pidana korupsi telah memenuhi persyaratan dan secara khusus persyaratan yang diterangkan di atas, maka pelaku tindak pidana korupsi dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah.  Secara teori, dalam konsep lembaga permasyarakatan, seseorang yang telah keluar dari penjara merupakan orang yang sudah baik perilakunya, orang tersebut dianggap menjadi baik kembali. 

Jadi problemnya sekarang adalah kurangnya keteladanan pemimpin. Sementara keteladanan itu dimulainya dari atas. Jadi budaya malu itu harus dibangun dari atas. Kalau atasnya busuk ya bawahnya busuk. Kalau atasnya tidak punya budaya malu dan tidak konsisten, ya orang-orang akan meniru.  Selama kita tidak bisa mengubah mentalitas itu, maka tidak akan ada perubahan signifikan yang terjadi. Perubahan mentalitas itu hanya bisa terjadi kalau kita mengalami pencerahan, dan pencerahan harus dimulai pada pendidikan dasar dan memberikan sosialisasi kepada masyarakat kita yang tidak bersekolah karena mereka kekurangan ilmu dan informasi agar mereka mendapatkan pencerahan maka menurut saya sosialisasi lah yang bisa memberi pencerahan kepada masyakat. Selama orientasi pembangunan kita sifatnya materialistis, dan hedonistis menjadi cara kita mengekspresikan kebudayaan, maka pendidikan nilai itu pun tidak akan pernah terjadi. 

Jadi persoalannya adalah harus ada yang membongkar mindset(pola pikir)bahwa keberhasilan jangan hanya dinilai dari materi, tapi juga harus dari karakter, keteguhan, prinsip kejujuran, keadilan. Dan, nilai-nilai itulah yang harus dikedepankan dibandingkan aksesori lain.  Dan kita seharusnya sebagai masyarakat tidak menerima uang atau apa pun sejenis suap yang di berikan paslon agar kita memilih dia di saat pemilu, karena hal yang harus kita nilai dari paslon tersebut adalah bagaimana sikap dan prilakunya ,kejujuran dan bertanggung jawab serta keadilan untuk masyarakat nilai-nilai itulah yang harus di utamakan bukan materi yang di inginkan masyrakat adalah pasangan calon(paslon) yang bisa memimpin daerah dengan jujur dan memilik kepribadian yang baik bisa menjadi teladan. 

Problem kita, selama ini kita tidak pernah mengalami revolusi kebudayaan dalam arti membangun sebuah habitus. Padahal, persoalan korupsi, manipulasi, kemerosotan moral itu hanya bisa dijawab ketika kita tercerahkan. Untuk menuju ke sana, sekaranglah saatnya gabungan orang-orang baik tampil mengisi publik untuk memberi contoh dan menjadi teladan, untuk membenahi pendidikan dasar kita, dan untuk mulai membangun budaya malu bersamaan dengan langkah-langkah penegakan hukum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun